Kamis, 25 Agustus 2011

Renungan Cinta

Renungan Cinta

oleh : Aini Nur Latifah





Biar hujan melanda, makna cinta tetap terurai nyata

Meski tak bisa di urai maknanya..





Sayup-sayup rintik hujan membasahi pekarangan rumah Bunga petang itu. Air hujan mengendap di jendela kaca kamar bunga, membuat samar-samar menghalangi pandanganya.



Hujan membuat acara pertemuannya dengan Raka berantakan karena Umi tidak mengijinkannya untuk pergi di tengah hujan seperti ini. Ia pun memutuskan untuk mengurung diri di kamar. Karena bosan, di bukanya jendela kaca kamarnya. Tangan lembut gadis cantik itu di ulurkannya hingg menyentuh butiran-butiran hujan.



Sambil menopang dagu ia memainkan hujan dengan jari jemarinya. Padahal hari ini ia sudah merancang rencana bersama Raka yang sudah dua tahun terakhir ini mengisi hatinya untuk membantu tugas kuliahnya di Kafe Buku yang terletak tidak jauh dari rumahnya.



Dari dalam kamar ia menatap warna warni bunga krisan yang menghiasi taman halaman rumahnya. Sepintas ia melihat seorang lelaki berperawakan tinggi dan mengenakan jaket cokelat yang sudah tidak asing lagi dilihatnya. Ya, lelaki itu adalah Raka. Sorotan mata gadis itu terlihat berbinar meski melihat raka dalam radius yang cukup jauh.



Bunga begitu terlihat tampak anggun dengan balutan rok, dan atasannya lengkap dengan penutup kepala berwarna merah marun. Ia tidak lagi menekuk wajahnya. Bunga begitu tampak riang.



Baru saja selangkah beranjak dari pintu kamar Umi memanggil Bunga.

”Mau kemana sayang hujan-hujan begini, cantik banget lagi anak Umi?” Bunga mengulum senyum.

”Ada Raka di luar Umi. Tenang aja Bunga enggak akan kemana-mana ko. Cuma ngobrol depan teras rumah aja. Boleh kan Umi?” Umi mengangguk pelan diiringi senyuman.



Raka berjalan ke arah Bunga. Bunga menyambut Raka di depan pintu rumahnya dengan senyum yang begitu hangat. Meski pertemuan mereka setiap bulan hanya berlangsung dalam hitungan jari, tapi keduanya sudah saling mengerti. Karena Raka harus pulang pergi Bandung-Surabaya untuk menyelesaikan program S1-nya sementara Bunga, karena ia anak satu-satunya mau tidak mau ia harus mengikuti perintah orangtuanya untuk kuliah tetap di kota kelahirannya.



Mereka tidak seperti sepasang kekasih pada umumnya, pacaran, nonton berduaan ataupun jalan-jalan. Keduanya lebih senang menghabiskan waktu dengan saling bertukar pikiran, berbagi cerita ataupun hanya sekedar melepas rindu dengan canda tawa yang mereka ciptakan.



Keduanya duduk saling berhadapan di teras rumah. Bunga membawa dua gelas minuman hangat dan dua toples cemilan. Disapanya Raka dengan lembut,

“Hei Raka…” sapaan itu mengejutkannya.

“Apa kabar kamu? Lama ya kita gak ketemu? Gimana kuliahnya lancar?” sederetan pertanyaan Bunga membuat Raka bingung.

“Satu-satu dong nanyanya neng jangan keroyokan. Hehe”

”Biarin weeww”, Bunga menjulurkan lidahnya.

”Alhamdulilah semuanya lancar ko. Kamu sendiri gimana, ko kalo aku perhatiin kamu agak kurusan. Mikirin aku terus ya?” goda Raka pada Bunga.

”Ih kepedean banget kamu. Aku capek tau tugas kuliah numpuk terus. Kebetulan kamu datang. Aku kan mau nyuruh kamu bantuin tugas Manjemen aku”

”Oh jadi aku cuma mau disuruh ngerjain tugas kamu doang nih? Pulang lagi ah”

”Eh jangan jangan becanda tau..hehe”



Keduanya tampak larut dalam canda dan tawa. Berhubung esok paginya Raka harus bertolak kembali ke Surabaya, Raka memutuskan untuk pulang. Walaupun kedatangan Raka hari ini hanya sekejap, Namun cukup membuat hati bunga senang.



****



Selang sebulan setelah pertemuan itu, komunikasi keduanya terbilang renggang. Mereka disibukkan dengan kuliah masing-masing dan Organisasi yang Raka ikuti pun sangat menyita waktu. Sehingga Raka terkesan jarang menghubungi Bunga.



Jelas saja hal ini membuat Bunga sedih. Sangkaan buruk pun menggelayuti pikirannya. Hatinya gusar. Apa mungkin disana Raka telah menemukan tambatan hati yang jauh lebih baik darinya? Bahkan sudah seminggu lebih tak ada kabar darinya. Kini, Bunga tak terlalu ambil pusing ia memilih untuk berbaik sangka saja mungkin memang banyak tugas kuliah yang harus ia selesaikan.



"Empat tahun aku mengenal Raka. Tapi, baru kali ini ia bersikap seacuh ini padaku? Ah semoga semuanya baik-baik saja”, gumamnya dalam hati.



Suara jangkrik yang bersahutan memecah keheningan malam. Sebuah pesan singkat membuyarkan lamunan Bunga. Senyumnya mengembang ketika mendapati kabar dari Raka bahwa minggu ini ia akan pulang. Sangkaan buruk yang di anggapnya raka tidak lagi peduli padanya pun sirna.



***



Dengan mengenakan kemeja hitam bercorak putih Raka begitu setia menunggu Bunga di Kafe Buku tempat dimana pertama kali ia mengenal Bunga empat tahun lalu.



Bunga dengan balutan jilbab putih yang dijulurkan sebagian menutupi tubuhnya begitu terlihat sangat cantik. Sifatnya yang lembut seakan membuatnya begitu indah dalam pandangan Raka. Matanya langsung tertuju pada meja nomor 5 yang disana terdapat Raka sedang menyeruput cokelat hangatnya.



”Bunga...” seulas senyum teduh milik Raka menyapanya.

”Maf ya lama. Kamu udah daritadi ya disini?” tanya bunga dengan wajah yang terlihat gembira dari hari sebelumnya.

“Ah enggak juga ko. Bentar ya aku pesankan minuman buat kamu”

Raka berlalu. Sementara Bunga sibuk melihat orang-orang yang berlalu lalang di sekelilingnya.

”Bunga, maafin aku ya. Sebulan terakhir ini aku jarang sekali menghubungi kamu. Dan maksudku mengajakmu ke tempat ini untuk membicarakan masalah kita”

”Masalah? Aku rasa semua masih baik-baik saja”

”Bunga sebelumnya aku minta maaf. kamu berhak marah setelah aku menyampaikan ini, disana aku jatuh hati pada orang lain. Jujur, aku merasa nyaman ketika aku dekat dengannya. Aku butuh suport langsung tidak seperti hubungan jarak jauh ini” Raka menatap bunga dengan tatapan seolah tak punya salah. Sementara Bunga merasa sedang berdiri di bibir jurang yang perlahan akan jatuh mendengar penuturan Raka.

“Jika keputusan ini lebih membuatmu bahagia aku setuju saja. Tapi aku minta satu hal, persahabatan yang bertahun-tahun kita bina aku harap masih bisa terjaga karena jauh sebelum kita menjalin hubungan ini kau adalah sahabat baikku. Selamat ya Raka”, matanya memerah, ia tak sanggup melihat wajah Raka. Bunga beranjak dan tersenyum getir ia tak mau menunjukkan kesedihannya di depan Raka.

Tanpa lebih dulu meneguk Jus Apel yang sudah di pesannya Bunga berlalu meninggalkan Raka. Langkahnya begitu berat, bagaimana tidak hati bunga begitu terluka. Raka hanya dapat menatap kepergian bunga tanpa dapat mencegahnya, sementara samar-samar langkah Bunga semakin menjauh, terlihat jelas gurat sesal di wajahnya.

Bunga yang sebelumnya membayangkan hari ini akan menjadi hari yang bahagia justru pulang dengan kecewa.



***

Bunga masuk kamar tanpa lebih dulu mengucap salam pada Abi dan Uminya. kedua orangtuanya merasa heran dengan tingkahnya.

Di kamar yang di dominasi warna biru muda itu ia meluapkan kesedihannya. Raka orang yang selama ini menjadi penopangnya dan selalu mendorong impiannya untuk menjadi seorang guru justru mencampakkannya. Gerimis pun membasahi kedua pipinya.



Sesegera mungkin ia mengambil air wudlu. Setiap ada masalah yang menderanya, obat yang dirasanya ampuh itu adalah bersujud di hadapan-Nya.



“Tuhan, jika sekiranya ini adalah yang terbaik untukku dan untukknya aku mohon pisahkan aku dari ingatan-ingatan ini. Karena sesungguhnya Engkau lebih tahu tentang segala-galanya daripada diriku sendiri karena Engkau yang memiliki sekeping hati ini.”



Itulah rintihan hati Bunga selepas dari sujudnya. Ia ikhlas jika skenario yang Dia buat berujung sad ending. Diluar terdengar ketukan pintu berkali-kali.



”Sayang...umi boleh masuk kamarmu?”

”Iya umi...sebentar” Bunga melepas mukena yang masih ia kenakan”

Bunga langsung mendekap umi erat-erat tanpa terlebih dahulu Bunga menceritakan masalahnya umi sudah mengetahuinya. Itulah ikatan batin antara ibu dan anak yang begitu kuat.



”Nak, Bila kamu memandang segalanya dari Allah yang menciptakan ujian, yang mengakibatkan sakitnya hati, yang menyebabkan keinginan terhalang, Maka damailah hati. Karena tidaklah Allah mengatur segalanya untuk sesuatu yang sia-sia. Jika memang Raka lebih bahagia bersama pilhannya, ikhlaskanlah. Kamulah insan pilihan Allah untuk mekar terpelihara hingga mendapat seruannya. Mungkin, kini Allah telah memberi ruang terlebih dahulu untuk mengejar cita-citamu. Tak usah risau, jika kalian berjodoh, pasti suatu saat nanti Allah akan mempertemukan kalian kembali dengan cara-Nya yang indah karena hidup, mati, jodoh dan rezeki setiap manusia itu sudah tercatat di lauhul mahfudz.”



Nasihat umi sedikit menenangkan perasaannya. Cinta telah membuat Bunga belajar untuk melepas apa yang sudah menjadi kehendak-Nya.