Minggu, 26 Februari 2012

Cerita Kita




Terima kasih, Kau membuatku sedikit
damai untuk berani berpikir,
Bahwa akhirnya aku harus
memahamimu sebagai sepotong bagian dari pencarianku…
Bahwa kau bukan cinta sejati untukku berhenti
selamanya…
Tapi kini biarkan sekali lagi aku berusaha membuatmu
mengerti…
Setelah satu permintaan
yang tak mungkin kuteruskan,
Aku akan mencintaimu
dengan cara yang lain…
Aku ingin mencintaimu
dengan membuatmu mengerti,
Bahwa aku mungkin akan meninggalkan
persinggahanku di hatimu
Tapi telingaku tak berhenti
terbuka untuk panggilanmu,
Meski sekedar untuk
membuatmu tak merasa sendiri
Dan tak merasa sepi…
Meski ruang tak akan menempatkanmu dalam
rengkuh pelukanku,
Dan waktu tak akan selamanya membawa aroma
tubuhmu ke ujung hidungku,
Tapi hatiku selalu dekat pada jiwamu yang mampu
membuatku tenang…
Dan pada akhirnya,

Aku tak ingin berhenti
mencintaimu…..

Tuhan, terimakasih telah kau kenalkan aku padanya
Dia yang memberi aku sebuah pelajaran berarti
Tentang rasa mencintai dan mengasihi
Tentang indahhnya hidup ini
Sesungguhnya,
Ada bahagia yang mengalir saat kau bersamaku
Bila kau percaya,
Ada sejuk yang merasuk kala kau isi hariku
Dan bila kau merasa,
kau lah lembaran hangatku
Kuntum-kuntum bunga yang menghiasi hidupku..... 

*Cerpen Tuhan Aku Ingin Menangis






Rabu, 22 Februari 2012

Ayah punya caranya sendiri untuk mencintai kita



“Ayah saya tidak pernah mengatakan kepada saya bagaimana caranya untuk hidup, tapi ia  hidup dan aku mengambil pelajaran darinya ( Cla rence)


       Memang tidak dapat kita pungkiri bahwa keberadaan ayah sebagaiman Ibu tak kan lekang di makan waktu. Ibu kita menunggu waktu Sembilan bulan untuk menunggu kelahiran kita dengan bertaruh nyawa, lalu ayah kita menunggu belasan tahun sejak kita di beri nama untuk bisa di lihat  sebagai manusia dewasa yang hidup dengan kesadaran sebagai orang. Itu pun tak jarak seperti bertepuk sebelah tangan.
       Saat kita sudah remaja, atau ketika kita sudah beranjak dewasa, ketika sudah memiliki kesibukan baru di luar rumah., semakin tidak ada waktu untuk Ayah kita, Maka dalam hatinya ia berkata, ”Anakku mulai menjauh dariku dan takkan ku rengkuh kembali seperti ketika ia saaat kanak-kanak.”. Galau, karena kita sudah memiliki dunia kita sendiri, Risau karena jarakpun terus bertambah jauh.
       Saat kita benar-benar meninggalkan rumah, karena tuntutan pertumbuhan diri, kegalauan itu semakin bertambah. “Sejak suara tangismu, Sejak ku lantunkan suara adzan ke telingamu aku begitu menyayangimu. Ya, kau adalah permata hatiku. Namun, kau bukanlah selamanya milikku”.

“Rumah ini hanya persinggahan dalam perjalanmu menuju kedewasaan. Kini sudah hampir masanya kau pamit. Walau di hatiku terpancar sedikit rasa pahit. Tapi siapalah aku yang yang dapat menahan perjalanan sang waktu? Siapalah aku yang dapat menahan realita kedewasaan? Maafkan aku wahai anakku”.
“Bukan aku tidak rela kau pergi, tetapi karena aku terlalu mencintaimu! Hatiku bertanya-tanya adakah orang lain yang mencintaimu dan menjagamu sepenuh hati?. Sejak kau berjalan tertatih aku melihatmu jatuh tanpa rasa letih. Ku balut lukamu dengan hati-hati agar kau tak menjerit sakit. Tapi, jika suatu hari hatimu terluka, Siapakah yang akan membalut lukamu dalam perjalanan hidupmu?

       Kepada kita anak lelakinya ayah berpesan, “Jadilah lebih kuat dan tegar dari aku, pilihlah Ibu untuk anak-anakmu kelak wanita yang lebih baik, berikan yang terbaik untuk menantu dan cucu-cucuku daripada apa yang telah aku beri padamu”.

        Kepada kita anak gadisnya Ayah berpesan,”Jangan cengeng meski kamu seorang anak perempuan. Jadilah sellau bidadari kecilku dan bidadari terbaik untuk ayah anak-anakmu kelak. Laki-laki yang akan melindungimu melebihi perlindungan Ayah. Tapi jangan pernah kau gantikan posisi Ayah dihatimu”.
        Dalam pesan-pesannya Ayah hanya ingin memastikan bahwa kita telah ia titipkan kepada Dzat yang Maha Menjaga. Semua ia lakukan untuk melengkapi apa yang telah ia berikan.
       Akan tetapi, kelak ketika kita akan menikah, detik-detik memulai hidup baru adalah detik-detik perpisahan bagi orangtua kita. Tidak secara ikatan tapi secara kesempatan. Jika sesaat kala iti dia Nampak menjauh dari pandangan kita, mungkin mereka sengaja menghindar untuk menyeka air matanya yang tak mampu ia tahan. Saat itu begitu menyenangkan bagi kita. Tapi ayah dan ibu, seolah menanti detik-detik akhir kebersamaan. Dan merekapun hanya terdiam.

Firman Allah dalam Al-Qur’an :
“Wahai Tuhanku. Kasihilah mereka keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku di waktu kecil (QS. Al-Isra’ : 23-24)

 Ayah punya caranya sendiri untuk mencintai kita..............

Ada Hantu di Sekolah


       Duh pelajaran seni budaya kok lama banget ya? perutku udah demo nih teriak-teriak minta diisi. Kapan keluarnya sih nih Ibu Eni? Sambil garuk-garuk kepala, aku menyoret-nyoret buku bersampul biru milikku dengan tulisan yang enggak jelas.

       “Anak-anak, karena seni budaya tidak ada dalam mata pelajaran UAS jadi ibu mau nilai uas kalian diganti dengan pementasan drama di setiap kelas. Untuk tema bebas, jadi satu kelas dibagi  menjadi 7 kelompok, dan pementasan drama dimulai dari satu minggu yang akan datang. Untuk pelajaran hari ini ibu cukupkan sekian, terimakasih.” Ibu Eni pun berlalu pergi meninggalkan kelas. Sementara anak-anak di kelas saling menggerutu kesal mengapa harus ada pementasan drama disaat kami sibuk menyiapkan ujian nasional.

       Akhirnya setelah cukup sabar menanti, tiba juga waktu yang sangat aku tunggu-tunggu. Ya, lonceng sekolah yang seharusnya sudah dimuseumkan itu berbunyi yang menandakan waktu jam pulang telah tiba. Pikiranku sudah tertuju pada kantin sekolah dan membayangkan lezatnya soto ayam Bu Sulastri yang paling enak sejagad raya. hemm kelezatannya serasa sudah menempel di ujung lidahku. Hoalah lebay ya...hihi.

       Aku beranjak ke kantin bersama lima orang sahabat seperjuanganku, Chika si bawel, Arga si kutu kampret ups kutu buku maksudnya, Sherin yang centil, Boni si gendut dan yang terakhir Dika si ganteng kalem. Kalo aku siapa ya? Si baik hati aja deh (PD abis ya…haha).

      Selama di kantin sekolah, kita sibuk menyusun strategi tema apa yang akan kita ambil untuk pementasan drama. Akhirnya setelah berunding dengan perdebatan yang cukup alot kita memutuskan bahwa kisah persahabatan kita yang konyol inilah yang akan mewarnai panggung aula sekolah. Seperti biasa aku ditunjuk sebagai penulis skenario. Teman-temanku menyarankan kalau naskah harus dikemas seapik mungkin dengan dibumbui komedi di dalamnya.

       “Na, awas ya peran gue jangan yang jelek-jelek amat” ujar Bogi meminta peran yang baik padaku.
       “Tenang aja Gi, besok gue pastiin naskah udah jadi. Udah ada di kepala gue nih cerita apa yang bakal gue bikin..Hehe” paparku sambil tertawa.
       “Iya loh Na, peran gue juga jangan yang aneh-aneh awas aja loh, enggak bakal gue kasih tiket nonton gratis lagi” ujar Sherin mengancamku.
       “Eh, dimana-mana tuh pemain nurut aja ma sutradaranya dikasih peran apapun harus PROFESIONAL” imbuhku. Akupun senyum-senyum sendiri mengingat cerita apa yang akan aku buat.

***

        Makan soto di kantin berlalu dan dilanjutkan proses pembuatan naskah di rumah Chika (proses pembuatan naskah? udah kaya mau buat naskah proklamasi aja ? haha). Tapi tidak semua teman-temanku ikut. Hanya ada aku, Sherin, Chika dan Dika sementara Bogi dan Arga beralasan ada urusan keluarga. Dengan mimik wajah serius aku menyusun naskah dan menentukan peran apa saja yang cocok untuk sahabat-sahabatku ini. Ditemani secangkir jus jeruk dan setumpuk cemilan akhirnya selesai juga naskah drama seni budaya.

       “Nih udah jadi baca deh, pasti kalian bakal tertawa terbahak-bahak” aku pun menyodorkan naskah itu pada Dika, sementara Chika dan Sherin terlihat sangat penasaran. Belum saja  mereka selesai membaca naskah tersebut, ketiganya langsung tertawa terpingkal. Karena dalam naskah  drama tersebut Bogi dan Arga berperan sebagai Dono dan Jono. Dono berkarakter keren tapi budek sementara Arga culun abis dengan kaca mata kuda dan tompel besar di pipi sebelah kirinya.
       “Wah parah ya lu Na…hahaha lucu tau, enggak kebayang tampang bloonnya si Bogi sama Arga meranin tokoh Dono dan Jono,” Dika begitu terlihat puas tertawa membayangkan peran Bogi dan Arga.
       “Udah kaya anak kembar kali ya mereka berdua. Kembar tapi beda…hehehe” ujar Chika menimpali.
       “Udah dulu ketawa-ketawanya disimpen buat besok aja ya kasian tau mereka? Lagian siapa suruh mereka enggak datang” ujarku mencoba sok bijak padahal dalam hatiku, aku juga tertawa geli seperti mereka hahaha.

       “Oh ya, ya ampun gue nyampe lupa. Sore ini kan gue tuh mau ke salon sama nyokap gue” Dengan gaya centilnya Sherin menepuk jidatnya yang seperti lapangan golf tapi terhalang oleh poni kudanya (hehe…Sssstt jangan bilang-bilang ya).
       Akhirnya karena hari sudah mulai petang, Kami semua pun memutuskan untuk pulang.

***

       Meskipun naskah sudah selesai aku buat dan semua sahabatku menerima peran masing-masing tapi kami tidak pernah melakukan latihan sekalipun karena masing-masing disibukkan dengan jadwal mempersiapkan ujian nasional. Pagi hari, kami belajar seperti biasa di sekolah. Siang, tambahan jam belajar membahas soal-soal UAN tahun sebelumnya di sekolah. Dan sore harinya sampai jam 6 malam kami harus mengikuti les di tempat yang berbeda. Sedangkan hari Minggu kami di sibukkan dengan Try Out. Sampai saat pementasan hanya tinggal satu hari lagi, kami pun mencoba menyempatkan diri untuk latihan. Setelah berunding, waktu yang cocok adalah sepulang les jam 6 malam di sekolah. Meskipun menuai pro dan kontra, Ya mau dikata apalagi deadline hanya tinggal menghitung hari.

       “Guys, pokonya kalo lo pada udah  selesai lesnya kalian harus pada langsung ke sini. Kita janjian di pintu gerbang depan sekolah. Ok???” ujar Dika si kutu kampret dengan antusias. Anak-anak yang lain cukup mengiyakan, urusan datang apa enggaknya sih belakangan.

       Setelah seharian berkutat dengan soal-soal dan pembahasannya UAN tahun lalu, malam mencekam  itu pun datang. Dan petualangan itupun dimulai.
       Saat aku tiba di gerbang sekolah, hanya ada Chika dan Bogi saja yang menunggu disana. Sementara yang lainnya dan si kutu kampret dika yang suka ngaret juga belum tampak batang hidungnya. Setelah kurang lebih menunggu 20 menit, akhirnya personil kami lengakap juga ( Band kali ya??).

       “Eh, yakin nih kita mau latihan di aula? Itu kan jauh. Kalian tau kan belakang sekolah kita itu kuburan?” Ujar Chika yang begitu penakut.

      “Tenang aja, lo ga sendiri kali ada kita-kita juga. Makannya jangan bawel. Nanti kalo ada setan yang jatuh cintrong ama lo gimana coba?” Dika pun menakut-nakuti Chika.

      “Hushhh jangan ngomong sembarangan,” Bogi pun membekap mulut Dika. Sementara kami terus menyusuri koridor sekolah. Suasana sekolah begitu tampak sunyi. Tak ada keramaian seperti yang biasanya aku lihat pagi hari. Hanya ada Pak Tono yang tampak sedang menyalakan lampu ruang guru, Dia hanya melirik sedikit dan tersenyum getir pada kami, padahal Pak Tono selalu bersikap hangat pada kami. Entah kenapa sikap Pak Tono sore itu sedikit berbeda. Ruang guru menyala, sementara kelas-kelas dibiarkan gelap tanpa ada penerangan sedikitpun. Kutengok kanan kiri, suasana sekolah di malam hari begitu menyeramkan. Gelap, semua ruangan kosong tak berpenghuni. Tak ada suara sama sekali. Hanya suara hentakan langkah kaki kami yang terdengar sepanjang menyusuri koridor sekolah. Aku bergandengan tangan  begitu erat dengan Sherin dan Chika.

       Setelah hampir 15 menit kami melawan rasa takut, akhirnya tiba juga kami di aula sekolah. Karena saat itu adzan maghrib sudah berkumandang, kami memutuskan untuk shalat terlebih dahulu. Saat aku dan teman-teman lainnya hendak berwudlu di mushola yang berhadapan dengan aula sekolah. Aku melihat pohon mangga di taman sekolah begitu menyeramkan, daun-daunnya melambai tertiup angin, membuat bulu kuduk merinding. Mulutku tak henti berkomat kamit membaca ayat suci Al-qur’an yang aku bisa. Begitu pun aku melihat teman lainnya. Mereka juga tak henti komat kamit karena jiwa penakut saat ini sedang menghantui kami. Karena konon ceritanya, saat anak pramuka menginap di sekolah, ada yang melihat sosok yang menyeramkan di pohon mangga, sampai  orang yang melihat makhluk itu kesurupan. Baru saja aku melangkahkan kaki kananku ke mushola. Tiba-tiba lampu mushola mati. Sontak saja kami semua berhamburan mencoba untuk keluar dari mushola, sementara Chika masih berada dalam mushola. Ia teriak sekencang-kencangnya dan menarik celana Dika sampai melorot karena Chika phobia dengan gelap. Eh enggak taunya, lampu mushola sengaja dimatikan sama si gendut Bogi. Sementara itu, ia muncul dari balik pintu sambil  cekikikan melihat raut wajah takut kami.

      Saat lampu sudah menyala ....
“Heh tadi lu kentut ya?” tanya Chika serius pada Dika.
“Dikit.. maklum Efek takut juga Ka hehehe” Dika tertawa kecil.
“Ih..Dika jorok banget sih lu. Sedikit tapi baunya sekilo tau enggak?” tawa pun pecah di mushola sekolah. Hahaha lucu sekali tingkah mereka sampai aku tertawa geli di buatnya. Arga dan Bogi pun begitu puas melihatnya. Kurang asem si Bogi enggak tau apa kalo yang ada dihadapan dia ini manusia-manusia parno semua  sama hal yang begituan. Huuhh  kita semua dibuat sport  jantung sama dia. Karena enggak mau berlama-lama di sekolah, lelucon Bogi tak begitu kami anggap serius. Dan kita memutuskan untuk Shalat berjama’ah dan Arga lah yang menjadi imam.

       Shalat maghrib selesai dan kami kembali ke aula, latihan drama sesuai naskah dan peran masing-masing. Latihan berjalan lancar tanpa sedikit hambatan walau harus beberapa kali diulang karena salah. Tapi tanpa terasa waktu sudah menunjukan pukul 08.30 WIB.
       “Eh temen, udah dulu yuk latihannya. Udah jam setengah sembilan nih. Gue mau pulang ah nanti nyokap gue nyariin,” Chika merasa takut kalo-kalo pas dia pulang di sambut sama omelan nyokapnya.
       “Iya sih pulang ajah yuk…jujur perasaan gue dari tadi gak enak nih” ada sesuatu yang mengganjal di hatiku malam itu.
       “Okeh kita lanjutin besok pagi-pagi ya soalnya kan kita kan kelompok dua. Tapi kita ke gerbang depannya bareng-bareng ya” pinta Sherin memohon.
       “Siipp yaudah kita pulang yuukkk….” ajak Bogi.

      Malam begitu mencekam, ditambah lagi suara gemuruh yang bersahut-sahutan pertanda akan turun hujan. Kami berjalan bersama ditengah lapangan upacara, hanya dengan diterangi cahaya rembulan. Jujur aku begitu takut karena memang kata cerita satpam sekolah, biasanya saat malam seperti ini siswa yang sudah meninggal karena kecelakaan sering berkeliaran di sini. Jantungku berdegup kencang saat melewati pohon rindang yang berada di depan perpustakaan.
       “Na, gue takut nih. Pegang tangan gue erat-erat ya” sambil celingak celinguk Sherin berbisik padaku. Aku dan yang lainnya pun terus melangkah begitu cepat. Tanpa terasa rintik-rintik hujan mulai membasahi baju kami.

       “Eh, Hujan, cepetan dong jalannya” seru Arga yang berada di depan.
Jantungku terus berpacu lebih kencang, Langkah Arga tiba-tiba terhenti.
       “Eh Guys, lo pada liat sesuatu enggak?” tanya Arga gemetar.
       “Apaan?? Ah lo jangan nakut-nakutin plis deh. Awas aja kalo kejadian di mushola tadi terulang lagi” kataku mengancam.
      “Iiiya Na…gue juga liat”  kata Bogi dengan suara berat.

      Setelah mendengar hal yang sama dari Bogi akupun mulai percaya dengan apa yang dibilang Arga. Meski aku sendiri tidak melihatnya. Peluh dingin bercucuran. Bajuku basah dengan air hujan bercampur dengan keringat.
      “Aaaaanti…gue liat Anti depan kelasnya melihat ke arah kita. Ayo cepetan sumpah gue enggak boong,” ucap Bogi gemetar. Anti adalah salah satu siswa yang dua minggu lalu mengalami kecelakaan dan tewas seketika di ruas jalan sudirman.
       Tidak ada jalan lain, kami pun memutuskan untuk lari sekencang-kencangnya. Bogi memberi aba-aba 1….2….3…. Lariiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii...

       Ditengah hujan yang mengguyur tubuh kami, kami berlari ketakutan di tengah lapangan upacara dengan masih mengenakan seragam sekolah. Aku, Chika dan Sherin pun tak berani menengok kanan kiri, pandangan kami lurus ke depan tanpa melihat kelas-kelas kosong yang ada di kanan kiri kami. Tiba-tiba saja saat tiba di depan ruang guru lonceng kuno sekolah berbunyi padahal di ruang guru tak ada seorangpun disana. Sehingga kadar ketakutan kami pun semakin menjadi. Tiba-tiba kacamata Arga terjatuh. Karena kaca mata Arga jatuh, dia sempoyongan ddan tidak bisa melihat dengan jelas. Tong sampah sekolahpun ia tabrak hingga sampah-sampah berserakan dan terdengar suara bising karena tong sampah berbahan dasar kaleng. Sampah-sampah pun menempel pada baju Arga. Antara rasa ingin ketawa, kasian dan ketakutan campur aduk saat itu.

       “Heh, tungguin gue!!! Kaca mata gue jatoh nih gue enggak bisa liat” kata Arga sempoyongan dengan membawa sampah yang menyangkut di tasnya..
       “Haduh ada-ada ajah sih lo pake acara kacamata lo jatoh segala” balas Dika.
      “Udah jangan banyak ngomong cepet tuh tuntun si Arga” ucapku kesal melihat tingkah mereka. Dan mereka berdua memimpin di depan.

      Aduh kenapa disaat darurat seperti ini gerbang sekolah terasa jauh sekali? Ketika hanya tinggal beberapa langkah lagi menuju gerbang sekolah, ada sosok berbaju putih di bawah pohon akasia sekolah terlihat sedang tertunduk memungut sesuatu. Aku penasaran dan bertanya-tanya dalam hati apakah itu sesosok hantu? Karena Arga tidak menggunakan kacamata dan Dika tak menuntunnya, Arga pun menabrak sosok itu.

      “Ahhhhhhrrrggghhhhh Hahahahahantuuu………..” Arga pun berteriak.
Dan sosok yang sempat kami kira hantu itu mengarahkan lampu senternya pada kami. Dan dia adalah Pak Tono si penjaga sekolah.
      “Pak Tono??? Mau nagapain malem-malem kesini? Tanyaku.
      “Harusnya saya yang nanya, ngapain kalian malem-malem di sekolah masih pake seragam lagi?”
      “Kita abis latihan drama buat besok Pak !!!!” Chika pun menjawab.
     “Kalo Bapak, mau menyalakan lampu sekolah soalnya tadi belum sempet dinyalakan. Karena Bapak ketiduran.” Jawab Pak Tono singkat jelas padat.
      “Hah terus yang tadi kita liat nyalain lampu ruang guru siapa dong?” Tanya Arga heran.
       Tubuhku lemas seperti tak ada tulang, pandanganku perlahan terlihat kabur dan akhirnya mataku terpejam dan gelap seketika alias pingsan. -_-


Jumat, 10 Februari 2012

Cerita Kita Di Bawah Naungan Langit Senja




       Suatu siang di bulan Mei langit begitu cerah, kepulan awan putih begitu terlihat indah meliputi langit yang membiru. Di sudut taman sekolah, Risa terlihat begitu asyik membaca sebuah  novel. Ia pun tak menyadari bahwa ada Sisil yang sedari tadi berada di sampingnya.

       ”Hey, asyik banget sih baca novelnya sampe aku dicuekin gini,” ujar Sisil menggerutu sambil menepuk bahu Risa.
       ”Ups, sorry banget ya lagi seru nih Sil tanggung dikit lagi selesai novelnya,” Risa tetap fokus membaca novel My Last Love karangan Agnes Davonar dengan lollipop berwarna merah yang digenggamnya.

         Setelah selesai membaca novel Risa malah tertawa kecil melihat sahabatnya cemberut memandangnya.

       ”Sisil sayang, jangan ngambek ya. Aku lagi seru banget tadi baca novelnya. Senyum dong kalo senyum kamu tuh cantik banget tau Sil. Hehe…” Risa pun terus merayu Sisil.
       “Uda deh lupain..hehe. Ada hal yang lebih penting yang mau aku omongin sama kamu,” Sisil begitu tampak serius.
       “Apaan sih emang, serius banget?” tanya Risa penasaran.
       “Kalo aku perhatiin, kayaknya akhir-akhir ini Reza sering banget berduaan sama Diana ketua Ekskul KIR dibanding sama kamu?”
       “Mereka kan lagi sibuk mau ikutan lomba karya ilmiah remaja bulan depan nanti. Ya maklumlah kalo mereka deket. Aku yakin Reza bisa menempatkan dirinya dengan baik dan dia enggak akan lupain kita,” jawab Risa tenang.
       ”Tapi kamu enggak jeles apa Sa liat kedeketan mereka?”
       ”Hellooow, Sisil sayang aku sama Reza tuh cuma sahabatan enggak lebih. Lagian, enggak semua urusannya harus sepengetahuanku juga kan?” Belum sempat Sisil menjawab Reza pun datang dengan tiba-tiba.

       ”Woi pada ngerumpi mulu nih cewek. Ngomongin apaan sih?” seketika membuat Sisil yang sedang menyeruput jus jeruk tersedak.
       ”Ada deh rahasia perempuan, cowok enggak boleh tau” ujar Sisil sinis lalu berlalu pergi. Sisil terlihat acuh pada Reza yang akhir-akhir ini sibuk dengan dunianya sendiri dan terkesan melupakan pertemanan mereka.

       ”Kenapa sih tuh makhluk, ko jadi aneh gitu?” tanya Reza heran. Risa tak menjawab hanya sebatas menaikkan bahu dan mengernyitkan dahinya.
       ”Sa, ke tempat biasa yuk?” Reza tersenyum dan Risa pun mengiyakan ajakan Reza.
Mereka pulang bersama. Keduanya tampak larut dalam gelak tawa. Seperti biasa mereka selalu menghabiskan waktu bersama saat senja tiba, di atas gedung kosong yang tidak terlalu jauh dari rumahnya. Dari atas gedung mereka dapat menikmati kilauan cahaya senja yang begitu menakjubkan. Seakan dapat menyatu dengan alam di bawah naungan langit senja mereka menoreh cerita.

       Reza dan Risa sudah tampak terlihat seperti dua sejoli yang tidak dapat terpisahkan. Tapi bukan dalam hal pacaran, melainkan persahabatan mereka yang sudah terjalin cukup lama sejak mereka duduk di bangku sekolah menengah pertama hingga kini mereka duduk di kelas 3 SMA. Ibarat pribahasa, ada gula ada semut. Setiap ada Reza, pasti ada Risa. Mereka sudah seperti anak kembar. Selalu terlihat bersama dalam hal apapun. Tapi tak jarang pertengkaran pun mewarnai persahabatan mereka. Hanya saja mereka cenderung bersikap diam jika ada sesuatu hal yang mengganjal diantara keduanya. Seringkali teman-teman mereka mencomblangkan keduanya untuk menjadi sepasang kekasih, namun tak satupun usaha mereka yang berhasil, karena bagi mereka persahabatan itu jauh lebih indah dari pacaran, pacaran bisa putus. Tapi tidak dengan persahabatan yang mereka yakini akan berlangsung sampai mereka beranjak tua nanti.

***

       “ Za, coba liat deh langitnya indah banget ya. Kayaknya ini langit senja terindah yang pernah aku lihat,” Risa begitu terkagum-kagum melihat perpaduan warna lagit antara kebiruan-biruan dan kemerah-merahan. Reza hanya tertegun melihat raut wajah sumringah Risa. Ia tak ingin membebani pikirannya, Sehingga Reza pun mengurungkan niatya untuk menceritakan kegundahan hatinya.

       ”Iya Sa, bagus banget ya. Eh foto berdua yuk? Backroundnya keren nih?” Reza mengeluarkan kamera digital dari dalam tasnya.

       ”Boleh, boleh. Disini aja Za, supaya langit senjanya keliatan,” Risa menunjuk tempat yang sangat strategis. Mereka pun bergaya senarsis mungkin untuk sekedar dokumentasi pribadi. Dengan mengatur timer otomatis mereka berpose ria tanpa canggung karena mereka yakin tak ada seorangpun yang melihat gaya gokil mereka.

       ”Eh aku liat coba Za, bagus enggak?” Risa penasaran melihat hasil jepretan fotonya dengan Reza. Risa dan Reza tersenyum melihatnya.
       “Lucu kan Sa?” tanya Reza.
       ”Ih… lucu banget yang ini Za. Tapi kamunya jelek banget merem..hehehe. Nanti aku pake profil facebook ah” Reza merebut kamera digitalnya dari genggaman Risa.
       “Eits jangan yang itu, yang ini aja aku keliatan lebih ganteng, awas aja kamu anak  kecil kalo macem-macem”
      “Iya jeleeeek” Risa mencubit pipi Reza gemas. Keduanya pun meninggalkan gedung kosong itu dengan riang sambil tertawa-tawa.
       Langit sudah terlihat gelap, langit senja pun perlahan menghilang tertutup oleh kabut malam. Mereka berdua pun memutuskan untuk pulang.

       Kedekatan mereka berdua membuat setiap orang yang berada di sekelilingnya merasa iri, apalagi Reza mempunyai otak yang sangat cerdas dan selalu menjadi juara setiap ada Olimpiade Sains baik antar sekolah hingga menembus tingkat provinsi. Sedang Risa, meski ia hanyalah siswi biasa tapi ia mempunyai pribadi dan paras yang cantik sehingga tidak sedikit teman pria yang jatuh hati padanya. Namun, keduanya enggan menjalin cinta sampai nanti saatnya tiba.

***

         Satu minggu kedepan ini, ujian nasional dilaksanakan sehingga pertemuan Risa dan Reza pun tidak sesering seperti hari biasanya. Mereka hanya bertemu ketika pergi dan pulang sekolah bersama. Mereka fokus pada satu tujuan untuk lulus ujian nasional dan melanjutkan ke perguruan tinggi.

       Hari terakhir ujian nasional pun telah berlalu. Matahari telah condong ke barat. Sinarnya berwarna kuning kemerahan. Tampak rona bahagia menghiasi raut wajah keduanya. Dengan mengendarai sepeda motor milik Reza, mereka pergi ke tempat yang biasa mereka kunjungi. Mengahabiskan waktu sore dengan melihat semburat cahaya jingga bersama.

       Anak tangga mereka lalui satu demi satu hingga akhirnya sampai di puncak gedung, Risa termenung menatap langit memperhatikan keharmonian alam. Ia duduk sambil mendekap lututnya, pandangannya menerawang kosong. Sedang Reza merebahkan tubuhnya di atas puing-puing kayu yang dialasi sebuah tikar, mendonggakkan kepala ke langit yang tinggi bermain dan berimajinasi dengan kepulan-kepulan awan sambil memainkan jari telunjuknya seakan melukis dan menulis di langit bercahaya jingga.
       “Za, liat deh awan yang itu. Kumpulan awannya membentuk kelopak bunga yang indah seperti lukisan yang pernah aku buat”
       “Kalo aku melihat awan itu seperti pesawat terbang impianku. Hemm aku jadi pengen keliling dunia Sa,” Keduanya mengimajinasikan impian masing-masing.

       Hening..................

       Tiba-tiba alunan merdu evanescence My Immortal yang bersumber dari ponsel Risa membuyarkan lamunannya. Dirogohnya tas yang sedang di dekapnya. Ternyata  ada sebuah pesan masuk dari Reza yang berada tepat di belakangnya. Tertulis pesan,
       Sa, kamu nengok dong. Aku pengen cerita sama kamu. 

       Risa menoleh dan Reza membalasnya dengan senyum.
       “Ya ampun deket gini juga pake sms segala. Buang-buang pulsa”
       “Orang kaya gitu loh.hehehe. lagian kamu juga ngelamun aja”
       ”Mau cerita apa sih emang, penting ya?” Risa menopang dagunya dengan posisi tepat di depan wajah Reza.
       ”Aku lagi bingung Sa. Susah ya menentukan sebuah pilihan di antara dua pilihan”
       ”Maksudnya?” tanya Risa bingung.
       ”Kamu tau kan Sa cita-cita aku dari kecil itu apa? Aku pengen jadi pilot Sa, nanti kan aku bisa ajak kamu keliling dunia. Tapi Ibu enggak setuju. Ibu lebih setuju kalo aku ambil PMDK di ITB, karena jaraknya enggak terlalu jauh bisa pulang pergi Jakarta - Bandung” Reza menatap Risa, berharap Risa akan memberikan solusi.
       ”Kalo menurut aku sih, kamu turutin apa kata Ibu kamu aja Za, kan kalo kamu sekolah penerbangan di Makassar jauh banget. Nanti yang jagain aku disini siapa?” goda Risa.
       ”Emang aku babby sister kamu pake jagain kamu segala ?” ucap Reza nyolot tapi sambil tertawa kecil.

         Risa tampak murung. Ada gurat kesedihan diwajahnya. Tapi bukan karena ucapan Reza sebelumnya terlebih karena ia takut jika ia akan kehilangan sosok sahabat seperti Reza yang begitu setia mendampinginya baik ketika harinya dipenuhi gelak tawa ataupun ketika harinya dirundung lara. Karena selama enam tahun  terakhir ini, Rezalah yang selalu menjadi penopang Risa di saat Risa rapuh. Entah siapa yang akan menemani harinya jika Reza memilih kuliah di Makassar.
***


         Hari kelulusan itupun tiba. Dengan hati berdebar-debar Reza membuka amplop kelulusan, lalu disusul dengan Risa dan Sisil. Dengan penuh syukur Reza tersenyum girang. Bahwa dalam amplop tersebut jelas tertulis kata LULUS. Risa dan Sisil pun demikian. Jika tak ada orang di sekelilingnya saat itu  mungkin Risa sudah loncat-loncat girang. Reza menatap Risa, keduanya saling pandang. Keduanya begitu tampak bahagia Karena setiap kali kebahagian Risa itu pula yang akan menjadi kebahagiaan Reza, begitupun sebaliknya.

***

        Malam itu..hawa dingin menelusuk hingga menembus tulang rusuk. Bintang-bintang penghias malam pun tak terlihat karena  di telan awan malam. Di teras rumah Risa, Reza mengungkapkan apa maksud tujuannya mengajak Risa bicara.

       ”Sa, aku mau pamit sama kamu. Akhirnya Ibu mengizinkan aku  kuliah di Makassar, melanjutkan pendidikanku di sekolah penerbangan. Besok malam aku berangkat,” Reza begitu hati-hati bicara pada Risa. Karena Reza tahu Risa begitu tidak menginginkan perpisahaan ini.

       ”Wah asyik dong Za nanti kamu jadi pilot, terus aku ikut keliling dunia sama kamu ya  Za,” Risa tersenyum getir, ia mencoba menyembunyikan kesedihannya. Karena ia tak ingin terlihat cengeng didepan Reza.
       ”Besok temui aku di tempat biasa ya Sa. Aku harap kamu datang. Karena aku ingin melihat langit senja sama kamu sebelum aku pergi ke Makassar,” sesaat Risa diam.
       ”Tapi aku ga janji ya Za,” Risa beranjak dari kursi meninggalkan Reza. Sementara Reza menikmati keheningan malam dengan secangkir coklat hangat yang sebelumnya disuguhi oleh Risa.

       Di kamar....Risa menangis pilu, wajahnya sendu. Betapa menyakitkannya perpisahan ini. Risa memandangi fotonya dengan Reza. Enam tahun bukan waktu yang sebentar dalam mengarungi sebuah kisah persahabatan. Persahabatan mereka begitu indah. Seindah angan mereka mengukir mimpi tatkala senja tiba. Reza yang mempunyai mimpi menjadi seorang pilot, sementara Risa ingin menjadi desaigner terkenal. Padahal Risa selalu berharap bisa satu kampus dengan Reza. Namun kali ini cita-cita harus memisahkan persahabatan mereka.

***

       Sore hari, di gedung kosong tempat dimana Reza dan Risa menghabiskan harinya, dengan setia Reza menunggu kedatangan Risa. Ia berharap dapat melihat senja bersama sebelum pergi menuntut ilmu ke Makassar. Sesekali ia melirik arloji yang melingkar di lengannya namun Risa tak kunjung tiba. Sore itu langit beratapkan kilauan warna jingga yang berpendar dengan indahnya, tapi sayang kali ini Reza menikmatinya tanpa ditemani Risa. Saat ia hilir mudik kesana kemari, tak sengaja ia menginjak sebuah kertas. Ternyata kertas itu adalah surat dari Risa. Diambilnya lalu dibacanya surat tersebut,
    
        Reza, sahabat terbaikku. Maaf, aku tak bisa menemuimu. Mungkin kau cukup tahu alasanku mengapa aku tak ingin menemuimu. Aku tak ingin jikalau air mataku jatuh saat aku melepas kepergianmu, itu akan menjadi beban buatmu. Enam tahun melewati hari denganmu begitu indah kurasakan. Tak pernah kutemui sahabat sebaik dan setulus dirimu. Begitu banyak kenangan indah yang telah kita rajut bersama. Apalagi di tempat yang saat ini sedang kau pijak, di bawah naungan langit senja kita menorehkan sebuah cerita. Kisah persahabatan yang penuh dengan kebahagiaan dan kebersamaan, tak jarang juga diwarnai dengan kesedihan ataupun pertengkaran  Namun, kebahagiaan itu lebih nyata dari sebuah kesedihan. 

        Kau yang selalu melengkapi kekuranganku, menjadi penopang dalam sedihku, mengukir tawa dalam hariku.  Aku tak tahu. apa selepas kepergianmu aku masih mampu menginjakkan kakiku diatas gedung itu? Rasanya, aku tak mampu berdiri di tempat itu tanpa kehadiranmu. Hanya aku dan kamu yang dapat membuat gedung kosong yang lama mati itu hidup. Mempunyai sahabat terbaik sepertimu itu adalah hal terindah yang Tuhan titipkan untukku.
      Ketahuilah, cerita kita memang tak sempurna. Namun begitu penuh warna karena pernah ada tangis dan tawa di dalamnya. Semoga waktu tak membuat kita lupa, bahwa pernah ada satu cerita indah diantara kita.

     Reza sahabat terbaikku,
Pergilah meraih impian, aku sebagai sahabatmu hanya bisa mendoakan. Semoga apa yang selama ini kamu cita-citakan kelak akan menjadi kenyataan. Satu pesanku untukmu, bahwa impian itu ada tidak hanya sekedar untuk diimpikan tapi juga untuk diwujudkan. Jika memang ini pilihanmu, jalani. Yakinlah, Tuhan akan mempermudah jalanmu. Senyum terindahku, kuberikan untuk menemanimu pergi sahabatku tersayang.

                                                                                                                                        Sahabatmu,

                                                                                                                                             Risa 

       Reza, terdiam membaca surat dari Risa. Ia tak mampu berkata apa-apa, hanya ada sedikit air mata yang menggenang di pelupuk matanya. Begitu berat baginya meninggalkan Risa. Risa, sosok gadis periang yang selama enam tahun terakhir ini menyuguhkan tawa dalam harinya kini sedang berduka karenanya.

       Yakinlah Sa, ini hanya sementara. Suatu saat nanti aku pasti akan kembali untuk mengajakmu keliling dunia seperti impian indah kita yang telah  kita ukir bersama di bawah naungan langit senja. Risa, sampai kapanpun kau akan tetap menjadi sahabatku selamanya tuturnya dengan suara parau.








Senin, 06 Februari 2012

Dikejar Orang Gila


Pada saat itu aku telah menginjak masa dimana kebanyakan orang berkata bahwa masa-masa SMA itu adalah masa masa yang paling indah. Seperti biasa aku selalu pulang sekolah bersama dua orang sahabatku Putri dan Citra karena memang rumah kami saling berdekatan. Dan kebetulan kami bertiga telah menjalin Persahabatan sejak kami duduk di bangku Sekolah Dasar. Pulang sekolah bersama kedua sahabatku tercinta adalah hal yang sangat menyenangkan. Di tambah lagi dengan suasana yang mendukung. Sepanjang jalan di hiasi dengan hijaunya pohon-pohon rindang sehingga membuat udara begitu terasa sejuk. Dan akupun selalu terkagum-kagum melihat kekuasaan Tuhan saat petang akan menjelang karena keindahan senja yang kemerah-merahan begitu menakjubkan. 

Canda tawa selalu menemani Aku, Putri dan Citra. Sesekali kami selalu membuat semua mata tertuju pada kami karena mungkin suara tawa kami bertiga yang telah menggemparkan Dunia. (Alah.lebay ya?hehehe :p)

Tapi ketika sudah sampai di penghujung jalan rasa mendebarkan itu selalu datang tiba-tiba…
“Heh udah lama ya kita enggak liat si Encep?” tukasku tersenyum.
“Iya ya kemana ya dia???” ujar Putri dengan raut wajah yang seolah-olah kehilangan.
“Cieeeeee..si Putri kangen katanya tuh sama yayangnya hahaha,” canda Citra pada Putri.
“Sebut nama dia tiga kali deh pasti nanti dia muncul Encep..Encep..Encep..hehe”
“Kaya jelangkung aja hehe. Ya mudah-mudahan aja ga ada..amin”

Aku dan Putri trus berjalan sambil berbincang masalah pelajaran sekolah hari itu tapi aku tak melihat Citra di sampingku. Aku pun menoleh ke belakang dan  melihat Citra begitu sangat  ketakutan.
“Itu…itu… sambil menunjuk ke depan” Aku dan Putri diam tercengang. Saat kucoba mengembalikan pandanganku ke depan, ternyata, Oh tidakkkk !!! Dia…si ganteng kalem (Eits masih tanda tanya loh???) sosok yang tak pernah berhenti tersenyum dengan jendela terbuka pada giginya(alias ompong. Hehe), Tatapan matanya yang begitu tajam, dengan rambut yang selalu berantakan dan pakaian compang camping itu-itu saja yang selalu ia kenakan. Ya dia adalah “ENCEP” orang gila yang sedang naik daun di daerahku (Justin Bieber aja kalah terkenalnya ) ia melambai-lambaikan tangannya kearah kami bertiga. Keberadaannya semakin mendekat ke arah kami. Dengan rasa takut yang luar biasa disertai peluh dingin yang bercucuran, sontak saja tanpa pikir panjang dan aba-aba dengan saling berpandangan satu sama lain Aku, Putri dan Citra mengeluarkan jurus terjitu menghadapi Manula (Manusia gila.hehe) seperti dia.
“lariiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii” Tapi Si Encep terus mengejar kami bertiga.

Kami pun lari terbirit-birit seperti di kejar-kejar penjahat dalam film action. Tapi lucunya kami bertiga lari menuju arah yang berbeda. Dengan nafas yang terengah-engah aku berlari sekencang-kencangnya tanpa memeperhatikan apa yang ada di sekelilingku. Tukang es keliling pun hampir  aku tabrak. Kerumunan ibu-ibu yang sedang bergosip ria di sore itu pun merasa heran dengan tingkahku. Akhirnya setelah perjalanan panjang berlari dengan jarak yang lumayan jauh. Pohon mangga pun mempertemukan kami kembali Setelah merasa cukup aman aku pun mencoba mengatur nafasku. Sementara Putri dan Citra tertawa terbahak-bahak saat mengingat kejadian tadi. Apalagi kalo udah liat tampangnya si Encep yang yang senyum-senyum sendiri…hahahaha. Hem, aduh capek banget tuh orang gila uda bikin kami sport jantung. 

“Kamu sih ah tadi pake nyebut nama dia tiga kali segala jadi kan tuh makhluk menakutkan beneran muncul” ucap Citra menyalahkanku tapi dengan nada bercanda.
“Hahaha…aku kan tadi bercanda eh taunya malah beneran.”
“Wah gokil seru juga ya ternyata di kejar-kejar orang gila. Tadi aku sempet ngumpet di halaman rumah orang untung aja gak ada yang liat. Pengen lagi…hahaha” ujar Putri yang tertawa terpingkal-pingkal.
“Ah ga lagi-lagi deh capek tau. Tapi seru juga sih..hehehe”.
“Iya seru, lucu . Daripada di kejar anjing hayo mau pilih yang mana sama di kejar orang gila?” citra pun menimpali.
“Kalo aku sih ogah dua-duanya. Kamu aja ya Cit sendiri..hehee “
Aku, Putri dan Citra pun tertawa lepas saat mengingat kejadian lucu sekaligus menengangkan tadi sampai kami tak henti-hentinya tertawa (wah jangan-jangan virus gilanya si “Encep” sudah menjalar pada kami, Ups jangan sampe deh..hehehehe…).
Aku, Putri dan Citra melanjutkan perjalan pulang sampai kami tiba di rumah saat adzan magrib berkumandang.
Hemmm….hari itu sungguh menyenangkan dan menegangkan ”Dikejar orang gila” adalah pengalaman yang paling menggelitik dalam hidupku. Dan sampai sekarang aku selalu tersenyum sendiri jika mengingat kejadian itu…tak terlupakan deh hehehehe :)

Sabtu, 04 Februari 2012

Indahnya Persahabatan

The Virgo (Nia, Uje, Aini, Wulan)
Rukmana, Uzi, Bayu, Iqbal, Safitri, Aini, Revi
Aini, Revi, Tami, Nindri, Hety, Dessy, Dea




                                        

Jumat, 03 Februari 2012

Gara-gara Poconggg juga pocong


Sepulang sekolah seperti biasa empat sekawan aku, Inez, Uzi, dan Agil mampir terlebih dahulu di saung Mang Ucup, menikmati semangkuk mie ayam bakso yang hemmmm lezatnya mengalahkan mie ayam baksonya cheff Farah Queen (Hahaha lebay ya kaya pernah nyobain aja?). Siang itu, awan mendung menghiasi langit Bogor. Desiran angin kencang pun menampar pipiku dengan lembut, langit sudah terlihat gelap sekali pertanda akan turun hujan.

“Heh para ladies, lama banget sih lo berdua makannya? Cepetan dong liat tuh udah gelap banget mau ujan?” Gerutu Uzi kesal .
“Apa perlu gue bantuin biar cepet abis?” ujar Agil menawarkan diri, alhasil kamus bahasa inggris setebal 200 halaman milik Inez pun mendarat sadis di pipinya, Plaaaaaaaaaaaaaaak !!
“Uhh maunya, kalo cewek ya gini makan juga harus anggun enggak seradak-seruduk kaya lo !”
“Gapapa, ditabok pake kamus tebel sama Inez sayang daripada gue di cium si Uzi,” Agil melirik sinis ke arah Uzi.
Aku dan Uzi hanya memandang tingkah konyol mereka sambil tertawa geli,
“Udah yuk ah..ayo Nez cepetan,”ajakku.

Kami berempat berjalan beriringan keluar dari saung Mang Ucup, angin begitu kencang hampir saja merobohkan tubuh kami, tiba-tiba sebuah kertas dari arah selatan plaaaaaak menutupi seluruh bagian wajah Agil.

“Eh, eh, eh..apaan nih, sialan? Asemmm!!!”
“Hahahaha..angin aja tau kalo muka lu tuh jelek Gil, makannya lebih bagus kalo ditutupin pake kertas,” ledek Uzi puas.
Kami melihatnya sambil tertawa terbahak-bahak. Kemudian Agil mengambil kertas tersebut lalu membacanya. Sebuah pamflet,”Pembukaan bioskop baru, edisi spesial tahun baru. GRATIS..tempat terbatas. Film poconggg juga pocong, waktu : midnigth”
“Sini coba gue liat pamfletnya?” Inez merebut kertas yang sedang dibaca Agil.
“Wah mantep nih. Ini kan film yang di adaptasi dari novel fenomenal sepanjang 2011, gretongan lagi. Ayo ah kawan kesempatan enggak datang dua kali?”
“Hah yakin lo pada mau datang? Gue enggak ikut ah mendingan gue taun baruan di rumah aja. Lagian tengah malam bo, entar kalo di jalan ketemu pocong yang benerannya gimana coba? Hihhh gue sih ogah” kataku sambil bergidik ngeri.
“Ah ayo lah Ai, plis ya, ya, ya? Kan kita berempat Agil sama Uzi juga ikut ko?”
“Tapi...”
“Tenang Aila sayang, Bang Agil akan selalu disampingmu kalo kamu ketakutan,” ujar Agil mengerlingkan mata sambil nyengir kuda.
“Tuh kan Ai, si Agil yang bakal jagain lu jadi enggak usah takut” Inez malah cekikikan.
“Oke deh,” aku pun hanya menganggukkan kepala seraya mengiyakan ajakan mereka, walaupun apa yang aku katakan tak sejalan dengan hati yang masih bimbang.

****

Malam pergantian tahun baru sangat meriah, karena hingar bingar suara tiupan terompet, suara petasan jeduarrrrrrrrr jeduarrrrrrrrr, kembang api yang berwarna-warni menghiasi langit malam ini.
Pada kemana tuh makhluk-makhluk jam segini kok belum pada datang? ketika aku melilahat arloji yang melingkar di lengan kiriku waktu sudah menunjukan pukul sebelas malam. Aku memutuskan untuk duduk di teras rumah sambil menyeruput caffucino hangat.

Selang beberapa menit kemudian Agil datang dengan Vesva tuanya yang super berisik . di belakangnya diikuti Uzi membonceng Inez dengan motor kawasaki ninja hijaunya.
“Lo berdua pake minyak apaan sih ko bau menyan gini?” candaku pada dua makhluk aneh Uzi dan Agil.
“Yee sembarangan, parfum gue mahal tau, sengaja gue tadi waktu sore beli di LA” ujar Uzi sambil mengibas-ngibaskan kemeja bergaris hitamnya.
“Iya Lenteng Agung kan maksud lo?? Wuhahahaha” lagi-lagi Agil dan Uzi saling ledek-ledekan.
“Daripada lo pakenya minyak nyong-nyong?”
“Uda ah ribut mulu nih anak berdua, mana pamflet yang tadi siang? Gue liat alamatnya?” tukas Inez melerai candaan keduanya, Agil pun mengambil pamflet tersebut dari dalam tasnya
“Jln. Jendral sudirman. No 27 A,” dengan suara keras Uzi membacanya.
“Ahaa gue tau alamat ini, eh tapi tunggu dulu. Perasaan ini alamat rumah tua di pinggir jalan yang udah lama enggak berpenghuni deh?”
“Kan sekarang udah di bangun jadi bioskop yang baru kali?” seru Inez sedikit sewot.
“Eh iya ya?” ujar Uzi sambil garuk-garuk kepala.
“Si Uzi dodolnya emang susah banget disembuhinnya, hahaha” Celetuk Agil.
“Wuuuu enak aja, lo tuh yang pedenya berlebihan,” Uzi menjitak Uzi lumayan keras, sementara Agil mengaduh kesakitan. Aku dan Inez hanya menggeleng-ngelengkan kepala melihat tingkah konyol keduanya.

Kami berempat pun berangkat dari rumahku pukul setengah dua belas malam, aku di bonceng oleh Agil, sementara Innez di bonceng oleh Uzi.

***

Jalanan begitu sangat ramai, muda-mudi berpesta pora menyambut datangnya taun baru 2012, akan tetapi kenapa saat kami tiba di depan bioskop baru ini suasana tampak begitu sunyi, Tak terlihat satu orang manusiapun disana. Hanya ada beberapa motor yang terparkir rapih.

“Heh, lo yakin mau ngelanjutin ini? Ko gue merinding ya?” kataku sambil nengok kanan-kiri.
“Ah, cuma perasaan lo aja kali Ai, dasar ababil” ujar Agil menimpali.

Agil dan Uzi memarkirkan motornya, sementara aku dan Innez menunggu di depan pintu Bioskop. Hawa dingin malam menelusuk hingga ke tulang rusuk, aku bergumam dalam hati, mau nonton film horror kenapa suasananya jadi horror gini ya? Sepi...sunyi..ah mungkin para penontonnya sudah masuk studio lebih dulu jadi di luar terlihat sepi, hiburku dalam hati.

Uzi dan Inez, pergi ke tempat pembelian tiket. Terlihat dua wanita cantik, sedang berbincang. Uzi menyerahkan pamflet yang kami dapat siang tadi pada wanita berbaju kuning gading itu.
“Mba, apa pamflet ini bener ya mba? Kita mau nonton film poconggg juga pocong disini tertera gratis mba?”
“Oh ia betul..silakan mas, ini tiketnya. Masuk studio 1. Dari sini lurus terus, lewatin lobi terus belok kiri,”
“Makasih mba,” wanita cantik itu melempar senyum pada kami.

Kami berempat pun mengikuti jalan sesuai yang diarahkan wanita tadi. Tapi kok ini bioskop baru sepi banget ya?.Aura ketakutan pun mulai menjalari tubuhku. Di atas sebuah pintu tertera tulisan studio 1. Kami berempat memasuki ruangan tersebut. Mataku menyapu ke segala arah, ternyata semua kursi sudah terisi dan pemutaran perdana film poconggg juga pocong pun sudah dimulai.

“Eh nomor berapa kursinya, ko udah penuh banget ya?” tanya Uzi heran.
“Nomor F5,F6,F7,F8” jawabku sambil melihat nomor yang tertera pada tiket.
“Eh guys, udah penuh semua kursinya kayaknya kita harus balik nanya ke Mba yang tadi deh”
Kami menuruti saran Agil, sesampainya di tempat pembelian tiket...
“Ada yang bisa kami bantu mas?” tanya wanita cantik itu.
“Gini loh mba nomor kursi yang tertera pada tiket yang Mba kasih sudah terisi, semua kursi yang lain juga udah pada penuh, gimana dong?” dua wanita cantik si penjual tiket itu saling pandang, kebingungan.
“Kalian enggak lagi becanda kan? Yang pesen tiket midnight untuk studio 1 itu cuma kalian doang?”
“Te te te russs..yang tadi pada nonton si siapa dong?” tanyaku terbata-bata.
“Ha ha ha hantuuuuuuuuuuuuu...” Tebak Agil sekenanya, kemudian ia berlari sekencang-kencangnya diikuti oleh aku dan yang lainnya.

“Eh tunggu Gil lo mau kemana? Bukan kesitu jalannnya” teriak Uzi. Agil memutar badan berbalik arah. Ya Tuhan, kenapa disaat genting seperti ini pintu utama terasa jauh sekali. Kami berlari terengah-engah, sepertinya bioskop ini memang banyak hantunya. Aura angkernya pun sudah mulai terasa sejak di halaman parkir. Sungguh petualangan yang sangat menegangkan, dalam suasana mencekam kami berlarian ditengah gedung bioskop baru yang sunyi.
“Eh stop dulu dong gue pengen ke toilet,” Uzi menghentikan langkahnya seketika.
“Yah elah, tahan aja sih cuma bentaran doang? Tuh pintu utamanya” Agil menunjuk pintu utama.

Akhirnya sampai juga kami di luar gedung angker ini..
“Ih kalo tau bakal kayagini sih gue enggak bakalan mau datang ke bioskop berhantu ini, jangankan bayar dikasih gratis aja gue enggak mau ,” gerutu Inez sambil mengibaskan rambut panjangnya.
“Bukannya lo yang dari tadi siang ngotot pengen datang kesini? kata gue juga apa, dari awal juga gue udah ada firasat enggak enak?” ujarku menyalahkan Inez.
“Ko pada salah-salahan sih? Nih pegangin helm gue. Gue mau ngambil motor, kita jalan ke alun-alun aja?” Agil menyerahkan helm nya padaku.
“Sial, sial, sial gue tahun baruan di alun-alun kagak malah ketemu hantu,” ujar Agil kesal.
“Hahaha..konyol banget ya kejadian malam ini. Gara-gara si Inez nih ngebet banget nonton film poconggg juga pocong, untungnya kagak ada pocong benerannya ya..haha,” ujar Uzi sambil tertawa terpingkal.
“Husss..sembarangan lo kalo ngomong, ada beneran aja baru nyaho lo?” Agil membekap mulut Uzi.
Agil sibuk menggeserkan motor-motor lain untuk mengeluarkan motornya. Sementara Uzi sibuk menengok kanan kiri. Karena ia teringat ucapan Agil barusan tentang pocong.
Dari arah belakang,
“Zi, iketin tali pocong gue dong?”
“Ah, Gil becanda mulu lo, tali sepatu kali?...enggak lucu tau enggak?”
“Serius,” suara itu pun terasa lain bukan seperti suara Agil. Seperti suara om-om.

Tiba-tiba bulu kuduk Uzi terasa merinding, hawa dingin pun menjalari tubuhnya. Peluh dingin bercucuran. Dengan perasaan takut bercampur ingin tahu sambil komat-kamit ia memberanikan diri untuk menoleh ke belakang.
Oow ternyata yang ada di belakang Uzi itu memang pocong beneran, ia pun lari terbirit-birit sambil berteriak pocong.........pocong......pocong.........ke arahku dan yang lainnya.
“Su su sumpah, disana gue liat pocong beneran..ce ce cepet kita cabut dari sini?” ajak Uzi pada kami.
“Kata gue kan tadi apa? Jangan ngomong sembarangan, ketulah sendiri kan? Hahaha” Agil tampak puas sekali mentertawakan Uzi. Sementara aku dan Inez, antara takut dan ingin tertawa, jadi bingung mau gimana. Dari kejauhan di dekat mobil Toyota Alpharrd, Aku juga melihat pocoooooooooooong.

Seketika kami yang masih berada di halaman parkir bioskop pun langsung tancap gas. Cukup sekali dalam hidupku nonton film di bioskop tengah malam. Perasaanku campur aduk antara lucu, takut, kesal. Malam tahun baru yang seharusnya kuhabiskan dengan suka cita justru menjadi malam yang sangat menyeramkan sekaligus menegangkan dalam sepanjang sejarah hidupku. Petualangan konyol bareng Uzi, Inez, Agil enggak akan pernah terlupakan, tahun 2011 is the best deh, semoga taun depan aku masih bisa melewati malam pergantian tahun baru lagi sama tiga sahabatku ini dan pastinya, enggak di bioskop berhantu ini...hehe.