Rabu, 13 April 2016

Tentang Waktu Yang Tak Pernah Cukup Untuk Kita Bercerita Dan Tentang Aku Yang Pelupa

Hai sahabat dan patner tercinta yang tak perlu ku sebutkan namanya, Ada banyak hal yang mau aku sampaikan. Tapi sayang kesibukan terus-terusan mengulur waktu kamu untuk pulang. Mungkin pertanyaan kapan pulang sudah membuat telingamu pengang. Sayangnya pertanyaan itu tidak pernah bosan untuk kuajukan. :D

Sementara waktu tidak pernah bebaik hati membolehkan kita duduk berlama-lama dalam satu meja walaupun hanya untuk saling bertukar cerita atau sekedar saling melempar tawa. Waktu selalu berjalan lebih cepat dari biasanya saat kita bertatap muka, dan berjalan lebih lambat dari biasanya saat kita hanya bisa bercerita melalui sosial media. Ah, bukannya harusnya sebaliknya? Sementara kamu tahu, aku adalah sosok yang pelupa. Tenang...Tapi kali ini, kamu tak perlu khawatir aku lupa. Aku sudah mengantisipasinya dengan menuliskan semuanya, ternyata tidak mudah merubah sebuah dialog biasa menjadi satu cerita utuh yang mudah dibaca. Tapi aku tetap berusaha dengan sebuah harap sederhana semoga kamu mau baca ya. Ga dibaca tega pokoknya, harus dibaca. Haha maksa. Plis, jangan membuat aku menjadi penulis yang gagal kuadrat. Selain sudah tak pernah menerbitkan karya juga tak pernah bisa membuatmu gemar membaca. :p

“Tiga puluh hari terbaik “ini cerita yang aku baca di grup WA Wirausaha Jawa Barat, sangat inspiratif. Aku tidak tahu siapa yang pertama kali menuliskannya. Tidak bermaksud menyadur atau memplagiat aku hanya mau berbagi, tepatnya sih mau kamu baca. Mungkin kamu pernah mendengar atau membacanya tapi kemarin aku tanya kata kamu kan belum ya. Semoga bisa mengambil hikmahnya, aslinya hanya dialog dalam bentuk singkat,  sengaja dibuat dalam versi yang lebih panjang biar kamu paham :)

Cerita-cerita lainnya menyusul ya, cepat pulang.





Senin, 11 April 2016

Tiga Puluh Hari Terbaik



Ada sepasang suami istri. Mereka sudah menikah lebih dari 10 tahun. Namun dalam perjalanan pernikahannya pasangan ini cendrung jarang berkomunikasi karena disibukkan dengan urusan masing-masing. Manisnya madu di awal pernikahan sudah jarang sekali mereka rasakan. Sang suami bekerja dari pagi hingga sore hari bahkan tidak jarang hingga malam hari. Sementara sang istri berprofesi sebagai ibu rumah tangga biAsa yang kesehariannya mengurus segala keperluan rumah tangga dan anak-anak. Hingga pada akhirnya sang suami jatuh cinta pada perempuan lain, patner kerjanya. Perempuan yang lebih sering ia temui setiap hari daripada istrinya sendiri.

Sang istri tak pernah sedikitpun menaruh curiga pada sang suami. Menganggap bahwa suaminya memang sedang dirundung banyak sekali pekerjaan yang memaksanya mengalihkan perhatian yang seharusnya untuk keluarga justru lebih banyak dihabiskan di tempat kerja.

‘Patner Bisnis’ sang suami pun terus mendesak agar menceraikan istrinya dan melegalkan hubungan yang seharusnya tidak pernah ada ini. Akhirnya, sesaat setelah pulang kerja pengakuan mengejutkan sang suami itu meluncur begitu saja tanpa sedikit pun rasa bersalah pada sang istri. Sang istri tetap berusaha tenang mendengarkan, walaupun di hatinya pasti ada luka yang menganga sangat dalam. Hati perempuan mana yang akan baik-baik saja jika mendengar penuturan bahwa suami yang selama ini hidup bertahun-tahun  dalam satu atap dengannya justru ingin membangun biduk rumah tangga baru dengan perempuan lain?

Tidak ada penolakan ketika suaminya mengajukan gugatan cerai, sang istri berusaha tegar. namun hanya ada sebuah syarat yang ia ajukan.

“Dari mulai besok sampai satu bulan ke depan, setiap pagi gendong aku dari tempat tidur menuju meja makan. Dan gendong aku kembali dari meja makan menuju teras depan. Serta bawakan aku bunga setiap hari. Selepas hari ke 30 itu kau berhak  menjatuhkan talak padaku dan saat kau sudah menjatuhkan talak padaku maka aku sudah tidak lagi menjadi istrimu.”

“Hanya itu? Syarat yang sangat mudah. Baiklah akan saya lakukan” ujar sang suami.

Hari pertama ketika mencoba melakukan syarat dari sang istri, keduanya nampak canggung sekali seperti bukan pasangan suami istri. Karena kebersamaan seperti ini memang sudah sangat jarang sekali terjadi bahkan cendrung tidak pernah sama sekali dalam kurun waktu beberapa tahun ini.

Kedua buah hatinya pun terheran-heran dengan tingkah laku kedua orangtuanya. Sebab sesuai kesepakatan kedua buah hatinya tidak boleh mengetahui sebab syarat tersebut diajukan, khawatir akan membuat anak-anaknya bersedih. Yang terujar dari mereka hanyalah, “Papa dan Mama begitu romantis” ujar si bungsu dengan senyum yang sangat manis. Raut kebahagiaan tanpak jelas sekali. Hal itu terus dilakukan setiap hari, sang suami tidak pernah ingkar janji. Setiap pulang kerja ia pun tidak pernah lupa membawakan sebuket bunga cantik berwarna warni. Jika mulanya syarat yang diajukan sang istri seolah menjadi beban namun dari hari ke hari hal itu pun seolah menjadi ringan untuk dilakukan.

29 hari sudah terlewati dan dijalani dengan baik, namun seolah ada rasa berat hati yang terus membuat dada sang suami tampak sesak. Membuat kantuk sulit sekali untuk menyergap. Bukannya seharusnya ia merasa bahagia? Setelah besok ia tidak perlu lagi repot-repot menggendong sang istri dari tempat tidur hingga meja makan dan menggendongnya kembali menuju teras depan? Sepulang kerja pun tidak perlu mampir terlebih dahulu ke toko bunga yang selama ini hanya membuang-buang uangnya saja?

Hari ke 30. Maka sesuai perjanjian “Selepas hari itu, kau berhak menjatuhkan talak padaku maka hari itu aku sudah tidak lagi menjadi istrimu”.  Pagi itu dijalani seperti biasa sang suami menggedong sang istri dari tempat tidur menuju meja makan untuk sarapan. Namun langkah suami terlihat lebih pelan. Sang istri hanya sesekali memandang suaminya kemudian tersenyum. Hari itu sang istri tampak bahagia, tidak ada raut wajah sedih sekalipun ia tahu ini adalah hari terakhir ia digendong oleh suaminya. Sang istri tampak sudah ikhlas kalaupun pada akhirnya Tuhan hanya menakdirkan bahwa jodoh mereka hanya sampai hari ini.

Dikantor, sang suami dilanda kebingungan. Betapa ia baru tersadar selama ini ia telah dianugrahi sosok istri yang begitu baik. Syarat yang istrinya berikan membuat ia jatuh cinta kembali untuk yang kedua kali. Ia merasa bersalah bukankah mencintai pasangan itu harusnya setiap hari? Mungkin hanya masalah komunikasi yang membuatnya merasa bosan dan jatuh cinta lagi pada perempuan lain. 

Saat itu juga ia langsung menemui 'partner bisnis'nya itu. Tanpa diduga pertemuan mereka yang semula dijadwalkan untuk membicarakan masalah penikahan dan membantu mengurus proses perceraian justru malah terjadi hal yang tak diinginkan si 'patner bisnis'. Sang suami mengemukakan semua alasannya dengan baik. Tentang perjanjian 30 hari itu, meski mulanya tidak bisa menerima keputusan sepihak, namun sang suami memang sudah bersikeras untuk kembali pada sang istri dan memutuskan hubungan terlarang ini. 

Sepulang kerja, sang suami memesan buket bunga yang sangat cantik bahkan lebih cantik dari 29 buket bunga sebelumnya. perpaduan mawar pink dan krem warna favorit istrinya. Dengan disertai sebuah tulisan pada kartu ucapan,

"Aku akan menggendongmu dan membawakan sebuket bunga untukmu  tidak hanya berakhir sampai hari ini, tapi akan aku lakukan setiap hari sampai maut memisahkan kita nanti"

Sang suami membawa sebuket mawar cantik itu dengan perasaan sangat senang. Tak sabar rasanya ia ingin menyampaikan berita bahagia ini pada istrinya. Namun ketika mobilnya mulai melaju pelan di sudut gang. Ia melihat banyak kerumunan orang-orang di depan rumahnya.

Masih dengan beragam tanya dibenaknya, saat ia membuka pintu mobilnya, Anak bungsunya berlari dari balik pintu rumahnya. Memeluknya erat sambil terisak, mencoba berbicara dengan nada terbata-bata.
"Papa....Mama meninggal," sang suami pun hanya diam, Berita bahagia itu urung ia rayakan. Yang tersisa hanya tinggal penyesalan.

Ternyata tepat ketika sang suami mengungkapkan pengakuan mengejutkan, sang istri begitu ingin sekali mengadukan hal yang membuat dirinya pun seolah tak mampu memikul beban itu sendirian. ia butuh sandaran, butuh dukungan dan tentunya butuh teman, Namun apa yang sang istri dapatkan? sebuah pengkhianatan. 

Mengapa ia mengajukan syarat yang demikian, sebab dokter mengatakan kanker rahim yang dideritanya sudah sangat parah bahkan kemungkinan ia dapat bertahanpun tidak akan mencapai satu bulan. Selama 1 bulan itu sang istri hanya ingin merasakan manisnya madu di awal pernikahan. Sekaligus ingin menunjukkan bahwa sang suami adalah ayah terbaik untuk anak-anaknya yang begitu perhatian pada keluarga. Sehingga, kalaupun pada akhirnya ia harus benar-benar pergi tidak akan ada kebencian. Sang istri justru menyimpan rapih pengkhianatan yang dilakukan suaminya bahkan tanpa pernah diketahui oleh kedua buah hatinya. "Terimakasih, untuk 30 hari terbaik yang pernah ada," begitu ucapnya lirih  dalam hati meski tidak pernah sempat terucapkan.

Akhirnya buket bunga itu diletakkan tepat di atas pusara sang istri masih disertai dengan sebuah kartu ucapkan bertuliskan, "Aku akan menggendongmu dan membawakan sebuket bunga untukmu  tidak hanya berakhir sampai hari ini, tapi akan aku lakukan setiap hari sampai maut memisahkan kita nanti"

"Sayangnya, jodoh kita memang hanya berakhir sampai hari ini."

*Cerita ini saya baca dari group WA, tidak bermaksud menyadur atau memplagiat karya penulis aslinya. Karena pada saat saya membaca  pun tidak ada keterangan penulis aslinya. Hanya saja saya melihat cerita ini begitu inspiratif dan saya coba menuliskannya kembali dari yang semula hanya dialog biasa menjadi satu cerita utuh yang mudah dibaca. semoga bermanfaat.



Minggu, 18 Oktober 2015

Surat Imajiner dari Kakek Jamil Azzaini


Suratku ini aku awali dengan kata kata,  "aku sangat merindukanmu,  mungkinkah rinduku berbalas?" Dulu kau sering mendatangiku dan menciumku.  Kini kau tempatkan aku ditempat yang nyaman,  namun itu menyiksaku karena kau jarang bercengkrama denganku.  Kau lebih sibuk berlama-lama dengan IPad dan BB-mu.

Ketahuilah,  saat kau bercengkrama denganku setiap hurufku memberi satu kebaikan dan memberikan 10 kali lipat pahala walau mungkin kau tak tahu maknanya.  Bahkan,  saat kau terbata-bata untuk berucap kau justru mendapat dua pahala.  Pahala membacaku dan pahala karena kau kesulitan mengucapkannya.

Siapa yang berpegang teguh kepadaku,  ia tak akan tersesat.  Tapi mengapa kau merasa tak bersalah saat tak menyapaku?  Kau malu bila belum membaca buku atau novel bestseller.  Tapi mengapa kau tidak malu sedikitpun saat belum selesai membacaku?  Aku ada bukan untuk kau simpan
di lemarimu tetapi seharusnya kau simpan di hatimu. Tapi bagaimana mungkin aku bersemayam dihatimu bila kau jarang membacaku.

Aku dipelajari bukan hanya ketika kau kecil tapi seharusnya setiap waktu. Mengapa?  Karena aku ini pedoman hidupmu. Aku bukanlah mainan yang kau baca saat kau kecil. Aku ada juga bukan sekedar menjadi mas kawin saat kau menikah bukan saja kau ingat hanya saat ada kematian di keluargamu.

Mengapa hidupmu kacau?  Mengapa kau sering jenuh?  Mengapa hidupmu sering gelisah?  Mengapa kau sering berani berbuat maksiat?  Mengapa kau banyak tak mengerti ketentuan Tuhanmu?  Itu karena kau jarang bercengkrama denganku.

Demikianlah suratku untukmu semoga kau mengerti keluhan dan deritaku.  Aku ingin kau manjakan seperti IPad dan BB-mu.

Yang rindu padamu,
Kitab sucimu

Senin, 06 Juli 2015

Satu Tahun



Hai Kak Mirza, lama kita tidak saling bertukar cerita dan mendengar voice note nyanyi nyanyi kaka ketika malam-malam imsomnia itu menyapa, kangennya. Oh iya hari ini genap satu tahun sudah persahabatan keren kita kak. Semoga kakak masih mengingatnya ya seluruhnya atau sebagiannya.  Tentang “Mulanya, kita hanya dua orang asing yang tidak pernah saling menyapa” tentang awal perkenalan kita, dua orang manusia yang memutuskan rela menjadi pendengar, penasihat, penyemangat, dan patner terbaik untuk satu sama lain. Satu tahun berlalu lebih cepat dari tahun-tahun sebelumnya.

Mirza Sahadat, seorang pria berperawakan tinggi dengan rambut sedikit ikal dan berkacamata dengan senyum khasnya yang membuat saya seolah turut bahagia melihatnya. Sosok sederhana yang satu tahun belakangan ini menjadi pendengar terbaik keluh kesah saya yang darinya saya mendapatkan banyak pelajaran hidup yang luar biasa.  Sosok yang mebuat saya percaya akan keajaiban doa-doa. Sosok yang teramat mandiri yang mampu membiayai kuliahnya dan hidupnya sendiri. Sosok kakak yang selalu menginginkan yang terbaik untuk saya yang sudah ia anggap sebagai adiknya sendiri. Orang pertama yang meminta saya resaign kerja dan fokus di wirausaha dan sampai hari ini saya tidak pernah menyesalinya justru saya begitu mensyukurinya. Sosok yang mengenalkan saya pada indahnya alam ciptaan Tuhan karena hobbinya yang tak terpisahkan dengan keindahan alam. Sosok yang membuat saya iri dan ingin aktif menulis lagi, Sosok yang selalu berbicara dengan kaidah ejaan bahasa Indonesia yang disempurnakan yang kakak bilang dialog pembicaraan kita seperti atasan dan bawahan…hehe. Sosok yang hebat, kuat sekalipun dihujani bertubi tubi ujian hidup yang cukup dahsyat. Sosok yang mempunyai ruang paling nyaman untuk saya pulang mengadukan banyak hal. Ah kakak terima kasih ya :)

Tentang rahasia besar yang selama ini kakak simpan sendiri, terimakasih ya sudah mau berbagi. Terimakasih sudah diizinkan menuliskannya kembali dalam karya prosa non fiksi.
Terima kasih atas banyak hal menyenangkan yang sudah rela dibagi selama satu tahun terakhir ini, semoga akan selalu tetap seperti ini.
Terimakasih sudah berbaik hati memaafkan banyak janji yang sampai saat ini belum tergenapi.

06 Juli 2015
_Aini_

Kamis, 04 Juni 2015

Sebuket Mawar

Tentang sebuket mawar yang hampir dibuang, menunggu calon pemiliknya yang tak kunjung datang di penghujung petang.

  Lima tahun yang lalu kita disibukkan dengan saling mencari informasi dan latihan soal-soal SNMPTN. Semenjak Dimas memutuskan kuliah di luar kota, kunjungannya ke rumahku untuk meminjam soal-soal latihan SNMPTN menjadi kunjungannya yang terakhir. Sejak saat itu, tidak pernah ada pertemuan-pertemuan lagi. Mungkin sesekali hanya bertegur sapa melalui sosial media saja. Itupun masih dapat dihitung dengan jari, intensitas kita untuk bertemu menjadi jarag terjadi bahkan sudah tidak pernah sama sekali.

Aku dan Dimas sibuk dengan dunia baru, teman-teman baru, lingkungan baru juga sibuk dengan segala hiruk pikuk dunia perkuliahan, sehingga untuk sekedar bertemu pun tak ada waktu. Dimas sudah jarang sekali pulang. Kalau pun tiba waktu liburan Dimas lebih sering berlibur bersama-sama temannya. Semester demi semester pun terlewati dengan baik. Aku pun mengetahui segala hal tentang dirinya hanya melalui akun sosial media miliknya.  Hingga pada akhirnya  tahun-demi tahun berlalu, aku yang lebih dulu menyelesaikan program diploma tigaku.

Ketika pada satu kesempatan secara tidak sengaja kita bertegur sapa di jejaring sosial line,  Dimas menyapaku lebih dulu waktu itu. Obrolan pun mengalir. Mulai bertanya kabar satu sama lain serta menanyakan  kesibukan masing-masing.

“Sudah bab berapa skripsimu Dim?” aku menunggu jawabannya sambil memandang layar ponsel. Dimas membalasnya cepat. 

“Alhmdulillah hanya tinggal menunggu jadwal sidang, mohon doanya ya An, semoga lancar” jawabnya penuh harap. Aku pun hanya menjawabnya dengan beberapa emoticon smile serta mengamininya dalam hati.

Sejak hari itu seperti biasa kembali tak ada kabar, Dimas menghilang, kita kembali disibukkan dengan urusan masing-masing. Aku tak pernah berani menyapa lebih dulu karena pikirku Dimas pasti sedang disibukkan dengan proses penyusunan skripsi yang cukup membuatnya lelah bahkan hampir menyerah. Ya aku pernah merasakan ada di posisi itu.

Sudah pukul 23.55 WIB, mata ini seakan sulit sekali untuk terpejam. Kuraih sebuah buku ‘Ratapan Kerinduan Rumi’ dari rak buku sebelah tempat tidurku. Hanya baru membaca beberapa halaman ponselku bergetar yang menandakan satu pesan BBM masuk.
“Di-mas Hen-dra-wan,” kueja namanya perlahan dengan sebersit  tanya menggantung ada apa Dimas menghubungiku larut malam.
“Embillllllll…” hanya memanggil disertai “PING!!!” beberapa kali. Memiliki pipi chubby membuatnya memanggilku dengan sapaan embil, si pipi gembil.
“Iyaaaaa ada apa?” jawabku datar.
“Embilll…aku lulus dong sidangnya. Alhamdulillah semuanya berjalan lancar makasih ya doanya datang ya ke acara wisuda tanggal 26 April 2015,” Aku tersenyum membaca pesannya, membayangkan wajah sumringahnya ada di hadapanku sekarang.
“Alhamdulillah ikut senang, selamat ya Dim. Cieee akhirnya sebentar lagi ada yang pakai toga hehe,” ledekku usil.
“Iya An, Alhamdulillah datang ya lima tahun loh kita gak ketemu.” Lima tahun? Selama itu? Sesaat , ingatan seolah berputar, pulang kembali ke belakang.
“Insya Allah ya Dim kalau gak ada halangan aku pasti datang,”
***

26 April 2015,
Begitu banyak orang berlalu lalang dengan rona kebahagian terpancar mewarnai wajah wisudawan dan wisudawati dengan masing-masing didampingi rombongan keluarganya. Dengan derap langkah tergesa aku memasuki pintu utama. Saat itu acara wisuda yang berlangsung masih sesi pertama, sementara Dimas tergabung di kelompok wisuda sesi kedua. Akupun merogoh tas mungilku, mengambil telepon genggam untuk mengabarinya.

“Kamu dimana?” belum sempat pesan BBM terkirim kuurungkan niatku untuk memberi tahunya. Ah mungkin Dimas masih sibuk dengan keluarga dan teman - temannya. Nanti saja jika acara wisuda sudah usai, pikirku. Aku menunggu di area rest room. Mengusir jenuh aku pun secara tak sengaja membuat status BBM bahwa aku sedang berada di tempat yang sama dengannya. Ah bodoh !. Seketika tanpa menunggu lebih lama,

“PING!!! “
“Kamu dimana?”
“Di lobi  utama Dim, acaranya masih lama?” akupun balik bertanya.
“Mungkin selesai sekitar jam 4, tunggu ya nanti aku kesana” Balas Dimas cepat.

Sambil menunggu acara wisudanya Dimas usai aku pun keluar gedung memilah bunga yang akan kuberikan pada Dimas sebagai ucapan selamat atas gelar sarjana yang telah diraihnya. Sebuket bunga mawar merah cantik sudah berpindah tangan padaku.

Tak lama berselang, aku melihat beberapa wisudawan dan wisudawati dengan mengenakan warna samir dan toga yang berbeda-beda sudah keluar dari ruang prosesi wisuda, tapi aku masih belum melihat Dimas. Sambil membawa sebuket mawar aku mencari-cari sosok Dimas memandang dengan jeli ke setiap sudut ruangan.

“Kamu pakai toga warna apa? Aku cari-cari kamu kok enggak ada Dim?” sambil menunggu balasan dari Dimas pandanganku masih menyapu ke segala arah. Ponselku kembali bergetar,
“Aku pakai toga warna biru muda. Kamu dimana, pakai baju warna apa? Nanti aku yang kesana. Atau engga kamu tunggu di tempat aku ambil buku angkatan tau kan?”
            “Aku pakai dress hitam Dim, Ya sudah iya.” balasku singkat. 

         Aku berjalan ke tempat yang Dimas maksud. Aku melihat kanan kiri beberapa wisudawan  sedang tampak asyik berfoto keluarga, bercengkrama dengan teman-teman dan keluarganya. Sementara aku masih sibuk menunggu Dimas untuk bertemu. Hampir setengah jam aku mematung berdiri menunggu dimas datang dengan perasaan cemas. Sementara pesan BBM-ku tak kunjung ia baca. Sehingga aku memutuskan untuk kembali ke tempat semula aku menunggunya.

“PING !!!”
“Kamu dimana, aku ke tempat mengambil buku angkatan kok kamu engga ada?”tanya Dimas.
“Aku nunggu kamu di tempat itu hampir setengah jam tapi kamu juga ga ada jadi aku balik lagi ke rest room” akupun membalas pesan BBM Dimas dengan wajah kecewa sambil menerka-nerka mungkin Dimas sibuk berfoto dengan keluarganya, teman-temannya atau bahkan pacarnya sementara aku hanya teman lama, sosok yang tidak penting bahkan sudah asing buatnya.

“Iya maaf ya An…aku tadi nyari Papa sama Mama dimana ini juga masih belum ketemu. Tunggu ya”
Masih dengan segenap perasaan ingin bertemu dan sekedar mengucapkan ‘selamat’ aku masih bersabar untuk menunggu.
“Kamu dimana sih Dim? Ini udah sore loh, mau hujan  aku mau pulang?”
“PING!!!”
“PING!!!”
“PING!!!”
Berkali-kali menatap layar ponsel tapi tak ada pesan masuk bahkan Pesan BBM-ku sebelumnya masih belum Dimas baca.
“Kamu tuh di rest room lantai mana?”
“Lantai dasar Dim, kamu dimana sih? Hp aku udahlow batrenya tinggal 26%.”

“Ya ampun…aku di rest room lantai dua. Pantesan aku keliling nyari kamu engga ada, sekarang kamu dimana?”
“Aku di rest room yang deket pintu lurusan tempat parkir, 10 menit kamu engga datang aku pulang.” jawabku dengan nada sedikit kesal karena ibuat menunggunya terlalu lama.

Perasaanku semakin tak karuan, Dimas tak kunjung datang. Aku menatap kosong sebuah tong sampah di sudut itu. Menatapnya bergantian dengan sebuket mawar yang kupegang. Rasanya sebuket mawar ini ingin kubuang, namun tiba-tiba terbayang wajah sumringah Dimas hal itu pun kuurungkan.
“PING!!!”
“Aku udah lebih dari 3 kali muter-muter parkiran kamu dimana An?”
“Ya Allah, Dim kan aku bilang aku di rest room deket pintu yang arah lurusan parkiran tapi bukan di parkiran,” aku sudah hampir putus asa mungkin ingin segera pulang saja.
“Aduh maaf An…aku salah baca bbm kamu, soalnya aku pusing nyari Papa sama Mama, ini udah ketemu tapi mereka udah ngajak pulang. Aku udah mau ke parkiran, maaf ya An kamu hati-hati.”
Ada perasaan sesak yang menyelimuti rongga dada membaca BBM darinya. Betapa tidak, semuanya terlihat sia-sia. 2 jam aku menunggunya. Aku berjalan ke luar gedung, tapi entah kenapa yang seharusnya aku berjalan lurus menuju parkiran seperti ada ygang membelokkan langkahku untuk menuju pintu utama. Aku masih memilih bertahan di depan pintu utama ditengah ramainya kerumunan orang-orang, seolah ada yang menahan “Jangan pulang, jangan pulang Dimas pasti datang”.
Aku pun menundukkan pandangan, menatap sebuket mawar merah yang hampir berkali-kali ingin kulepas dari genggaman, dan sekarang pun Dimas sudah pulang untuk apa masih kubawa sudah tak ada lagi yang menginginkannya.  
Dari kejauhan aku melihat sesosok pria yang sedang kebingungan, sesekali menatap layar ponselnya. Sepertinya aku mengenalnya. Ya, itu Dimas. Dimas datang, ia belum pulang. Dimas terlihat lebih dewasa dengan balutan baju toga yang dikenakannya.
“Selamat ya Dim,” aku berdiri tepat dihadapannya dengan memberikan sebuket mawar merah, sementara ia masih sibuk dengan telepon genggamnya. Sibuk menghubungiku yang kini sudah tepat berada dihadapannya.
“Hey ya ampun An…makasih ya,” Dimas tampak mencoba menyembunyikan raut wajahnya yang terkejut kemudian mengambil sebuket mawar itu dengan senyum mengembang. Perasaan marah, kecewa, putus asa hilang seketika melebur menjadi rasa haru dan bangga melihatnya mengenakan toga dan berhasil lulus di waktu yang tepat.
“Sama-sama Dim, selamat ya semoga ilmunya bermanfaat. Ya ampun perjuangan banget mau nemuin kamu Dim, padahal aku udah mau pulang itu bunga juga udah mau aku buang karena udah layu nungguin kamu yang ga datang-datang,” kita berdua tertawa menceritakan kekonyolan masing-masing yang saling mencari lebih dari satu jam.
“Aku ga bisa lama ya mau langsung pulang Dim,”
“Eh bentar foto dulu foto dulu ya An buat kenang-kenangan,” Dimas meminta tolong pada seorang ibu muda yang tepat berdiri disamping kami. Kami tersenyum. Lima tahun tak bersua seolah terobati dengan lima menit foto bersama.
“Makasih ya An sudah menyempatkan diri buat datang. Aku  udah putus asa nyariin kamu An. Lucu, kesel, kecewa, putus asa campur aduk deh. Nanti kita ketemu lagi ya insya allah” Dimas tersenyum, lengannya menggamit lenganku.
Mulanya kita berjalan beriringan, bersisian. Sesaat kemudian aku dan Dimas berjalan berlainan arah. Orangtuanya sudah menunggunya di depan sementara aku masih harus menuju parkiran. Ia menoleh masih dengan senyumnya yang mengembang sambil berujar, “hati-hati”.
Mobilnya melaju perlahan, aku masih berdiri memandang laju mobilnya yang semakin menjauh, “Dim, Ada banyak hal-hal baru yang menunggumu di depan, hari ini baru sekedar permulaan bukan akhir dari segalanya, semoga Tuhan senantiasa mempermudah jalanmu untuk lebih banyak lagi menebar kebaikan dan kebermanfaatan,” ujarku pelan ditengah hari yang sudah petang. Dan akhirnya sebuket mawar itupun kamu bawa pulang.






Kamis, 24 Juli 2014

Tak Ada Doa yang Sia-Sia


Jarum jam terus melaju cepat menunjukkan pukul 22.30 WIB, namun Alia masih saja berkutat di depan laptop kesayangannya. Berjam-jam berada di depan laptop untuk menulis memang sebuah rutinitas yang menyenangkan baginya. Tak sengaja, ia menemukan file lama berjudul ‘Tentang Ayah’ saat merapikan semua file tulisannya yang sedang ia susun berdasarkan tahun. Seperti biasa apabila jenuh mulai merajai pikirannya, sejenak Alia memilih untuk berselancar di dunia maya dengan membuka beberapa akun jejaring sosial miliknya mulai dari facebook, twitter dan kompasiana. Alia pun memutuskan untuk mempublikasikan tulisan ‘Tentang Ayah’ di akun kompasiana miliknya yang kemudian ia share di akun facebook.
Hanya dalam hitungan menit sebuah komentar muncul di tautan yang ia share sebelumnya, Terus berikan yang terbaik untuk Ayah, agar beliau dapat tersenyum bangga melihat anak bungsunya”. Alia merasa aneh membacanya. Bagaimana tidak yang memberi komentar adalah asisten dosen lab, pria keturunan chiness bernama Wira Gunawan yang dalam kesehariannya seringkali memandang Alia dengan tatapan sinis.
Dengan cepat Alia membalas komentar Wira, sekedar ucapan terima kasih karena telah berkesan membaca tulisannya. Namun dari hari ke hari komentar di tautan tersebut pun berlanjut, dari mulai komentar Wira mengenai tulisan Alia, bertanya kabar satu sama lain, tugas akhir, hingga sampai membahas persoalan yang tidak penting sekalipun. Bagi Alia, bertegur sapa si dunia maya dengan Wira adalah barang langka.
***
Sepulang kuliah, tak sengaja keduanya bertemu di lobi kampus. Yang sebelumnya Alia merasa enggan walaupun hanya sekedar menyapa Wira tapi kali ini, Alia beranggapan sosok asisten lab yang selama ini dikenalnya cendrung jutek dan menyebalkan bisa juga menjadi teman cerita yang menyenangkan.
Suasa lobi kampus tampak lengang, tak ada kegaduhan mahasiswa yang terlihat seperti biasanya, mungkin karena hari itu sudah hampir petang jadi hanya ada beberapa mahasiswa saja yang berada di sana yang sibuk dengan aktivitasnya masing –masing. Dari kejauhan Alia sudah dapat menebaknya bahwa sosok yang sedang berjalan searah dengannya adalah Wira karena ia selalu mengenakan pakaian hitam putih jika berada di lab komputer. Keduanya berpapasan.
“Hei Kak Wira, kemana aja kok gak pernah keliatan di kampus?”
“Biasa jadwal padat hehe” Wira memang tipikal orang yang tak pernah banyak bicara.
“Oh iya semester depan masih jadi asdos gak Kak?” tanya Alia sambil memilin-milin ujung jilbanya.
“Alia, maaf ngobrolnya lain kali ya saya lagi buru-buru” Wira melempar senyum yang kemudian dibalas cepat oleh Alia dengan anggukan kepala. Ada beragam tanya dibenak Alia melihat tingkah Wira yang terlihat aneh, dahi Alia berkerut dengan sorot mata yang kebingungan. Wira adalah kakak tingkat Alia yang sekaligus merangkap sebagai asisten dosen. Sudah 4 semester ini Alia di bimbing oleh Wira apabila praktikum membuat program. Di kampus, Wira memang lebih sering terlihat di lab sebagai asisten dosen ketimbang sebagai mahasiswa pada umumnya. Jadi, tak heran jika ia bersikap dingin seperti barusan.
***
Serasa baru kemarin Alia gagal mengikuti tes SNMPTN, namun sekarang ia sudah sampai di titik akhir masa-masa kuliahnya. Ya sekalipun ia pada mulanya merasa enggan untuk kuliah di jurusan manajemen informatika, namun lambat laun ia mulai terbiasa menjalaninya. Alia juga masih sesekali menulis apabila ada waktu luang. Ia selalu ingat ucapan sahabatnya, bahwa untuk menjadi seorang penulis itu tidak harus berlatar belakang pendidikan sastra indonesia. Hanya bermodal yakin ia mencoba menyeimbangkan antara kuliah dan tetap menulis, hal yang sangat disukainya sejak duduk di bangku kelas 6 sekolah dasar. Namun kali ini tugas akhir hampir menyita waktu luangnya untuk menulis, ia pusatkan perhatiannya pada tugas akhir, berharap kuliahnya dapat selesai tahun ini.
Sementara di tempat yang berbeda Wira tampak larut dalam lamunannya. Ada hal serius yang sedang dipikirkannya.Wira memang telah terbebas dari bayang-bayang sidang tugas akhir karena Wira sudah diwisuda sejak 5 bulan yang lalu dengan hasil yang sangat memuaskan. Namun, masalah baru muncul ia merasa dilema memikirkan langkah apa yang harus ia ambil setelah lulus kuliah, meneruskan ke jenjang yang lebih tinggi atau bekerja terlebih dahulu. Hingga Wira mengalami dilema yang cukup akut.
***
Setelah dua minggu berlalu keduanya bertemu kembali di sebuah lesehan sunda dekat kampus karena saat itu memang sudah jamnya makan siang. Namun kali ini ada yang berbeda, semenjak komentar facebook Alia dan Wira terlihat lebih akrab dari biasanya keduanya pun memutuskan untuk makan di meja yang sama dan terlibat dalam obrolan panjang dari hujan rerintik hingga menjelma menjadi hujan yang sangat deras sampai hujan sudah reda pun mereka masih larut dalam cerita dan gelak tawa.
“Alia maaf ya waktu itu saya buru-buru soalnya waktu itu saya mau tes instruktur tapi akhirnya saya gagal juga, terus kalo gak salah kamu nanya tapi belum saya jawab ya, semester depan saya sudah gak jadi asdos lagi kontrak saya sudah habis. hehe…” Wira menyeruput jus mangga dihadapannya sementara Alia terlihat langsung tersedak.
“Lho gimana ceritanya Kak, kok bisa gagal sih terus kenapa gak diperpanjang jadi asdosnya Kak?”
Masa kerja saya udah habis, jadi pasti asistennya bukan saya. Siapapun yang ngajar sama aja, yang penting patokan semangat belajarnya di diri sendiri bukan di yang ngajarnya ya hehe…” tak lama makanan yang dipesan keduanya sudah datang, “makasih Mbak,” ujar keduanya serentak.
“Idih Kak Wira geer banget deh hehe,” jawab Alia melempar potongan lalapan timun ke arah Wira. Wira hanya tertawa pelan melihat kekonyolan tingkah Alia.
Hujan deras membuat banyak orang yang sebelumnya telah selesai makan siang terjebak dalam sebuah pendopo kayu bertirai bambu, meskipun ada beberapa orang yang nekat menerobos hujan siang itu. Namun Alia dan Wira lebih memilih menunggu hingga hujan reda.
“Kamu suka nulis ya? Sejak kapan?” tiba-tiba Wira kembali membuka pembicaraan.
“Sudah lama sih dari kelas 6 SD cuma ya gitu pasang surut hehe”
Good… good…, terus berkarya sesuai minat dan keinginanmu terlepas dari apapun studi yang ditempuh, kamu harus yakin pasti bisa tapi jangan lupa juga kerjain tugas akhinya ya hehe” tutur Wira bijak. Alia mengacungkan jempolnya seraya tersenyum. Selang beberapa menit kemudian Wira malah terlihat melamun, memandang butiran-butiran air hujan yang jatuh tepat dihadapannya.
“Tenang Kak gak usah galau gitu. Gagal jadi instruktur tapi masih ada lowongan kok buat bantu tugas akhir aku hehe,” canda Alia membuyarkan lamunannya.
“Wooo maunya, galau sih enggak cuma masih kecewa aja padahal saya sangat berharap disitu, tapi saya harus menerimanya dengan lapang dada, pasti masih ada rencana yang lebih baik buat saya” ujar wira sambil memainkan sebuah sedotan yang berada didalam gelas jus mangganya.
“Dulu, waktu aku dinyatakan gagal di universitas negeri aku sempet marah sama Tuhan, menganggapnya tidak adil. Padahal setiap selesai salat aku gak pernah lupa berdoa memohon yang terbaik tapi aku yang mati-matian berjuang harus pulang sore tiap hari, bahkan malam hari tak kunjung diterima di PTN. Tapi, temen-temenku yang terkesan biasa-biasa aja justru lebih mudah masuk di universitas yang mereka mau”
“Tapi…tau gak Kak orang yang sedang berdoa itu ibarat seorang pengamen lho, konteksnya sama sama meminta diiringi usaha, tapi gak semua pengamen mendapatkan imbalan yang serupa tergantung usahanya dulu seperti apa”
Air yang dengan derasnya turun dari langit itu perlahan sudah tidak tampak lagi, hanya menyisakan aroma bau tanah sehabis hujan dan air yang mengendap di beberapa pohon di sekitar pendopo yang saat ini sedang ditempati Alia dan Wira.
“Maksudnya?” Wira tampak bingung dengan penuturan Alia barusan. Dan entah kebetulan atau apa siang itu, setelah hujan reda tak jauh dari meja Alia dan Wira ada dua orang pengamen yang berada di lesehan sunda tersebut sehingga dengan mudah Alia menganalogikan serta menjelaskan apa yang tadi diutarakannya.
“Lihat deh pengamen itu coba Kakak perhatiin baik-baik” Alia menunjuk dua orang pengamen remaja di depan orang yang sedang makan siang. Wira memperhatikan pengamen itu dengan seksama sementara Alia kembali melanjutkan pembicaraannya.
“Karena mereka asal-asalan nyanyinya terus ga jelas intonasi nadanya, tanpa lebih dulu menunggu lagu yang dinyanyikannya selesai buru-buru sepasang kekasih itu memberinya uang sekadarnya saja supaya mereka cepat pergi sebelum gendang telinga mereka pecah. Lain halnya dengan pengamen bersuara merdu dan menyanyi dengan santai yang berada di meja sana tuh Kak.” Alia menunjuk seorang pengamen bertubuh tinggi dengan gitar coklat yang dibawanya.
“Tuh Kak liat deh mbak-mbak itu tampak menikmati alunan musik dan indahnya syair lagu yang dibawakannya. Merdu, syahdu…bahkan ketika lagu yang dibawakan pengamen itu selesai Mbak tersebut seperti ingin mendengarnya lagi dan lagi.”
“Terus hubungannya apa?”ujar Wira kembali bertanya.
“Sama halnya dengan orang berdoa Kak, kalo orang yang berdoa itu tergesa-gesa, gak sabar nunggunya tapi dengan usaha yang biasa-biasa aja kemudian ingin doanya segera dikabulkan, dengan cepat Tuhan akan mengabulkan doanya namun dengan hasil yang biasa-biasa pula. Seperti pengamen dengan suara asal-asalan tadi yang mendapat imbalan sekadarnya saja. Lain halnya dengan orang yang senantiasa berdoa disertai usaha dan kesabaran dalam menunggu doanya. Sekalipun Tuhan begitu lama mengabulkan doanya itu bukan berarti Tuhan menolak atau bahkan tidak mendengar doa kita, hanya saja Tuhan sedang mengabulkan doa-doa kita yang lainnya. Dan satu lagi itu artinya Tuhan senang mendengar rintihan doa kita Kak, lalu kesabaran kita akan diganti dengan imbalan di atas rata-rata juga. Sama halnya seperti pengamen kedua tadi sekalipun Mbak-Mbaknya lama memberikannya uang tapi ia menikmati prosesnya dan pastinya ia diberi uang yang lebih besar ketimbang dengan pengamen pertama yang nyanyinya asal-asalan”
“Waaaah iya iya pinter juga kamu ya hehe” Wira baru sadar atas apa yang dituturkan oleh Alia.
“Dari dulu kali ka hehe”
“Perasaan enggak deh, pis…hehe” Wira menyunggingkan senyum khasnya meledek Alia.
“Hush jangan suka pake perasaan, jargon favoritnya Kak Wira kalo program aku error di lab sambil ngeloyor pergi hahaha” dengan cepat Alia membalas ledekan Wira.
Hahaha habis kamu terlalu berperasaan sih buat meriksa errornya. Ditinggalin tuh supaya kamu usaha nyari dulu, kalau ‘disuapin’ melulu gak akan bisa hehe.”
“Waktu saya gak lolos jadi instruktur, sekitar satu bulan lebih saya terus bertanya pada Tuhan, kenapa saya ga lolos, padahal tujuan saya adalah untuk memuliakan-Nya.” Alia tampak serius sekali mendengarkan cerita Wira.
“Saya meminta pendapat dari teman-teman, guru-guru juga pendeta.
Kalau mereka jadi saya, apa yang mereka pilih. Kuliah tapi membebani keluarga untuk masalah biaya atau bekerja tapi meninggalkan hasrat dan semengat untuk terus belajar. Jawaban beragam mereka berikan pada saya, tapi bodohnya saya lupa ajukan pertanyaan itu pada Tuhan lewat doa. Saya bertanya pada-Nya lewat doa, Tuhan boleh gak saya lihat setitik saja rancangan yang Engkau mau lewat hidupku. Pada akhirnya Tuhan menyampaikan jawaban-Nya pada saya melalui saat teduh doa, pembacaan & perenungan Alkitab, jawaban yang saya dapat Wira… apapun yang kamu pilih, pilihan itu ditujukan untuk memuliakan Tuhan di atas segalanya, jangan membebani orang lain (kamu harus kerja) dan tidak boleh mengubur impianmu sendiri (kamu harus kuliah) serta lakukan semua itu dengan penuh tanggung jawab. Dan saya masih terus berusaha sampai saat ini untuk mencapai itu.
“Saat yang teduh itu maksudnya apa Kak, terus jawaban itu didapat ketika apa?” Alia tampak menunjukkan rasa keingintahuannya yang sangat besar alias kepo.
Saat yang teduh itu, mungkin kalau dalam islam itu adalah waktu subuh waktu di mana sebelum manusia memulai segala aktivitasnya. Dan jawaban itu saya dapat ketika saya membaca alkitab seperti ada sebuah pencerahan dalam pemikiran saya”
“Oh gitu ya…hemmm” ada decak kagum yang menyelinap dihati Alia mendengar penuturan Wira, dan hari itu ia mendapatkan sebuah pelajaran yang berharga bahwa doa itu adalah senjata yang paling ampuh dalam setiap masalah apapun dan dalam agama apapun.
Sampai pada akhirnya tibalah waktu di mana Alia menjalani sidang tugas akhir, hari itu setelah sidang tugas akhirnya berhasil ia lalui tanpa ia kira sebelumnya ia mendapat kabar bahwa buku kumpulan cerpennya terbit. Hal itu sekaligus membuktikan keajaiban doanya bertahun-tahun yang lalu, dulu ia bersikukuh untuk kuliah di jurusan sastra indonesia karena ingin menjadi seorang penulis tapi hari itu Tuhan membuktikan bahwa manajemen informatika tidak sedikitpun menghambatnya untuk terus aktif menggeluti dunia sastra. Dan berita yang tak kalah membuat Alia gembira satu mingga setelah kebahagiannya, Wira juga mendapatkan kebahagiaan yang sama. Kini ia sudah bekerja di sebuah perusahaan tanpa mengubur impiannya untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi, akhirnya ia bisa menyeimbangkan waktunya antara kerja dan kuliah.
Dua bulan setelah sharing tentang doa itu mereka memutuskan untuk kembali bertemu karena ingin berbagi kebahagian. Masih di tempat yang sama, di sebuah lesehan yang kental dengan nuansa pedesaan. Wira sudah tampak seperti pengusaha muda mengenakan kemeja berdasi.
“Cieeee yang udah kerja traktir dong hehe.” Goda Alia menyambut kedatangan Wira dengan senyum bahagianya.
“Emmm…ciee cieee yang buku kumpulan cerpennya udah terbit traktir juga doong hahaha” balas Wira usil.
“Hahaha yaudah kalo gitu bayar sendiri-sendiri aja deh ga jadi traktirnya sama aja kan? hehe”
“Lho ga bisa harus kecipratan rezeki masing-masing doong” Wira tampak mebolak balikkan buku menu.
“Ya udah kalo Kak Wira pengen banget traktir aku gak apa-apa, tapi aku traktir Kak Wiranya kapan-kapan aja ya haha…” Wira terdiam sesaat kemudian menghela nafas panjang, ”Oke deh tapi saya minta traktirnya setiap hari setiap jam makan siang ya Al… haha”
Rona bahagia terpancar dari wajah keduanya, dengan tatapan menerawang kosong ke arah air mancur kolam ikan yang berada disampingnya Alia berujar pelan,
“Hemm sekalipun kita mempunyai keyakinan yang berbeda, tapi kita mempunyai satu pemahaman yang serupa tentang doa. Ya, bahwa tak ada doa yang sia-sia sekalipun Tuhan begitu lama menjawabnya” lengkung pelangi terbalik menyeringai indah di wajah Alia dan Wira.
***


Mang Adim


Pagi-pagi sekali ketika satu persatu embun luruh dari ujung daun dari pengeras suara masjid terdengar sebuah pengumuman bahwa hari ini seluruh warga dihimbau untuk bekerja bakti membersihkan masjid, karena hanya tinggal satu hari lagi seluruh umat muslim di dunia akan menyambut bulan suci ramadhan. Bulan yang sangat istimewa dibandingkan sebelas bulan yang lain. Satu persatu warga dari kampung sebelah berdatangan memenuhi halaman masjid terlebih kaum adam, sedang ibu-ibunya bertugas untuk menyiapkan makanan dan minuman untuk bapak-bapak yang ikut bekerja bakti. Sedangkan warga dari komplek perumahan itu sendiri yang datang hanya beberapa. Meskipun jumlahnya tidak banyak setidaknya ada perwakilan yang ‘datang’ dari mayoritas yang ‘tidak datang’.
Masjid Darussalam berdiri begitu megahnya dengan arsitektur mewah yang bahan baku pembuatannya diimpor dari luar negeri. Sementara dananya didapat dari sumbangan warga komplek perumahan yang mempunyai kekayaan melimpah. Namun sayang masjid ini terkesan kurang terurus meskipun terletak di kawasan perumahan elit dan padat penduduk. Toiletnya terlihat kotor, karpet dan lantainya dibiarkan berdebu, mungkin mukena-mukena yang menggantung yang telah disediakan untuk tamu pun sudah berbulan-bulan tidak tersentuh aroma wangi dari sabun cuci. Setiap harinya para warga sibuk berkerja di kantor. Bapak-bapak yang kerapkali mengikuti salat berjamaah pun dapat dihitung dengan jari itupun berasal dari warga kampung sebelah. Mungkin, jika di masjid-masjid lain masih sering diadakan pengajian, lain halnya dengan mesjid megah ini yang selalu sepi. Tak ada ibu-ibu yang menggelar pengajian rutin meskipun hanya seminggu sekali. Ibu-ibu di komplek ini adalah istri dari para petinggi perusahaan yang gemarnya belanja, arisan dan mengikuti perkembangan fashion. Sedangkan anak-anak mudanya lebih gemar mencari kesenangan di mall ketimbang mencari pahala di masjid.
***
Melihat kondisi masjid yang tidak terurus inilah yang membuat Mang Adim, seorang lelaki paruh baya berusia 61 tahun merasa terpanggil untuk mengurus masjid. Semenjak istrinya meninggal dunia beberapa bulan lalu ia hidup sendirian dan kesepian karena tidak mempunyai keturunan. Sehingga ia memutuskan mengabdikan hidupnya agar bermanfaat untuk orang banyak dengan menjadi marbot di masjid.
Sedangkan rumah sederhana yang pernah ia tempati bersama istrinya dijual untuk menutupi hutang-hutangnya ketika membiayai pengobatan istrinya yang sudah menelan biaya cukup banyak. Kemudian sisanya ia gunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Kebetulan di samping tempat wudlu ada ruangan yang tidak terpakai, sehingga dimanfaatkan Mang Adim untuk kamar tidur. Ruangannya memang tidak besar. Namun cukup jika untuk hidup seorang diri.
Hari-harinya dihabiskan di lingkungan masjid. Mulai dari pagi hari ia sudah terlihat menyapu dan kemudian menyirami bunga-bunga dan pepohonan di halaman masjid. Siang harinya ia membersihkan puluhan toilet serta tempat wudhu sampai benar-benar bersih. Sementara untuk makan, terkadang ada warga yang berbaik hati membagi makanan untuknya. Namun begitu ia tak pernah mengharapkan pemberian dari orang lain, jika ada yang memberi ia terima dengan penuh rasa syukur namun jika tidak ada pun ia selalu membeli makan di warung dengan uang dari gaji yang diterimanya setiap bulan sebagai marbot masjid. Gajinya memang tidak besar, namun cukup jika untuk membiayai kebutuhannya sehari-hari. Sebanyak apapun rezeki yang Tuhan beri ia selalu menerimanya dengan kelapangan hati dengan wajah yang selalu berseri.
Jika sudah masuk waktu salat, seketika Mang Adim menghentikan seluruh aktivitasnya bergegas mengambil air wudlu. Selain menjadi marbot masjid, Mang Adim juga kerap kali bertindak sebagai muadzin menyerukan kumandang adzan. Menjelang sore harinya Mang Adim menyapu dan mengepel lantai masjid yang begitu luasnya dengan nafas terengah mungkin karena tubuhnya yang sudah renta. Rambutnya hampir seluruhnya memutih, jalannya sudah tidak tegap lagi, namun hal itu bukan penghalang baginya, buktinya ia mampu menyelesaikan tugasnya membersihkan masjid seorang diri.
Sekalipun dalam hidupnya ia merasa sangat kesepian, tapi Mang Adim yakin ia punya Tuhan yang tidak pernah sekalipun menginggalkannya sendirian. Ia tidak pernah mengeluh, justru ia melakukan semua pekerjaannya dengan perasaan ikhlas dan senang hati.
***
Sorot matanya tampak berbinar ketika melihat warga kampung sebelah bahu membahu membersihkan seluruh bagian mesjid. Setidaknya dapat meringankan tugasnya untuk membersihkan mesjid, karena usianya yang sudah tidak muda lagi seringkali membuat ia merasa kelelahan jika harus membersihkan masjid seluas ini.
Yang lebih membuat ia tak kalah senang adalah dengan akan datangnya bulan ramadhan. Karena bila ramadhan tiba, masjid cendrung lebih ramai dari biasanya. Kerja bakti membersihkan masjid untuk persiapan menyambut bulan suci ramadhan pun selesai.
***
Malam itu adalah malam pertama melaksanakan salat tarawih. Warga berduyun-duyun datang bersama keluarga tercinta. Bahkan para jamaah dari mulai anak-anak, remaja, orang dewasa hingga orangtua meluber hingga ke halaman mesjid karena begitu banyaknya warga yang ingin melaksanakan solat tarawih di Masjid Darussalam.
Mang Adim tampak sumringah, karena masih banyak warga yang mau datang ke masjid walaupun dalam moment setahun sekali. Mungkin apa karena ketika bulan ramadhan pahala kebaikan dilipatgandakan yang membuat warga berlomba-lomba datang ke masjid? Biarlah, hal itu bukan urusan Mang Adim yang penting ia merasa senang melihat masjid ramai.
Usai salat tarawih ia duduk di tangga masjid memandang sekelompok anak kecil yang sedang berlarian di halaman mesjid sambil sesekali tersenyum tipis melihat tingkah lucu mereka.
“Ingin sekali rasanya aku menggendong mereka, andai dulu aku punya anak. Ah sudahlah…” protesnya dalam hati. Tiba-tiba ia teringat almarhum istrinya. Tetesan air bening pun tak terasa melaju deras di kedua pipinya.
Dulu, ketika istrinya masih ada, Mang Adim sangat merindukan kehadiran seorang anak dalam rumah tangganya. Namun sayang, Tuhan tidak mengaruniai Mang Adim anak sampai pada akhirnya istrinya meninggal dunia karena kanker rahim yang bertahun-tahun dideritanya.
***
Sekalipun sedang menjalani ibadah puasa, Mang Adim tetap melaksanakan tugasnya sebagai marbot mesjid. Sejak memasuki bulan ramdhan ia tidak pernah lagi merasa kesepian. Setiap harinya masjid tak pernah sepi dari pengunjung. Banyak orang berlomba-lomba berburu pahala dengan datang ke masjid melakukan serangkaian ibadah seperti salat wajib, salat sunnah, tadarus Al-Qur’an bahkan i’tikaf. Seringkali masjid dipergunakan sebagai tempat berbuka puasa oleh penghuni perumahan komplek elit dengan anak-anak yatim piatu. Ibu-ibu sosialita yang biasanya Mang Adim lihat dengan rambut mengkilap dan aksesoris mewah pun disaat bulan ramadhan terlihat jauh lebih anggun dengan balutan busana muslimah dan kain penutup kepala. Saat diadakan buka puasa bersama, tak sengaja Mang Adim mendengar seorang anak berbicara kepada temannya,
“Coba ya setiap hari kita bisa makan enak kayagini, kalau di panti makannya tahu tempe terus setiap hari?” anak itu tampak lahap menyantap ayam bakar yang digenggamnya. Sedangkan temannya hanya mengangguk-ngangguk kecil mengiyakan ucapannya. Mang Adim yang saat itu berada disamping dua anak itu berujar dalam hati,
“Andai bulan ramadhan itu setiap hari, mungkin semua orang akan terus menerus melakukan kebaikan. Berbagi kepada sesama sehingga tak ada orang-orang yang kelaparan. Namun sayangnya bulan ramadhan hanya terjadi setahun sekali,” ujarnya sambil memandang dua anak yang sedang mengobrol tadi.
***
Pada awal - awal ramadhan Masjid Darussalam masih tampak penuh. Namun, hari-hari berikutnya jamaah tampak menurun. Sepertinya ibu-ibu komplek yang sering mengadakan buka puasa bersama atau sekedar memberi takjil pun sudah mulai bosan. Jika hari-hari sebelumnya ketika salat tarawih jamaah sampai membludak ke halaman masjid, kini di bagian dalam masjid pun banyak celah-celah yang kosong. Jamaah salat subuh pun berkurang drastis dari yang mulanya mencapai 5 shaf kini hanya tinggal 1 shaf setengahnya pun tidak. Tak pelak, pemandangan seperti ini membuat Mang Adim merasa sedih.
Apalagi ketika sudah menjelang sepuluh hari terakhir bulan ramadhan, banyak warga yang beralih ke pusat perbelanjaan memburu perlengkapan lebaran. Sedang masjid perlahan mulai ditinggalkan. Padahal di sepuluh hari terakhir bulan ramadhan inilah terdapat malam kemuliaan yaitu malam lailatul qadar yang jika kita melakukan amal kebaikan besar pahalanya seperti beribadah seribu bulan. Fenomena masjid kalah ramai dari mal memang sangat memprihatinkan.
***
Tidak terasa esok ramadhan pun akan segera pergi. Masjid yang akhir-akhir ini ramai mulai kembali sepi. Banyak warga yang satu persatu mudik ke kampung halaman untuk berlebaran bersama keluarga tercinta. Namun, bagaimana dengan Mang Adim? Isteri telah tiada sedang anak tidak punya, entah ia akan berlebaran dengan siapa. Jika ingin berlebaran di kampung halaman pun ia harus membawa uang yang tidak sedikit karena sanak saudara Mang Adim tinggal di Kalimantan. Sungguh menyedihkan, lebaran kali ini adalah lebaran pertama tanpa kehadiran istri tercinta dan harus ia lewati sendirian bertemankan kesedihan dan kesepian.
Malam harinya, usai salat maghrib. Lantunan kumandang takbir bergema dimana-mana bahkan hingga ke penjuru dunia karena esok semua umat muslim akan menyambut hari kemenangan. Disaat orang-orang bersuka cita karena berkumpul bersama keluarga, Mang Adim hanya bisa meratapi nasibnya sambil termenung di bawah menara masjid. Lebaran tahun ini ia lalui tanpa kehadiran sosok istri yang sudah puluhan tahun menemaninya. Kini, tak ada baju baru, tak ada ketupat, tak ada kue-kue seperti tahun kemarin ketika masih ada istrinya. “Ah bila masih mungkin…,” ujarnya lirih sambil menatap langit yang pekat dengan kabut malam.
“Mungkin kenapa Pak?” seorang anak laki-laki yang dulu pernah ikut acara buka bersama di Masjid Darussalam tiba-tiba duduk disampingnya sambil ikut menengadah memandang langit.
“Kamu? Kenapa ada disini, sana pulang sudah malam nanti orang tuamu khawatir,” seru Mang Adim.
“Hehe Bapak lupa acara buka bersama waktu itu digelar bersama siapa?” anak laki-laki itu tertawa.
“Anak-anak yatim piatu?” jawab Mang Adim.
“Ya aku salah satu diantaranya Pak. Aku udah enggak punya orang tua, Kedua orangtuaku udah meninggal semua. Sekarang aku tinggal di rumah singgah yang ada di kolong jembatan bersama anak jalanan dan anak yatim piatu lainnya.”
“Oh…maafkan Bapak kalo begitu Nak, Bapak lupa Nak…”
“Ga apa apa Pak, hemm kadang aku juga ngerasa iri banget ngeliat temen-temen yang bisa lebaran sama keluarganya tapi… apa mau dikata masih bisa berlebaran bersama anak-anak di rumah singgah lainnya pun sudah ahamdulillah .” Mang Adim tercengang mendengar penuturan anak lelaki yang masih berusia 13 tahun itu.
“Sabar ya Nak, Bapak pun merasakan hal yang sama. Meskipun takdir memang tak sesuai dengan apa yang kita inginkan. Namun meskipun begitu, ketentuan-Nya akan jauh lebih mendewasakan kita dalam mengarungi hidup.” Ujar Mang Adim bijak.
“Tapi…,” ada air mata yang tertahan di sudut matanya. Mang Adim merangkul anak laki-laki itu.
“Sudahlah Nak tidak boleh merutuk takdir yang sudah Tuhan berikan, lebih baik kita ke dalam masjid mari mengumandangkan takbir.” Anak lelaki itu pun tersenyum lalu mengikuti langkah kaki Mang Adim ke dalam masjid. Keduanya mengumandangkan takbir hingga pagi menjelang.
“Allahu akbar… Allahu akbar… Allahu akbar… Laillahailallahu wallahu akbar… Allahu akbar… Walillah ilham….”
Mang Adim yakin, meski hidupnya bertemankan kesepian Tuhan tidak pernah meninggalkannya sendirian. Ia bersyukur masih bisa menikmati indahnya ramadhan. “Ramadhan, semoga kita dipertemukan lagi tahun depan,” ujarnya pilu.