Senin, 04 Maret 2013

Tentang Ayah




Saya merupakan anak bungsu dari sembilan bersaudara, tumbuh bersama dua orang kakak laki-laki serta enam orang kakak perempuan. Dulu, ayah saya berprofesi sebagai guru di sebuah madrasah dan membuka usaha percetakan di rumah, sementara ibu saya hanyalah ibu rumah tangga biasa yang kesehariannya mengurus anak-anaknya serta membuka warung kecil-kecilan di depan rumah untuk membantu perekonomian keluarga. Namun, semenjak kakak ke tujuh saya lahir ibu memutuskan untuk berhenti berjualan. Ayah pun sudah tidak lagi mengajar di madrasah karena usianya yang sudah tidak muda lagi menuntutnya untuk pensiun, sehingga usaha percetakan menjadi tumpuan ekonomi keluarga kami. Berhubung dahulu keberadaan percetakan masih sangat minim, usaha ayah pun berkembang pesat hingga beliau mampu menyekolahkan kakak-kakak saya hingga ke berbagai daerah. Ada yang menimba ilmu  di Jakarta, Sukabumi, Tasikmalaya, Yogyakarta, bahkan hingga ke wilayah Situbondo, Jawa Timur. Tanpa pernah meminta balasan, ayah membesarkan saya beserta delapan kakak saya hingga memasuki jenjang perguruan tinggi. Mungkin jika dihitung, biaya pendidikan saya serta kakak saya sejak memasuki sekolah dasar hingga melanjutkan ke perguruan tinggi, tidak pernah sanggup untuk kami ganti karena jumlahnya yang sudah tidak terhitung lagi. Ayah, pengorbanmu memang tak pernah bersyarat dan lelaki hebat itu adalah ayah.
Ayah adalah sosok yang hebat....
Ayah adalah sosok yang tegas dan bijaksana....
Ayah selalu mengajarkan putra putrinya tumbuh dalam kesederhanaan dan kedisiplinan, terutama jika menyangkut urusan agama. Sejak memasuki bangku sekolah dasar, saya sudah diajarkan mengenai tata cara salat. Menginjak bangku kelas 3 SD, ayah sudah mewajibkan saya untuk salat tanpa boleh ada alasan apalagi bermalas-malasan. Jika sudah memasuki waktu salat beliau sibuk mengingatkan saya untuk jangan pernah meninggalkan salat. Tak ada ampun jika saya melanggar perintah beliau. Ayah memang tak pernah bermain fisik, ia selalu mengingatkan kami anak-anaknya dengan ucapan. Namun, jika apa yang beliau ucapkan tidak dihiraukan, beliau mulai berkata dengan nada ancaman dengan maksud agar kami jera. Selain mengajarkan salat sejak usia dini, ayah juga mengajarkan saya mengaji. Beliau memang tidak secara langsung mengajarkan saya, namun beliaulah yang begitu keras mendidik saya agar kelak saya pandai mengaji. Pernah suatu ketika, usai salat maghrib saya tampak asyik bermain dengan teman-teman ketika saya masih kecil. Beliau pun menyuruh saya untuk pergi mengaji ke mesjid, dengan terpaksa dan sambil menangis terisak saya berangkat mengaji dan meninggalkan teman-teman saya. Sekarang, saya merasakan manfaat yang luar biasa dari didikan ayah. Oh iya ya, kalau dulu ayah tidak mendidik saya untuk salat dan mengaji mungkin  saya tidak akan bisa apa-apa hari ini. Saya percaya, tidak ada seorangpun orangtua yang tidak menyayangi anaknya meski sekalipun dengan kemarahan caranya, karena ayah punya caranya sendiri untuk mencintai saya.
Ayah adalah sosok yang tidak pernah mengenal lelah...
Meski kini usianya sudah menginjak lebih dari setengah abad, ayah tetap tak pernah mengenal lelah mengabdikan hidupnya untuk kepentingan orang banyak. Ayah saya memang bukan seseorang yang hebat di mata orang lain. Tapi, bagi saya ayah tetap suri tauladan yang baik bagi anak-anaknya. Saat ini, ayah saya masih aktif sebagai imam besar di mesjid sekitar tempat tinggal kami, setiap minggunya ayah juga sering diminta untuk menjadi khatib pada saat salat jumat, bahkan seringkali menjadi khatib pada saat salat hari raya idul fitri . Apabila memasuki bulan ramadhan seringkali beliau juga bertindak sebagai imam salat tarawih di beberapa mesjid. Selain itu, pada saat hari raya idhul adha beliau kerap kali diminta untuk menyembelih hewan qurban. Beberapa karyanya terpampang dimana-mana. Dari mulai papan nama, batu nisan, batu peresmian hingga yang terakhir adalah kaligrafi mesjid. Saya dibuat terkagum-kagum ketika melihat tulisan kaligrafi beliau yang terpahat begitu indah di lingkaran kubah mesjid. Mungkin kepiawaian beliau menulis menurun pada saya meski kami menggeluti bidang yang berbeda. Ayah lebih mengarah pada seni tulisan sementara saya lebih menekuni bidang sastra.
Ayah adalah idola saya....
Mungkin jika ada orang yang bertanya pada saya tentang sosok idola saya itu siapa, dengan tegas saya akan menjawab sosok itu adalah ayah. Karena bagi saya tidak ada seorangpun tokoh ‘hero’ di dunia ini yang mampu menandingi kehebatan dan kegaguman saya terhadap sosok ayah. Sejak saya baru lahir, beliau yang pertama kali mengumandangkan adzan di telinga saya, saat saya belajar dengan tertatih untuk berjalan beliau yang membangunkan saya untuk kembali berdiri ketika saya terjatuh, bahkan ketika pertama kali saya menginjakkan kaki di sekolah dasar, jika kebanyakan siswa lainnya di antar oleh sang ibu, lain halnya dengan saya yang diantar oleh ayah. Itulah letak pengorbanan sang ayah yang tidak akan pernah ternilai dengan apapun yang sampai hari ini selalu terekam sempurna dalam ingatan saya.
Menginjak masa remaja, ayah mulai bersikap otoriter dengan kebebasan saya. Keseharian saya dipenuhi oleh berbagai macam aturan. Jika pulang sekolah tidak ada keperluan yang mendesak harus langsung pulang, jika pulang terlambat karena ada tugas kelompok wajib telepon ke rumah, yang paling utama adalah saya dilarang keluar malam. Jika saya melanggar aturannya, sudah pasti ketika saya pulang ke rumah akan disambut dengan amarah dan kekecewaanya.
Ketika saya duduk di bangku kelas 1 SMA, saya juga tergabung dalam intrakurikuler OSIS  selama dua priode. Semakin saya tumbuh dewasa, rasa kekhawatiran ayah terhadap saya pun semakin menjadi. Seperti halnya ketika seluruh anggota OSIS diwajibkan untuk mengikuti LDKS (Latihan Dasar Kepemimpinan Siswa) selama satu hari satu malam di sekolah. Beliau tidak mengizinkan saya untuk ikut dengan alasan khawatir jika acara tersebut disalahgunakan untuk hura-hura semata dan ayah berkilah, jika memang acara itu benar-benar penting apa tidak bisa dilaksanakan pada siang hari tanpa harus menginap di sekolah? Hingga akhirnya orang-orang penting di dalam jajaran OSIS dari mulai Ketua, Wakil, Sekertaris, Bendahara datang ke rumah saya hanya untuk memintakan izin, namun sayang beliau tetap bersikukuh berkata tidak. Walaupun teman-teman semua sudah menuturkan rangkaian acara sampai mulut berbusa pun jika beliau sudah berkata A tidak akan pernah bisa berubah menjadi B, C bahkan D. Saya hanya bisa pasrah dengan keputusan beliau tanpa pernah bisa merubahnya. Saat itu, seringkali saya menggerutu dalam hati karena sikap ayah yang selalu khawatir berlebihan terhadap saya. Padahal, apa yang dilakukan ayah terhadap saya, tanpa saya sadari adalah bentuk kasih sayang yang luar biasa yang tidak semua anak mendapatkannya. Melihat kondisi zaman yang semakin berkembang ke arah modern, banyak anak remaja yang terjerumus ke dalam pergaulan bebas, mungkin ayah khawatir jika saya terjerumus ke dalam kehidupan remaja masa kini. Ayah...Maafkan saya yang tidak peka atas rasa cinta dan kasih sayang ayah terhadap saya.
Saat-saat terakhir ketika saya akan menyelesaikan pendidikan saya di SMA, saya pun disibukkan dengan pencarian memilih perguruan tinggi negeri dengan harapan dapat mengikuti jejak kakak saya terdahulu. Dari mulai mengikuti Ujian Mandiri, PMDK, Beasiswa, hingga yang terakhir saya mengikuti SNMPTN di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Namun dari semua seleksi yang saya ikuti, saya dinyatakan gagal. Bodohnya, ketika tes SNMPTN saya tidak pernah berani mencoba hanya karena takut gagal, karena pada saat itu kegemaran saya terhadap dunia tulis menulis telah memikat hati saya untuk memperdalam bisang Sastra Indonesia. Namun,  jurusan saya ketika SMA adalah IPA sementara Sastra Indonesia berada di prodi jurusan IPS otomatis saya harus mengambil paket soal IPC (kolaborasi antara IPA dan IPS)  jika ingin lulus di jurusan Sastra Indonesia, dan sayangnya saya tidak mau ambil pusing untuk memperdalam IPC. Berhubung saya tidak banyak mengetahui pelajaran IPS, saya pun ‘cari aman’ sehingga akhirnya saya mengambil dua pilihan yang sama sekali tidak saya sukai yaitu Kimia dan Ilmu Gizi yang pesaingnya justru lebih berat dan lebih banyak ketimbang Sastra Indonesia.
Hingga pada saat pengumuman tiba, hari itu menjadi hari terkelam dalam sepanjang hidup saya ketika  saya harus menyampaikan kegagalan saya itu pada ayah. Tersirat rasa kecewa di wajahnya, harapannya musnah hanya karena saya yang takut kalah sebelum berperang. Hari itu saya berjanji pada diri saya sendiri kelak saya akan mengganti rasa kecewa ayah menjadi senyum bahagia.
Akhirnya saya pun memilih untuk kuliah di sebuah akademik swasta pilihan ayah dengan jurusan yang sama sekali tidak pernah saya bayangkan sebelumnya yaitu Manajemen Informatika. Awalnya saya berpikir, jika saya kuliah di jurusan Manajemen Informatika saya harus mengubur mimpi saya untuk menjadi seorang penulis. Tapi ternyata saya salah, Karena sampai detik ini saya masih memelihara asa saya untuk menjadi seorang penulis. Nasihat beliau, Mau kuliah di jurusan IT atau Sastra Indonesia kuliah dimanapun sama saja. Masalah nanti kamu mau jadi apa biar doa dan usaha yang tak pernah putus asa yang senantiasa akan mengikutinya. Saya yakin, bahwa dimanapun kita berada itulah tempat terbaik kita. Mungkin kuliah di perguruan tinggi negeri memang bukan rezeki saya.
Dari sembilan anak ayah, hanya saya yang tidak pernah kenal dengan sekolah khusus agama. Semua kakak saya pernah menimba ilmu di Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah bahkan di pondok pesantren. Sementara saya, menghabiskan masa remaja saya di SMP dan SMA Negeri. Saya hanya dapat mendengar dunia pesantren itu menyenangkan dari cerita kakak saya tanpa pernah bisa merasakannya. Mungkin karena saya anak bungsu, yang terkesan manja dan tidak bisa jauh dari orangtua membuat mereka tidak percaya jika saya bisa mengurus diri sendiri tanpa keberadaan orangtua.
Dan kini saya menyadari tentang alasan ayah dengan begitu disiplin mendidik anak-anaknya, karena rasa tanggung jawab ayah itu semacam petani yang merawat tanamannya agar tumbuh dengan baik dan membuahkan hasil yang membanggakan. Di mana kesuburan tanamannya, tidak akan terlepas dari upaya pembersihan hama dan gulma, juga tangan-tangan jahil yang ingin mencabutnya sebelum masa panen tiba.
Ayah yang telah mengajarkan saya banyak hal.
Ketika saya duduk di kelas 2 SMP, di depan rumah saya ada seorang lelaki berambut ikal meminta izin untuk berjualan koran di depan rumah saya, karena tempat sebelumnya berjualan akan dibangun sebuah warung. Jika di tempat sebelumnya dia menyewa, ayah mengizinkan lelaki itu berjualan tanpa harus membayar uang sewa. Begitu mulianya hati ayah. Seiring berjalannya waktu, tiba-tiba lelaki itu menghilang tanpa memberi alasan yang jelas. Ternyata,  lelaki tersebut mempunyai hutang yang tidak sedikit pada agen koran yang sehari-hari dijajakannya. Sementara semua koran, tabloid, majalah sebagai barang dagangannya ia titipkan di rumah saya. Hingga akhirnya, ayah berinisiatif untuk mengambil alih profesi tukang koran itu, karena kebetulan ayah juga tidak ada kesibukkan di rumah. Dengan meja kecil seadanya, setiap pagi ayah menjajakan koran-koran itu dengan senang hati meski hasilnya tidak seberapa. Ayah bilang, lumayan setiap harinya bisa baca gratis kan nambah ilmu pengetahuan juga?
Selang beberapa bulan kemudian, ayah jatuh sakit. Sehingga saya yang mengambil alih semuanya. Dari mulai mengangkat meja sendiri, merapihkan koran, majalah dan tabloid, meretur barang, hingga sore tutup dan kembali membereskannya. Alhamdulilah, hasilnya lumayan. Bisa menutupi kekurangan uang jajan saya bahkan lebih. Setelah ayah sembuh dari sakitnya, beliau menyerahkan usaha koran itu pada saya. Sejak saat itu, saya sudah tidak pernah lagi meminta uang jajan pada ayah. Kelas 2 SMP saya sudah punya usaha sendiri, yang menjadi pembuktian bahwa saya bukan anak bungsu yang manja yang selalu mengandalkan orangtua. Kios sederhana koran milik kami buka dari pagi hingga sore hari. Jika saya sekolah ayah yang menjaganya setengah hari, kemudian secara bergantian saya yang menjaganya setelah pulang sekolah.  Bahkan jika hari minggu saya yang menjaganya full seharian. Meski pada saat itu saya harus kehilangan masa remaja saya, tapi saya senang melakukannya. Disaat teman-teman mengajak bermain saya selalu menolaknya karena saya sudah mempunyai tanggung jawab yang ayah amanahkan pada saya. Tentunya, masa remaja saya menjadi tidak terbuang sia-sia. Apabila koran, majalah dan tabloid itu belum laku terjual, saya menjaganya sambil membaca. Justru saya banyak tahu tentang sesuatu yang baru dari koran yang tiap hari saya baca.
Biasanya koran-koran itu setiap paginya diantarkan ke rumah, semenjak pegawai agennya banyak yang mengunduran diri, jadi saya yang mengambilnya langsung. Berhubung saya tidak bisa mengendarai sepeda motor, saya mengambilnya dengan mengendarai sepeda. Terkadang saya malu, banyak mata yang memandang saya miring. Ko, hari gini masih zaman ya naik sepeda?. Tapi saya bangga dengan profesi saya, karena tidak banyak orang yang bisa melakukan pekerjaan seperti saya disaat usia yang kebanyakan remaja melakukan hal hura-hura semata. Hal ini saya lakukan selama 6 tahun dari mulai saya kelas 2 SMP hingga saya duduk di bangku kuliah semester 2. Kios sederhana saya terpaksa gulung tikar karena keberadaan tekhnologi saat ini yang semakin canggih, informasi apapun sudah tersedia dalam internet. Jika saat zaman sekolah dulu saya selalu mengerjakan tugas makalah dari koran, sekarang para siswa lebih banyak yang mencarinya lewat internet karena terkesan lebih mudah. Tidak perlu repot repot membaca, hanya tinggal masuk aplikasi Google semua pembahasan yang ingin kita cari sudah tersedia.
Semua pelajaran ini saya dapatkan dari ayah. Bahkan saya yang dulunya hanya seorang pembaca, kini saya adalah seorang penulis. Padahal sebelumnya saya hanya sebatas bermimpi tulisan saya bisa dibaca oleh orang banyak. Tapi kesabaran itu kini berbuah manis, dan yang tak kalah membuat saya senang adalah ketika saya menyerahkan koran harian yang didalamnya terdapat cerpen saya pada ayah. Beliau tersenyum bangga sambil menatap saya lekat.
Ayah...terimakasih atas banyak pelajaran hidup yang kau berikan, untuk seterusnya saya berjanji akan membuat senyuman itu terkembang lebih indah lagi di wajah ayah.





Selasa, 29 Januari 2013

Teman Lama


Saat jam makan siang di sebuah restoran sunda, Sisil dan Erin tampak asik menceritakan kembali masa kecil yang pernah mereka lalui. Mereka berdua berteman sejak kecil, kebetulan kantor di mana mereka bekerja berdekatan sehingga keduanya memutuskan untuk makan siang bersama.
“Kemarin aku liat Fahmi keren banget loh Rin, udah kaya eksekutif muda gitu,” ujar Sisil usai menyeruput jus alpukatnya.
“Sebentar, Fahmi yang mana sih?” Tanya Erin mencoba mengingat.
“Itu loh Rin, temen SD kita yang dulu sering jadi objek penderitaan di kelas si Fahmi yang dulu cupu itu? Masa kamu lupa sih?”
“Inget sih ada temen SD yang namanya Fahmi tapi lupa banget mukanya yang mana, haha”
“Woo Dasar. Kalo ketemu kamu juga bakalan pangling liatnya hehe,” Keduanya tampak larut dalam gelak tawa.
***
Keesokannya ketika mematung menunggu angkutan umum sepulang kerja, tiba-tiba ada yang menepuk bahu Erin dari belakang.
“Hey, kamu Erin yang dulu sekolah di SD Taman Siswa ya?” tanya seorang lelaki yang mengenakan kemeja hitam dan celana jins biru.
“Iya…sebentar perasaan muka kamu familiar deh?” erin mencoba mengingat.
“Kamu tuh yang dulu pernah ketiban atap sekolah kan?” sepertinya lelaki tersebut tahu banyak tentang masa kecil Erin.
“Hahaha iya. Waktu lagi kela s 4 SD,” Jawab Erin sedikit malu.
“Kamu cowok yang pernah nyungsep ke keranjang sampah waktu maen gerobak sodor itu kan?” tebak Erin sok tahu.
“Hahaha iya juga. Jadi kangen masa kecil ya? Ngomong-ngomong sekarang kamu cantik ya waktu SD sih masih cupu banget rambutnya dikuncir dua dikasih poni sekarang udah kaya syahrini hehe”
“Kamu juga keren ya sekarang, tampilan rambutnya udah kaya Cristian Sugiono gak belah dua lagi hehe,” keduanya saling mengenang kejadian lucu masing-masing. Sampai akhirnya setelah ngobrol ngalor ngidul bis pun datang. Keduanya pun berpisah karena naik bis yang berbeda.
Ketika dalam bis Erin sudah mendapat tempat duduk, “Oh iya cowok tadi namanya siapa ya? Lupa banget enggak nanya namanya,” Gubrak!!! Setelah ngobrol panjang lebar ia tak tahu siapa nama lelaki yang banyak tahu tentang masa kecilnya.

“Aih aku baru inget kalo Fahmi cowok yang kemaren diceritain sisil , ah teman lama…Kalau ingat namanya lupa wajahnya, kalo ingat wajahnya lupa namanya”

Senin, 28 Januari 2013

Tren Memakai Jilbab


“Semakin ke sini tren pakai jilbab kok tambah aneh aja ya, Kak?” 
 tanya Aneu dengan raut wajah bingung.
“Maksudnya aneh gimana, sayang?” Hilda pun balik bertanya.
“Coba aja Kakak lihat, yang semula pake peniti di leher sekarang malah
 pada pake penitinya di kepala?”
“Hehe iya juga ya, Dek…” Hilda tertawa menanggapi celotehan adiknya
 yang masih duduk di bangku kelas 3 SD.
“Terus udah gitu pakenya berbelit-belit lagi, ditarik ke sana ditarik ke sini. 
 Aneu aja pusing ngeliatnya, Kak. Kakak kok pakai jilbabnya masih
 biasa aja enggak di apa-apain, kan biar gaul Kak?” tanyanya polos.
“Hmm Kakak suka yang sederhana aja Dek,
 tau enggak kesederhanaan itu indah loh.” Jawab Hilda sembari tersenyum.
“Maksudnya apa, Kak?”
“Allah itu memang menyukai keindahan, tapi Allah tidak menyukai 
sesuatu yang berlebihan. Lagi pula, Ibu kan selalu mengajarkan kita
 tentang kesederhanaan, bukan begitu? Hayo diingat-ingat lagi nasihat Ibu?”
 Hilda pun menasihati adik kecilnya. Aneu tersenyum malu.
“Ayo sana berangkat mengaji, tuh Pak Ustadnya sudah datang.
 Sini Kak Hilda pakaikan jilbabnya,” seru Hilda.

Setiap habis Ashar memang adalah waktunya Aneu mengaji di masjid.
Hilda pun hendak memakaikan jilbab berwarna biru muda, yang tak lain 
merupakan warna kesukaan Aneu.
“Eits sebentar dulu Kak, awas pakein penitinya di leher 
bukan di kepala. Nanti Kak Hilda lupa lagi. Hehe.”
“Kan kata kamu tadi biar gaul?” goda Hilda.
“Gaul sih gaul, tapi ribet Kak. Nanti kalo habis wudhu mau solat maghrib,
 Aneu ga bisa pakainya lagi gimana kak? Hehe.”
“Adik kakak yang satu ini memang pintar,” Hilda mencubit kedua pipi Aneu gemas.
Tak lama kemudian Aneu pun berangkat mengaji ke masjid dan
 terlihat tampak cantik dengan balutan jilbabnya yang kebesaran.

Kesimpulan : Jangan pernah takut dibilang ketinggalan zaman, 

selama kita merasa nyaman dengan apa yang kita kenakan,
karena jadi diri sendiri itu jauh lebih menyenangkan.

-Aini Nur Latifah-