Jumat, 10 Februari 2012

Cerita Kita Di Bawah Naungan Langit Senja




       Suatu siang di bulan Mei langit begitu cerah, kepulan awan putih begitu terlihat indah meliputi langit yang membiru. Di sudut taman sekolah, Risa terlihat begitu asyik membaca sebuah  novel. Ia pun tak menyadari bahwa ada Sisil yang sedari tadi berada di sampingnya.

       ”Hey, asyik banget sih baca novelnya sampe aku dicuekin gini,” ujar Sisil menggerutu sambil menepuk bahu Risa.
       ”Ups, sorry banget ya lagi seru nih Sil tanggung dikit lagi selesai novelnya,” Risa tetap fokus membaca novel My Last Love karangan Agnes Davonar dengan lollipop berwarna merah yang digenggamnya.

         Setelah selesai membaca novel Risa malah tertawa kecil melihat sahabatnya cemberut memandangnya.

       ”Sisil sayang, jangan ngambek ya. Aku lagi seru banget tadi baca novelnya. Senyum dong kalo senyum kamu tuh cantik banget tau Sil. Hehe…” Risa pun terus merayu Sisil.
       “Uda deh lupain..hehe. Ada hal yang lebih penting yang mau aku omongin sama kamu,” Sisil begitu tampak serius.
       “Apaan sih emang, serius banget?” tanya Risa penasaran.
       “Kalo aku perhatiin, kayaknya akhir-akhir ini Reza sering banget berduaan sama Diana ketua Ekskul KIR dibanding sama kamu?”
       “Mereka kan lagi sibuk mau ikutan lomba karya ilmiah remaja bulan depan nanti. Ya maklumlah kalo mereka deket. Aku yakin Reza bisa menempatkan dirinya dengan baik dan dia enggak akan lupain kita,” jawab Risa tenang.
       ”Tapi kamu enggak jeles apa Sa liat kedeketan mereka?”
       ”Hellooow, Sisil sayang aku sama Reza tuh cuma sahabatan enggak lebih. Lagian, enggak semua urusannya harus sepengetahuanku juga kan?” Belum sempat Sisil menjawab Reza pun datang dengan tiba-tiba.

       ”Woi pada ngerumpi mulu nih cewek. Ngomongin apaan sih?” seketika membuat Sisil yang sedang menyeruput jus jeruk tersedak.
       ”Ada deh rahasia perempuan, cowok enggak boleh tau” ujar Sisil sinis lalu berlalu pergi. Sisil terlihat acuh pada Reza yang akhir-akhir ini sibuk dengan dunianya sendiri dan terkesan melupakan pertemanan mereka.

       ”Kenapa sih tuh makhluk, ko jadi aneh gitu?” tanya Reza heran. Risa tak menjawab hanya sebatas menaikkan bahu dan mengernyitkan dahinya.
       ”Sa, ke tempat biasa yuk?” Reza tersenyum dan Risa pun mengiyakan ajakan Reza.
Mereka pulang bersama. Keduanya tampak larut dalam gelak tawa. Seperti biasa mereka selalu menghabiskan waktu bersama saat senja tiba, di atas gedung kosong yang tidak terlalu jauh dari rumahnya. Dari atas gedung mereka dapat menikmati kilauan cahaya senja yang begitu menakjubkan. Seakan dapat menyatu dengan alam di bawah naungan langit senja mereka menoreh cerita.

       Reza dan Risa sudah tampak terlihat seperti dua sejoli yang tidak dapat terpisahkan. Tapi bukan dalam hal pacaran, melainkan persahabatan mereka yang sudah terjalin cukup lama sejak mereka duduk di bangku sekolah menengah pertama hingga kini mereka duduk di kelas 3 SMA. Ibarat pribahasa, ada gula ada semut. Setiap ada Reza, pasti ada Risa. Mereka sudah seperti anak kembar. Selalu terlihat bersama dalam hal apapun. Tapi tak jarang pertengkaran pun mewarnai persahabatan mereka. Hanya saja mereka cenderung bersikap diam jika ada sesuatu hal yang mengganjal diantara keduanya. Seringkali teman-teman mereka mencomblangkan keduanya untuk menjadi sepasang kekasih, namun tak satupun usaha mereka yang berhasil, karena bagi mereka persahabatan itu jauh lebih indah dari pacaran, pacaran bisa putus. Tapi tidak dengan persahabatan yang mereka yakini akan berlangsung sampai mereka beranjak tua nanti.

***

       “ Za, coba liat deh langitnya indah banget ya. Kayaknya ini langit senja terindah yang pernah aku lihat,” Risa begitu terkagum-kagum melihat perpaduan warna lagit antara kebiruan-biruan dan kemerah-merahan. Reza hanya tertegun melihat raut wajah sumringah Risa. Ia tak ingin membebani pikirannya, Sehingga Reza pun mengurungkan niatya untuk menceritakan kegundahan hatinya.

       ”Iya Sa, bagus banget ya. Eh foto berdua yuk? Backroundnya keren nih?” Reza mengeluarkan kamera digital dari dalam tasnya.

       ”Boleh, boleh. Disini aja Za, supaya langit senjanya keliatan,” Risa menunjuk tempat yang sangat strategis. Mereka pun bergaya senarsis mungkin untuk sekedar dokumentasi pribadi. Dengan mengatur timer otomatis mereka berpose ria tanpa canggung karena mereka yakin tak ada seorangpun yang melihat gaya gokil mereka.

       ”Eh aku liat coba Za, bagus enggak?” Risa penasaran melihat hasil jepretan fotonya dengan Reza. Risa dan Reza tersenyum melihatnya.
       “Lucu kan Sa?” tanya Reza.
       ”Ih… lucu banget yang ini Za. Tapi kamunya jelek banget merem..hehehe. Nanti aku pake profil facebook ah” Reza merebut kamera digitalnya dari genggaman Risa.
       “Eits jangan yang itu, yang ini aja aku keliatan lebih ganteng, awas aja kamu anak  kecil kalo macem-macem”
      “Iya jeleeeek” Risa mencubit pipi Reza gemas. Keduanya pun meninggalkan gedung kosong itu dengan riang sambil tertawa-tawa.
       Langit sudah terlihat gelap, langit senja pun perlahan menghilang tertutup oleh kabut malam. Mereka berdua pun memutuskan untuk pulang.

       Kedekatan mereka berdua membuat setiap orang yang berada di sekelilingnya merasa iri, apalagi Reza mempunyai otak yang sangat cerdas dan selalu menjadi juara setiap ada Olimpiade Sains baik antar sekolah hingga menembus tingkat provinsi. Sedang Risa, meski ia hanyalah siswi biasa tapi ia mempunyai pribadi dan paras yang cantik sehingga tidak sedikit teman pria yang jatuh hati padanya. Namun, keduanya enggan menjalin cinta sampai nanti saatnya tiba.

***

         Satu minggu kedepan ini, ujian nasional dilaksanakan sehingga pertemuan Risa dan Reza pun tidak sesering seperti hari biasanya. Mereka hanya bertemu ketika pergi dan pulang sekolah bersama. Mereka fokus pada satu tujuan untuk lulus ujian nasional dan melanjutkan ke perguruan tinggi.

       Hari terakhir ujian nasional pun telah berlalu. Matahari telah condong ke barat. Sinarnya berwarna kuning kemerahan. Tampak rona bahagia menghiasi raut wajah keduanya. Dengan mengendarai sepeda motor milik Reza, mereka pergi ke tempat yang biasa mereka kunjungi. Mengahabiskan waktu sore dengan melihat semburat cahaya jingga bersama.

       Anak tangga mereka lalui satu demi satu hingga akhirnya sampai di puncak gedung, Risa termenung menatap langit memperhatikan keharmonian alam. Ia duduk sambil mendekap lututnya, pandangannya menerawang kosong. Sedang Reza merebahkan tubuhnya di atas puing-puing kayu yang dialasi sebuah tikar, mendonggakkan kepala ke langit yang tinggi bermain dan berimajinasi dengan kepulan-kepulan awan sambil memainkan jari telunjuknya seakan melukis dan menulis di langit bercahaya jingga.
       “Za, liat deh awan yang itu. Kumpulan awannya membentuk kelopak bunga yang indah seperti lukisan yang pernah aku buat”
       “Kalo aku melihat awan itu seperti pesawat terbang impianku. Hemm aku jadi pengen keliling dunia Sa,” Keduanya mengimajinasikan impian masing-masing.

       Hening..................

       Tiba-tiba alunan merdu evanescence My Immortal yang bersumber dari ponsel Risa membuyarkan lamunannya. Dirogohnya tas yang sedang di dekapnya. Ternyata  ada sebuah pesan masuk dari Reza yang berada tepat di belakangnya. Tertulis pesan,
       Sa, kamu nengok dong. Aku pengen cerita sama kamu. 

       Risa menoleh dan Reza membalasnya dengan senyum.
       “Ya ampun deket gini juga pake sms segala. Buang-buang pulsa”
       “Orang kaya gitu loh.hehehe. lagian kamu juga ngelamun aja”
       ”Mau cerita apa sih emang, penting ya?” Risa menopang dagunya dengan posisi tepat di depan wajah Reza.
       ”Aku lagi bingung Sa. Susah ya menentukan sebuah pilihan di antara dua pilihan”
       ”Maksudnya?” tanya Risa bingung.
       ”Kamu tau kan Sa cita-cita aku dari kecil itu apa? Aku pengen jadi pilot Sa, nanti kan aku bisa ajak kamu keliling dunia. Tapi Ibu enggak setuju. Ibu lebih setuju kalo aku ambil PMDK di ITB, karena jaraknya enggak terlalu jauh bisa pulang pergi Jakarta - Bandung” Reza menatap Risa, berharap Risa akan memberikan solusi.
       ”Kalo menurut aku sih, kamu turutin apa kata Ibu kamu aja Za, kan kalo kamu sekolah penerbangan di Makassar jauh banget. Nanti yang jagain aku disini siapa?” goda Risa.
       ”Emang aku babby sister kamu pake jagain kamu segala ?” ucap Reza nyolot tapi sambil tertawa kecil.

         Risa tampak murung. Ada gurat kesedihan diwajahnya. Tapi bukan karena ucapan Reza sebelumnya terlebih karena ia takut jika ia akan kehilangan sosok sahabat seperti Reza yang begitu setia mendampinginya baik ketika harinya dipenuhi gelak tawa ataupun ketika harinya dirundung lara. Karena selama enam tahun  terakhir ini, Rezalah yang selalu menjadi penopang Risa di saat Risa rapuh. Entah siapa yang akan menemani harinya jika Reza memilih kuliah di Makassar.
***


         Hari kelulusan itupun tiba. Dengan hati berdebar-debar Reza membuka amplop kelulusan, lalu disusul dengan Risa dan Sisil. Dengan penuh syukur Reza tersenyum girang. Bahwa dalam amplop tersebut jelas tertulis kata LULUS. Risa dan Sisil pun demikian. Jika tak ada orang di sekelilingnya saat itu  mungkin Risa sudah loncat-loncat girang. Reza menatap Risa, keduanya saling pandang. Keduanya begitu tampak bahagia Karena setiap kali kebahagian Risa itu pula yang akan menjadi kebahagiaan Reza, begitupun sebaliknya.

***

        Malam itu..hawa dingin menelusuk hingga menembus tulang rusuk. Bintang-bintang penghias malam pun tak terlihat karena  di telan awan malam. Di teras rumah Risa, Reza mengungkapkan apa maksud tujuannya mengajak Risa bicara.

       ”Sa, aku mau pamit sama kamu. Akhirnya Ibu mengizinkan aku  kuliah di Makassar, melanjutkan pendidikanku di sekolah penerbangan. Besok malam aku berangkat,” Reza begitu hati-hati bicara pada Risa. Karena Reza tahu Risa begitu tidak menginginkan perpisahaan ini.

       ”Wah asyik dong Za nanti kamu jadi pilot, terus aku ikut keliling dunia sama kamu ya  Za,” Risa tersenyum getir, ia mencoba menyembunyikan kesedihannya. Karena ia tak ingin terlihat cengeng didepan Reza.
       ”Besok temui aku di tempat biasa ya Sa. Aku harap kamu datang. Karena aku ingin melihat langit senja sama kamu sebelum aku pergi ke Makassar,” sesaat Risa diam.
       ”Tapi aku ga janji ya Za,” Risa beranjak dari kursi meninggalkan Reza. Sementara Reza menikmati keheningan malam dengan secangkir coklat hangat yang sebelumnya disuguhi oleh Risa.

       Di kamar....Risa menangis pilu, wajahnya sendu. Betapa menyakitkannya perpisahan ini. Risa memandangi fotonya dengan Reza. Enam tahun bukan waktu yang sebentar dalam mengarungi sebuah kisah persahabatan. Persahabatan mereka begitu indah. Seindah angan mereka mengukir mimpi tatkala senja tiba. Reza yang mempunyai mimpi menjadi seorang pilot, sementara Risa ingin menjadi desaigner terkenal. Padahal Risa selalu berharap bisa satu kampus dengan Reza. Namun kali ini cita-cita harus memisahkan persahabatan mereka.

***

       Sore hari, di gedung kosong tempat dimana Reza dan Risa menghabiskan harinya, dengan setia Reza menunggu kedatangan Risa. Ia berharap dapat melihat senja bersama sebelum pergi menuntut ilmu ke Makassar. Sesekali ia melirik arloji yang melingkar di lengannya namun Risa tak kunjung tiba. Sore itu langit beratapkan kilauan warna jingga yang berpendar dengan indahnya, tapi sayang kali ini Reza menikmatinya tanpa ditemani Risa. Saat ia hilir mudik kesana kemari, tak sengaja ia menginjak sebuah kertas. Ternyata kertas itu adalah surat dari Risa. Diambilnya lalu dibacanya surat tersebut,
    
        Reza, sahabat terbaikku. Maaf, aku tak bisa menemuimu. Mungkin kau cukup tahu alasanku mengapa aku tak ingin menemuimu. Aku tak ingin jikalau air mataku jatuh saat aku melepas kepergianmu, itu akan menjadi beban buatmu. Enam tahun melewati hari denganmu begitu indah kurasakan. Tak pernah kutemui sahabat sebaik dan setulus dirimu. Begitu banyak kenangan indah yang telah kita rajut bersama. Apalagi di tempat yang saat ini sedang kau pijak, di bawah naungan langit senja kita menorehkan sebuah cerita. Kisah persahabatan yang penuh dengan kebahagiaan dan kebersamaan, tak jarang juga diwarnai dengan kesedihan ataupun pertengkaran  Namun, kebahagiaan itu lebih nyata dari sebuah kesedihan. 

        Kau yang selalu melengkapi kekuranganku, menjadi penopang dalam sedihku, mengukir tawa dalam hariku.  Aku tak tahu. apa selepas kepergianmu aku masih mampu menginjakkan kakiku diatas gedung itu? Rasanya, aku tak mampu berdiri di tempat itu tanpa kehadiranmu. Hanya aku dan kamu yang dapat membuat gedung kosong yang lama mati itu hidup. Mempunyai sahabat terbaik sepertimu itu adalah hal terindah yang Tuhan titipkan untukku.
      Ketahuilah, cerita kita memang tak sempurna. Namun begitu penuh warna karena pernah ada tangis dan tawa di dalamnya. Semoga waktu tak membuat kita lupa, bahwa pernah ada satu cerita indah diantara kita.

     Reza sahabat terbaikku,
Pergilah meraih impian, aku sebagai sahabatmu hanya bisa mendoakan. Semoga apa yang selama ini kamu cita-citakan kelak akan menjadi kenyataan. Satu pesanku untukmu, bahwa impian itu ada tidak hanya sekedar untuk diimpikan tapi juga untuk diwujudkan. Jika memang ini pilihanmu, jalani. Yakinlah, Tuhan akan mempermudah jalanmu. Senyum terindahku, kuberikan untuk menemanimu pergi sahabatku tersayang.

                                                                                                                                        Sahabatmu,

                                                                                                                                             Risa 

       Reza, terdiam membaca surat dari Risa. Ia tak mampu berkata apa-apa, hanya ada sedikit air mata yang menggenang di pelupuk matanya. Begitu berat baginya meninggalkan Risa. Risa, sosok gadis periang yang selama enam tahun terakhir ini menyuguhkan tawa dalam harinya kini sedang berduka karenanya.

       Yakinlah Sa, ini hanya sementara. Suatu saat nanti aku pasti akan kembali untuk mengajakmu keliling dunia seperti impian indah kita yang telah  kita ukir bersama di bawah naungan langit senja. Risa, sampai kapanpun kau akan tetap menjadi sahabatku selamanya tuturnya dengan suara parau.