Rabu, 25 Juli 2012

Kala Senja Kita Berkabut Duka



Risa terlihat tergesa-gesa mempercepat langkahnya. Sore itu…Ia hampir saja lupa, bahwa hari ini Reza akan pulang kembali ke Jakarta setelah satu tahun ia menetap di Makassar melanjutkan pendidikannya di sekolah penerbangan. Berulang kali ia menatap arloji berwarna silver yang melingkar di lengannya. Tak sabar ia begitu ingin berjumpa dengan Reza, terselip tanya dalam benaknya tentang Reza. Apa ia masih seperti Reza yang bertahun-tahun lalu dikenalnya?
Padatnya jalanan ibukota membuat ia harus sedikit bersabar ketika kemacetan menghadangnya. Dua jam terjebak kemacetan membuat Risa geram. Namun hal itu memang sudah biasa dijalaninya. Risa tiba di rumah tepat saat adzan maghrib berkumandang. Sebelum memasuki rumah, pandangannya terlebih dahulu melirik tajam ke arah rumah Reza. Terukir senyum indah di bibirnya. Ia begitu ingin menemui Reza yang ia anggap sebagai sahabat terbaiknya.
Usai makan malam, Risa langsung bergegas menuju rumah Reza yang hanya terhalang oleh 3 rumah tetangga lainnya. Ada segudang cerita yang ingin ia sampaikan dan segenap tawa yang ia suguhkan pada Reza.
“Reza…” Risa berdiri di depan pagar rumah Reza. Masih seperti dulu ketika Risa akan mengajak Reza berangkat sekolah bersama. Tiba-tiba Reza menyembul dari balik pagar.
“Dooooooooooooor” Reza menyunggingkan senyum khasnya.
“Ih…Reza, masih aja dari dulu usilnya enggak hilang. Kan kaget tahu, aku pikir hantu,” kebiasaan mereka pun masih tetap sama seperti dulu, Risa mengacak-ngacak rambut Reza, sedang Reza membalasnya dengan mencubit hidung Risa gemas.
“Enggak berubah ya? Tetep Risa yang mungil, lucu, nyenengin, ngangenin…” Risa pun menyela, “Dan…Reza yang nyebelin hehe…”
“Wooo dasar. Ayo masuk Sa?” ajak Reza.
“Disini aja yuk Za, lihat bintang sambil menikmati sejuknya angin malam…”
Mereka berdua lebih memilih duduk di atas rerumputan halaman rumah Reza, rembulan pun terasa sempurna dalam menyuguhkan kehangatan memperindah malam. Dua cangkir capucino hangat menemani celoteh mereka berdua. Risa duduk tepat di samping Reza, dengan berusaha tenang dan saling mendengarkan keduanya menceritakan pengalaman masing-masing dari semenjak Reza pergi hingga kini ia kembali. Sesekali mereka saling tertawa geli. Pohon mangga, dedaunan, ranting, batang dan bunga-bunga di pekarangan seolah ikut merasakan kehangatan persahabatan yang terjalin antara Risa dan Reza.
“Oh iya, tempat favorit kita masih ada kan Sa?”
“Ada kok Za, tapi semenjak kamu pergi aku udah enggak pernah lagi kesana”
“Besok temenin aku kesana ya Sa? Harus mau, enggak mau tahu”
Risa pun mengiyakan ajakan Reza, karena ia pun merasakan hal yang sama. Merindukan sebuah tempat yang menjadi saksi bisu persahabatannya dengan Reza.
***
Berhubung hari itu Risa tidak ada jadwal kuliah, sore ini ia akan kembali memijakkan kakinya di atas gedung kosong yang lama tak berpenghuni itu.
“Senja disanalah cerita tentang kita bermula…senja kita apa kabar ya Za? Setelah 1 tahun lebih enggak berkunjung kesana apa senja masih inget sama kita?” Reza hanya geleng-geleng kepala dan tersenyum simpul menanggapi pertanyaan Risa. Reza menuntun Risa untuk naik ke lantai teratas gedung tua, tujuan meraka hanya satu. Menghabiskan sore sambil menatap keindahan langit jingga seperti yang sering mereka lakukan dulu.
“Kamu tahu enggak Za? Semenjak kamu pergi aku mendadak jadi penulis. Biasanya kalo ada apa-apa aku cerita sama kamu, sekarang aku cuma bisa cerita sama buku ini. Aku tumpahin semua hal yang terjadi di buku ini dari mulai hal yang lucu, sedih, bahagia aku bener-bener lewatin sendiri.”
“Maafin aku ya Sa, tapi seengganya kamu bisa jadi Risa yang mandiri” seulas senyum teduh Reza yang menenangkan Risa.
“Kalau nanti kamu mau balik lagi ke Makassar, kamu bawa buku ini ya Za…kamu boleh nulis apapun di buku ini. Jadi kalau buku ini ada di kamu, kamu bisa baca ceritaku begitupun kalo buku ini berpindah lagi ke tanganku aku bisa baca cerita-cerita kamu,” Risa memberikan sebuah buku bersampul boneka danbo pada Reza, kemudian Reza pun menerimanya. Ketika ia membuka lembar pertama halaman buku itu, pandangannya tertumbuk pada satu kalimat, Kita… laksana jingga yang begitu setia pada langitnya.
“Maksud dari kata-kata ini apa Sa?”
“Hem…kamu lihat deh langit senja itu, indah kan? Langit dan rona jingga akan terlihat indah jika bersatu. Keduanya saling melengkapi untuk memancarkan keindahan kepada para penduduk bumi dan aku berharap persahabatan kita akan selalu indah memancarkan kebaikan pada sesama dan setia untuk saling menjaga. Ya…seperti jingga yang setia pada langitnya,” mata jenakanya menatap Reza.
“Hem, pinter ya kamu Sa…tumben hahaha”
“Iya lah, kamu juga banyak diajarin sama aku kan Za…hehe. Eh tapi Za, entah kenapa aku suka penasaran kenapa nama langit sore yang berwarna jingga itu namanya senja ya?”
“Kenapa namanya senja? Aku juga enggak tahu asal usulnya darimana yang jelas pertanyaan kamu itu sama halnya kenapa air yang menetes dari langit itu namanya hujan? semua itu sudah ada yang mengaturnya. Penemunya itu ya Tuhan” ujar Reza menjelaskan. Risa mencoba memahami apa yang diutarakan Reza, ada hening sesaat di antara mereka.
“Sudah, jangan suka mempertanyaan kehendak Tuhan nanti kamu dipanggil Tuhan diberi penjelasan mau?”
“Ih Eza masa ngomongnya gitu aku kan belum siap tahu, kamu duluan aja…hehe” ujar Risa menggoda.
“Ya kalau sudah waktunya giliran aku yang dipanggil Tuhan tiba aku bisa apa? Sesuatu yang mulanya ada itu pasti suatu saat nanti akan menjadi tiada seperti persahabatan kita juga Sa…”
“Ya Tapi enggak sekarang juga kan Za?” Risa terhenyak memandang ke arah langit.
“Matahari sudah mau pulang tapi kita masih disini…Ayo pulang?” Reza tampak mengalihkan pembicaraan.
“ Tapi aku masih mau disini Za?” meski Risa bersikukuh tidak mau pulang, Reza mengamit lengannya. Dengan berat hati Risa pun berdiri beranjak dari duduknya, mengikuti langkah Reza yang seirama dengannya.
13426167431010528984 

Dua minggu menghabiskan waktu liburan di kota kelahirannya terasa begitu singkat bagi Reza. Sore ini, ia harus kembali ke Makassar menjalani rutinitasnya sebagai pelajar sekolah tinggi penerbangan. Untuk kedua kalinya juga ia harus meninggalkan Risa. Masih di tempat yang sama, di atas gedung tua beratapkan langit senja.
“Kamu kenapa enggak kuliah disini aja sih Za? jadi kan kita masih bisa sama-sama.” Risa mendekap tas ransel milik Reza. Belum sempat Reza menjawab Risa kembali bicara.
“Kalau malem-malem ada pesawat lewat aku suka ngintip di jendela. Berharap di dalemnya itu kamu dan pesawat itu landing di lapangan samping rumahku, supaya setiap malem kita bisa cerita-cerita, makan martabak kesukaan kita terus ngerjain tugas bareng kaya dulu”
“Hem, aku janji tiga bulan setelah hari ini tepat tanggal 12 Juli aku pulang lagi deh. Ok mungil?” Risa tampak sumringah. Akhirnya Reza pergi dengan perasaan lega tanpa terbebani oleh Risa.
***
Tiga bulan yang selalu Risa tunggu begitu terasa cepat berlalu. Hari ini, Risa tampak girang berharap Reza dapat menepati janjinya untuk pulang. Jadwal kuliah Risa pun cukup padat karena ada kuliah tambahan di kampusnya sehingga membuatnya harus pulang sore. Dalam perjalanan pulang ke rumah, hampir saja motor yang dikendarai Risa menabrak seorang pejalan kaki, namun ia masih mampu menyeimbangkan laju sepeda motornya.
Sesampainya di depan gerbang rumah, pandangannya langsung tertumpu pada rumah Reza. Terlihat beberapa orang berlalu lalang disana, tidak seperti biasanya. Yang lebih membuat Risa tampak kaget, ada bendera kuning menghiasi pagar rumah Reza. Secepat mungkin ia bergegas masuk ke dalam rumah memanggil-manggil ibunya.
“Ibu…Ibu…di rumah Reza kok ada bendera kuning, siapa yang meninggal Bu? Papanya Reza ya?” ibu diam tak menggubris pertanyaan Risa bibirnya seakan sulit sekali untuk bicara menceritakan semuanya pada Risa.
“Ih ibu kok diem sih? Coba biar Risa telepon Reza, jahat banget Reza enggak kasih tahu Risa.” Risa mencari-cari ponsel dalam tasnya. Setelah lama tak ada jawaban Risa pun diam sejenak memalingkan pandangannya pada Ibu.
“Ibu, jawab Risa di rumah Reza siapa yang meninggal?” matanya mulai berkaca-kaca. Ibu tak mampu berkata apa-apa hanya buliran air mata yang menghiasi wajahnya. Risa menjatuhkan tasnya ke lantai, kemudian berlari dengan gontai mencoba menepis pikiran buruk yang ada di benaknya. Harapnya, Reza baik-baik saja.
Di bawah naungan tenda puluhan kursi berjejer rapi, terlihat beberapa orang mengenakan seragam pilot seperti yang pernah ia lihat di sebuah foto dalam ponsel Reza. Prasangka buruk mengenai Reza pun semakin kuat merajai pikirannya. Risa mematung di bibir pintu, ditatapnya semua orang yang berada disamping jenazah satu persatu. Pak Anwar, Ibu Tia, Dira adik perempuan Reza satu-satunya mereka tampak baik-baik saja. Lalu, dimana Reza? Kenapa hanya ia yang tidak berada disana? Jenazah yang sedang ditangisi puluhan orang dalam ruangan itu siapa? Reza? Batin Risa menerka-nerka.
“Bunda…,” Risa memanggil ibunda Reza, puluhan pasang mata tertuju padanya. Ibunda Reza menghampiri Risa. Saking paniknya, beliau lupa memberitahu Risa tentang kecelakaan pesawat yang menimpa buah hatinya.
“Reza mana Bun? Kok Risa telepon enggak di angkat? Hari ini Reza janji sama Risa mau pulang, Reza bilang Reza mau lihat senja bareng Risa di atas gedung tua?” suaranya gemetar. Ibu Tia memeluk Risa erat, Ibu Tia memandangi wajah Risa sejenak. Dipegangnya kedua pipi Risa dengan lembut.
134261681879919672

“Reza…” Ibu Tia menggantung pembicaraannya, lidahnya begitu kelu wajahnya sendu menahan haru.
“Reza mengalami kecelakaan ketika mengikuti latihan penerbangan. Ia meninggal dunia di tempat peristiwa. Dan jenazah yang kini ada dihadapan kita adalah Reza, sahabatmu Risa” Ibu Tia kembali mendekap Risa erat, menangis di bahu Risa. Buliran air bening itu terasa menghangat di wajah Risa. Ia mendekat ke arah jenazah Reza, matanya membelalak tak percaya ketika kain penutup wajah berwarna putih itu dibuka. Jenazah yang berada dihadapannya adalah benar-benar Reza, sosok sahabat setia yang selama bertahun-tahun menemaninya. Ada sesak yang menyelimuti hatinya karena Reza kini sudah tidak lagi bernyawa. Senyum teduh miliknya, nasihat-nasihat bijaksana yang selalu dilontarkannya, sifat jenakanya, Jangan suka mempertanyakan kehendak Tuhan nanti kamu dipanggil Tuhan diberi penjelasan mau?, Sesuatu yang mulanya ada itu pasti suatu hari akan tiada termasuk persahabatan kita, suara-suara itu seakan terngiang-ngiang di telinganya. Semua kenangan yang pernah dirajut bersamanya silih berganti berputar dibenaknya.
Semua mata memandang Risa iba, tak henti-hentinya ia menangis disamping jenazah Reza. Tepat jam 5 sore ini jenazah Reza akan dikebumikan, tentunya lebih cepat lebih baik. Sebelum jenazah Reza dimasukan kedalam keranda, semua keluarga diberi kesempatan untuk menciumnya untuk yang terakhir kalinya. Kini, tiba saatnya giliran Risa berkali-kali ia menyeka bulir air mata diwajahnya. Risa mencium kening Reza begitu lama, sebuah ciuman perpisahan terpautkan doa. Sambil berbisik pelan ditelinganya, “Senja disana akan jauh lebih indah dari senja yang sering kita lihat disini Za”
Dengan dipapah Dira adik perempuan Reza, manik-manik basah itu seakan melaju lebih deras dari sebelumnya di pipi Risa saat raungan suara sirine ambulance serta iring-iringan jenazah akan mengantarkan Reza ke tempat peristirahatannya yang terakhir tepat ketika jingga begitu merona, keharmonian alam yang sangat disukai Reza.
Usai mengikuti proses pemakaman,
“Risa…ini milikmu?” tanya Ibu Tia. Risa tertegun memandangi buku bersampul boneka danbo yang sempat ia berikan pada Reza tepat 3 bulan yang lalu.
“Ia Bunda, itu punya Risa” jawab Risa dengan suara yang lemah. Diberikannya buku itu pada Risa. Sampulnya sudah tampak lusuh, mungkin tertindih puing-puing pesawat namun tulisan-tulisan yang ada didalamnya masih sangat jelas untuk dibaca. Halaman demi halaman dibacanya, semua cerita tertata begitu rapih dengan goresan tulisan tangan Reza. Hingga ia sampai pada halaman terakhir. Sebuah puisi yang ia beri judul Kala Senja Kita Berkabut Duka
Aksara dan coretan dalam bait-bait kata ini, ku bingkiskan sebagai kenangan terakhir dariku untukmu…
Mungkin suatu masa nanti
Senja tak dapat kulihat lagi melukis wajahmu dalam indahnya jingga di suatu sore ku
Mungkin pula tak pernah ku tahu kemana awan berarak membisu
Kala senjaku berkabut rindu,
Ketika jarum gerimis menghias ruang jemari waktu,
Menjemput malam menuju peraduan
Memeluk bayang dalam erat impian
Tak akan pernah aku lupa, kala erat jemari menemani resah rindu di hati kita
Di kala senda gurau menghiasi jalinan kisah yang terpaut mesra
Tentangku yang berjalan dalam kisah hidupmu
Tentangmu penoreh cerita terindah dalam hidupku…
Jika nanti kau merindukanku
Ingatlah aku dalam kenangan lalu
Karena mungkin saat itu aku telah jauh disana dan telah berlalu
Dalam kisah yang pernah kita ukir dulu
Ketahuilah, kau kan tetap menjadi sahabat terindah dalam hatiku,
Karena kau adalah mimpi yang selama ini menguatkanku,
Kau sahabat terindah yang takkan kubiarkan waktu menghapusmu
Jika esok aku telah tiada
Mungkin pula aku telah hilang di rimba asa
Atau mungkin senja menenggelamkan raut rupa
Ku harap kau tegar melangkah dalam setiap lembar kisah yang akan tercipta..
Untukmu sahabat terindahku,
Ingatlah…Bahwa aku takkan pernah sedetikpun meninggalkanmu
Sadarilah…Hanya sebatas ragaku ini yang melambaikan salam perpisahan
Namun hati ini takkan pernah beranjak pergi dari sisimu
Persahabatan…Kerinduan…Kenangan…
Terukir indah dalam sebuah bingkai kehidupan..
Jika aku boleh meminta pada Tuhan,
Aku tak pernah ingin ada perpisahan…
Aku tak pernah ingin ada kehilangan…
Aku tak pernah ingin ada kematian…
Ketahuilah…Bukan karna aku ingin melepasmu,
Namun jemari takdir terlalu erat menahan khilaf jiwa yang tak pernah aku minta…

Reza,
Di penghujung malam, 11 Juli 2011
Risa tertegun. Puisi tersebut Reza tulis kemarin malam, yang menjadi sebuah isyarat kepergiannya. Reza memang kembali tepat pada tanggal 12 Juli, namun dengan jasad yang sudah tidak bernyawa lagi. Janji itu ia tuntaskan dengan cara yang tak pernah Risa bayangkan. Namun begitu, Reza akan selalu hidup dalam remah-remah kenangan bersama segudang cerita yang pernah mereka rangkai bersama.
Sambil mendongak ke langit senja, Risa berucap lirih. Kita…laksana jingga yang setia pada langitnya.


3 komentar:

  1. ya makasih sudah mau berkenan membaca ma asep :)

    BalasHapus
  2. Emperor Casino Slots - Shootercasino
    Try Emperor Casino slots for free 인카지노 and 메리트카지노총판 for real money at Shootercasino! With over 500 games to 제왕 카지노 choose from, including all the highest paying providers.

    BalasHapus