Jumat, 28 Desember 2012

Putee


Terlahir sebagai bungsu dari sembilan bersaudara membuat saya begitu merindukan sosok adik. Ya, itulah yang saya rasakan, karena tidak selamanya jadi anak bungsu itu menyenangkan. Hampir semua kakak saya sudah berkeluarga sehingga membuat saya sering merasa sepi karena hubungan antara kakak-beradik itu sedikit berjarak. Terkadang saya juga butuh seseorang untuk berbagi baik dalam keadaan suka maupun duka. Sehingga saya mengalihkan perhatian saya untuk berselancar di dunia Maya.

Sejak lulus dari SMA, hobi menulis yang bertahun-tahun tenggelam seakan muncul kembali ke permukaan. Ternyata tanpa saya duga sebelumnya banyak sekali event menulis yang diadakan melalui jejaring sosial facebook. Tahun lalu, saya mengikuti lomba menulis cerpen dengan tema “Abg labil”. Satu bulan kemudian, tiba saatnya pengumuman nominasi yang naskahnya berhak untuk diterbitkan bersama 25 orang penulis lain. Saat itu, begitu beruntungnya saya menjadi salah satu penulis yang naskahnya dapat diterbitkan. Dari situlah saya mengenal sosok gadis berusia 16 tahun bernama lengkap Putri Eka Pertiwi. Kebetulan Putee, begitulah sapaan akrabnya juga menjadi salah satu penulis yang cerpennya lolos untuk diterbitkan.

Entah kenapa, ketika admin membuatkan group di facebok yang bertujuan agar para penulis dapat lebih mengenal satu sama lain saya merasa klik dengan salah satu nama penulis. Ya, Putee. Sekalipun kami tidak berteman namanya seringkali muncul di grup kepenulisan. Hingga akhirnya kami seringkali saling menyapa satu sama lain. 

Singkat cerita, hubungan pertemanan kami menjadi semakin dekat. Putee sudah saya anggap seperti adik kandung saya sendiri. Apa yang saya rasakan ternyata bertolak belakang dengan apa yang Putee rasakan. Putee terlahir sebagai anak pertama dari dua bersaudara. Sehingga ia begitu merindukan sosok kakak. Kami berdua sudah tak pernah lagi merasa sungkan untuk menceritakan masalah apapun baik tentang hobi kami menulis, tentang kesibukan masing-masing, bahkan hingga masalah yang sifatnya pribadi. Bahkan kami pernah duet dalam satu cerpen yang kami beri judul “Abigel”. Dari situlah kami mencoba untuk saling mengisi dan saling melengkapi, saya meridukan sosok adik dan Putee merindukan sosok kakak. Lucunya, putee tak pernah memanggil saya dengan sebutan kakak. Justru ia memanggil saya dengan sebutan Bunda, ya Bun Aini.

Putee, Bun Ai sayang banget deh sama Putee. Andai kita terlahir dari satu rahim yang sama?hehe. Mungkin kita bisa saling curhat dulu setiap sebelum tidur, belajar nulis bareng, jalan-jalan sore sambil sepedaan bareng, makan bakso pedes bareng, jalan ke toko buku bareng, terlalu banyak hal yang pengen Bun Ai lakuin bareng sama Putee :”)

Berawal dari menulis kita saling kenal. Terus terbitnya Buku Antologi Ababil yang jadi buku antologi perdana kita. Tentang cerpen Abigel kita yang berakhir mengharukan, tentang Bun Ai yang pengen punya adik dan Putee yang pengen punya kakak, tentang curhatan galau kita, tentang panggilan kita yang hampir sama peri kecil n’ si kecil, tentang putee yang suka banget sama kucing dan Bun Ai yang justru takut banget sama kucing, tentang indahnya semua perbedaan kita. Ah, andai tak ada dinding maya yang membatasi ruang gerak kita. Tapi sekalipun berbatas dinding maya, kita masih bisa bersua, kita masih bisa bertukar cerita dan bersilang doa. Semoga Tuhan segera mempertemukan kita dalam rengkuh pelukan yang nyata. Selamat ulang tahun adik kecilku, doa Bun Ai masih sama seperti tahun lalu, mengharapkan pertemuan indah itu :”) 

Jum’at, 16 November 2012

Pacar Baru Atau Teman Lama?



Ketika seorang remaja dihadapkan pada dua hal yang ia rasa penting dalam hidupnya, apa yang akan mereka pilih pacar baru atau teman lama?
Sepertinya, mempunyai pacar di kalangan remaja menjadi persoalan yang sangat penting ketimbang urusan pendidikan yang seharusnya didahulukan. Terkadang, perintah orangtua pun cendrung diabaikan serta keberadaan seorang sahabatpun dapat tersingkirkan. Ya, ironis memang.
Seperti halnya dalam suatu kisah, ada dua orang sahabat mereka sangat dekat. Sebut saja namanya, Yuna dan Dafa. Seringkali keduanya saling bertukar pikiran, mengerjakan tugas bersama, bahkan curhat tentang urusan pribadi masing-masing dari mulai masalah keluarga, sekolah entah masih banyak lagi keduanya saling bertukar cerita. Hampir separuh harinya dihabiskan bersama. Lima tahun sudah keduanya saling mengenal sejak mereka duduk di bangku SMP hingga kini kembali dipertemukan di sekolah yang sama dibangku SMA. 
Seiring waktu berjalan, Dafa menyukai teman satu organisasinya di sekolah bernama Kia. Hingga tak lama kemudian bak gayung bersambut Dafa dan Kia memutuskan untuk menjadi sepasang kekasih. Semenjak Dafa dan Kia pacaran, yang biasanya Dafa pergi dan pulang sekolah bersama Yuna, kini berganti dengan Kia. Ketika Yuna mengajak Dafa untuk sekedar mengerjakan tugas bersama pun Dafa seringkali menolak karena alasan akan pergi bersama Kia. Semuanya berubah seakan seperti kilat yang begitu cepat. Setiap kali bertemu pun Dafa terkesan dingin, acuh. Tidak ramah seperti Dafa yang bertahun-tahun lalu dikenalnya. Yuna merasa persahabatannya dengan Dafa seolah berjarak semenjak kehadiran Kia. Persahabatan yang sudah ia bangun bersama Dafa seakan pupus sudah hanya karena orang baru yang Dafa kenal.
Sebagai seorang sahabat, Yuna sering menyapa setiap kali ia berpapasan dengan Dafa dan Kia. Sehingga membuat Kia merasa cemburu dengan sikap Yuna. Lalu, Kia meminta Dafa untuk menjauhi Yuna. Bodohnya, Dafa menurut saja untuk menjauhi Yuna atas nama cinta apapun akan dilakukannya demi membuat pasangannya bahagia. 
Yuna merasa senang jika Dafa senang, namun yang ia sayangkan perubahan sikap Dafa yang begitu cepat. Lebih cepat ketimbang laju kendaraan yang saat itu sedang berlalu lalang di hadapannya. Yuna ingat betul, ketika ia dan Dafa masih duduk di bangku kelas 3 SMP. Sambil menggenggam erat jemarinya, bersenda gurau di jalanan yang tampak lengang Dafa berkata kita itu sahabat, satu jiwa dalam dua raga. Rupanya itu dulu, sekarang tidak. Sekarang dan dulu itu sudah nampak berbeda.
Jika ada yang baru yang lama dilupakan. Seringkali kalimat itu diucapkan oleh banyak orang dalam berbagai persoalan. Pacar bisa menjadi mantan, tapi istilah mantan tidak pernah berlaku untuk seorang teman. Tak ada istilah mantan teman, apalagi mantan sahabat. Sekalipun tali persahabatan yang sudah terjalin cukup lama itupun terputus tanpa kita duga. Seperti apapun sikapnya terhadap kita, tak ada alasan bagi kita untuk membencinya, karena setidaknya kita pernah membingkai pelangi bersama.
Yang harus kita ingat sebagai pelajaran, pacar itu bukan Tuhan yang berhak mengatur hidup kita untuk mematuhi semua perintahnya dan menjauhi semua larangannya. Cinta macam apa yang mengekang kebebasan? Apalagi kebebasan dalam memilih teman. Jika dihadapkan pada persoalan memilih pacar baru atau teman lama? Jawabannya tergantung pada bagaimana kita menyikapinya. 

Aini Nur Latifah, 26 November 2012

Selasa, 18 September 2012

Jodoh





Andai kau tahu...
Aku mengharapkanmu menjadi teman hidupku 
namun aku tak punya kuasa untuk menjaminnya. Karena,
bukan aku yang menulis di lauh mafuz sana. tapi DIA.

DIA ,Allah yang menjadikan dirimu dan diriku, di tanganNya itu sudah tertulis takdir kita yang kita tidak ketahui.
 
Jodoh itu seperti rezeki.
Dan aku amat berharap dirimulah yang akan menjadi rezeki terindah dari Allah buatku..
namun aku insan yang tiada daya dan upaya melainkan kekuatan yang segalanya datang dariNya

Aku mohon Ya Allah,
kuatkanlah imanku dan imannya..
jika dia benar untukku, 
maka dekatkanlah hatiku dengan hatinya di jalan Mu,
jika dia bukan untukku,
damaikanlah hatiku dengan ketentuan Mu


Tidak perlu dicari apa yang sudah seharusnya menjadi milikmu, yang pasti menjadi milikmu itu akan tetap untukmu, cepat atau lambat hanya masalah waktu. Sebaliknya apa yang bukan milikmu itu, walau kau kejar, semakin jauh. cepat atau lambat, membuat dirimu semakin jenuh.
Yakinlah pada firman-Nya,
“Perempuan - perempuan yang keji untuk laki - laki yang keji dan laki - laki yang keji untuk perempuan - perempuan yang keji, perempuan - perempuan yang baik untuk laki - laki yang baik dan laki - laki yang baik untuk perempuan yang baik.”QS [24:26]




 

Kamis, 13 September 2012

Jangan Hanya Melihat Ke Atas

Tidak baik jika kita menutup-nutupi
kelemahan dan kegagalan dengan
banyak alasan. Terimalah, dan hadapilah

kegagalan itu sebagai pengalaman dan
pelajaran berharga, agar bisa jadi
pedoman dan tuntunan untuk mencapai
kemajuan dan keberhasilan yang lebih
berarti di kemudian hari.
Dear Aini,

Kita tahu bahwa dunia ini selalu
berputar. Adakalanya manusia ada di
bawah, atau sebaliknya ada di atas.
Ada orang bertanya kepada saya,
bagaimana dengan kenyataan yang
sering kita lihat begitu banyak
orang-orang yang selalu di bawah?

Bukankah mereka juga tinggal di bumi
yang sama dengan orang-orang yang
mampu dan kuat berada di atas? Sering
kita lihat orang-orang yang sudah di
atas malah semakin ke atas.
Temanku, pandangan itu semua
hanyalah ironi. Kita tidak pernah
tahu apa yang terjadi pada mereka
yang sudah ada di atas. Kebanyakan
di antara kita melihat mereka yang di atas
selalu dari 'materi' atau jabatan.
Namun percayalah, setiap orang
mengalami pasang surut.
Belajarlah dari orang-orang yang
sudah ada di atas, dan orang-orang
yang berada di bawah. Jangan hanya
melihat ke atas.
Banyak pelajaran yang bisa diambil
dari keduanya, yang bisa engkau
jadikan bekal tuk menjadi pribadi
yang luhur bijaksana, sukses lahir
dan batin.

Pepatah mengatakan:

"Kebesaran seseorang tidak terlihat
ketika dia berdiri dan memberi
perintah. Kebesaran seseorang akan
terlihat ketika dia berdiri sama
tinggi dengan orang lain, dan
membantu orang lain untuk
mengeluarkan yang terbaik dari diri
mereka untuk mencapai sukses" - Prof.
G. Arthur Keough

Janganlah suka cari alasan untuk

menutupi kegagalan. Sebaliknya,
carilah terus 'cara' untuk menggapai
keberhasilan.

Salam hangat dari sahabatmu,
~ Ahira

Senin, 03 September 2012

Aini, ambisi dan mimpimu adalah samudra !

Aku peringatkan kalian terhadap kata
'nanti', karena kata ini telah banyak
menjebak para pelaku untuk terhalang
dari kebaikan dan menunda-nunda
proses perbaikan diri" - Ulama
Dear Aini, temanku yang tegar
dan berani...
Kita tidak akan pernah tahu apa yang
akan terjadi di masa depan jika kita
tidak memulainya sekarang dan hanya
menunggu.
Curahkanlah seluruh tenaga dan
pikiran untuk melakukan pekerjaan dan
kesempatan yang bisa dilakukan saat
ini.
Lakukanlah tugas sebaik-baiknya
selama kita memiliki waktu. Jangan
membiarkan waktu berlalu, dan
sia-sia.
Ambisi dan mimpimu adalah samudra.
Meski kadang terjadi pasang surut,
tapi takkan pernah surut airnya.
Oleh sebab itu, bersemangatlah
selalu, meski perkerjaannya sekecil
apapun. Jangan pernah menunda-nunda
apa yang bisa dilakukan hari ini.
Ingatlah, engkau insan manusia yang
luar biasa! Hindari selalu menunggu
motivasi untuk bergerak, tetapi
bergeraklah sekarang juga, dan dirimu
akan termotivasi dengan sendirinya!

Setiap insan manusia dilahirkan luar
biasa.
Kita semua sebenarnya diberi
kemampuan dan potensi yang besar dan
hebat.
Oleh sebab itu, kembangkanlah
setiap potensi yang ada semaksimal
mungkin, dan gunakan dengan tepat,
agar bermanfaat bagi sebanyak umat.

Temanmu, Ahira

Buka Bersama


Saat bulan ramadhan tiba, dari tahun ke tahunnya undangan buka puasa bersama dari mulai teman SD, SMP, SMA, OSIS, Ekskul kabaret, silih berganti berdatangan. Buka puasa bersama bukan sekedar makan-makan bersama, tapi seringkali dijadikan ajang reunian untuk melepas rindu karena bertahun-tahun tidak pernah bertemu. Beranda jejaring sosial facebook pun dipenuhi dengan foto-foto acara buka bersama di setiap harinya.

Jika teman-teman yang lain merasa antusias dengan undangan-undangan buka bersama tersebut, lain halnya dengan Runa, seorang siswi yang baru saja duduk di bangku SMA. Ia selalu saja merasa kebingungan mencari alasan untuk menolak ajakan teman-temannya. Bukan masalah tidak ingin ikut, tapi ayah Runa tidak pernah mengizinkan Runa untuk bergabung bersama teman-temannya yang lain. Mungkin, ayah Runa mempunyai alasan tersendiri mengapa puteri bungsunya tidak diperkenankan untuk datang ke acara buka bersama yang diadakan oleh teman-temannya.

Disaat hari kemenangan hanya tinggal 15 hari lagi…
“Ayah, Runa boleh ikut buka bersama sama temen-temen SMP ya, sekali… aja?” pinta Runa memohon.
“Dimana?”
“Di restoran lesehan saung sunda Yah, boleh ya buat yang pertama dan yang terakhir deh tahun ini?”
“Nanti kamu shalat maghrib dimana? Shalat tarawih enggak? Tadarusan enggak? Janji pulang jam berapa? Kalau bisa buka bersama keluarga kenapa harus mendahulukan teman? Buka bersama bareng keluarga itu lebih nikmat,” ujar ayah bijak.
“Ah Ayah ga asik, bilang aja enggak boleh” jawab Runa singkat.
“Kalau sama Allah sudah dikasih segudang kemudahan, pastaskah kita masih merasa terbelenggu?”
“Tapi Yah, kan cuma setahun sekali enggak setiap hari?”
“Kamu tahu, kenapa alasan ayah melarangmu?” Runa menggeleng cepat.

“Ayah rasa, acara buka bersama yang akan kamu jalani lebih ke hura-hura semata. Sementara jika kamu buka puasa bersama teman-temanmu, kemudian duduk manis ketawa ketiwi di sebuah restoran apa mungkin kamu akan memikirkan perasaan ibumu yang sudah bersusah payah memasakkan makanan kesukaanmu kemudian begitu saja kamu tinggalkan? Memikirkan betapa sulitnya ayah mencari uang untuk membeli beras dan lauk pauk untuk berbuka? Apa kamu juga ingat saudara-saudaramu di luar sana yang hanya berbuka dengan seteguk air putih? Mendingan uang buat buka bersamanya disedekahkan, jadi pahala kebaikan kan?”. Dalam hati Runa bicara, “kalau dipikir-pikir iya juga sih.”

“Ketika ayah hendak memasukkan motor ke dalam rumah, ayah melihat Tia teman sekolahmu baru pulang dari acara buka bersama jam 10 malam. Memang tak baik berprasangka buruk. Namun, apakah baik seorang gadis pulang malam dengan di antar laki-laki yang bukan muhrimnya? Itulah yang ayah takutkan, Runa itu masih dalam tanggung jawab Ayah. Ayah selalu berpikir jauh, nanti kamu shalat maghrib dimana, meninggalkan shalat tarawih apa tidak, pulang dengan siapa. Kamu kan tahu, ramadhan itu cuma ada setahun sekali, umur kan enggak ada yang tahu. Siapa tahu tahun depan kita enggak pernah ketemu ramadhan lagi. Coba kalau kamu ikut buka bersama, ayah yakin kamu pulang di atas jam 7 malam. Pulangnya, masih sempet tarawih? Enggak. Mau tadarusan? Capek, ngantuk, tidur. Berapa pahala kebaikan yang kamu buang sia-sia?” Runa tampak sangat serius mendengar penjelasan ayah.

“Kalau Runa enggak datang, nanti temen-temen marah Yah sama Runa?” Runa masih memaksa ayah mengizinkannya untuk tetap pergi.
“Lebih memilih kasih sayang teman atau kasih sayang Tuhan? Lebih takut kehilangan kasih sayang teman atau takut kehilangan kasih sayang Tuhan? Terserah mau pilih yang mana silahkan.” Kali ini Runa diam seribu bahasa tidak lagi protes dengan sikap ayahnya.

Tidak lama kemudian adzan maghrib pun berkumandang, tiba saatnya sudah untuk berbuka. Meski selama ini Runa menganggap ayahnya adalah sosok ayah yang otoriter, tapi kini ia sadar bahwa larangan sang ayah terhadapnya tidak lain adalah cara menunjukan kasih sayang dan bentuk tanggung jawab seorang ayah terhadap puteri bungsunya. Dan yang paling penting buka puasa bersama dimanapun dan dengan siapapun, tempat yang paling nyaman itu di rumah sendiri bersama keluarga tercinta.

Rabu, 25 Juli 2012

Kala Senja Kita Berkabut Duka



Risa terlihat tergesa-gesa mempercepat langkahnya. Sore itu…Ia hampir saja lupa, bahwa hari ini Reza akan pulang kembali ke Jakarta setelah satu tahun ia menetap di Makassar melanjutkan pendidikannya di sekolah penerbangan. Berulang kali ia menatap arloji berwarna silver yang melingkar di lengannya. Tak sabar ia begitu ingin berjumpa dengan Reza, terselip tanya dalam benaknya tentang Reza. Apa ia masih seperti Reza yang bertahun-tahun lalu dikenalnya?
Padatnya jalanan ibukota membuat ia harus sedikit bersabar ketika kemacetan menghadangnya. Dua jam terjebak kemacetan membuat Risa geram. Namun hal itu memang sudah biasa dijalaninya. Risa tiba di rumah tepat saat adzan maghrib berkumandang. Sebelum memasuki rumah, pandangannya terlebih dahulu melirik tajam ke arah rumah Reza. Terukir senyum indah di bibirnya. Ia begitu ingin menemui Reza yang ia anggap sebagai sahabat terbaiknya.
Usai makan malam, Risa langsung bergegas menuju rumah Reza yang hanya terhalang oleh 3 rumah tetangga lainnya. Ada segudang cerita yang ingin ia sampaikan dan segenap tawa yang ia suguhkan pada Reza.
“Reza…” Risa berdiri di depan pagar rumah Reza. Masih seperti dulu ketika Risa akan mengajak Reza berangkat sekolah bersama. Tiba-tiba Reza menyembul dari balik pagar.
“Dooooooooooooor” Reza menyunggingkan senyum khasnya.
“Ih…Reza, masih aja dari dulu usilnya enggak hilang. Kan kaget tahu, aku pikir hantu,” kebiasaan mereka pun masih tetap sama seperti dulu, Risa mengacak-ngacak rambut Reza, sedang Reza membalasnya dengan mencubit hidung Risa gemas.
“Enggak berubah ya? Tetep Risa yang mungil, lucu, nyenengin, ngangenin…” Risa pun menyela, “Dan…Reza yang nyebelin hehe…”
“Wooo dasar. Ayo masuk Sa?” ajak Reza.
“Disini aja yuk Za, lihat bintang sambil menikmati sejuknya angin malam…”
Mereka berdua lebih memilih duduk di atas rerumputan halaman rumah Reza, rembulan pun terasa sempurna dalam menyuguhkan kehangatan memperindah malam. Dua cangkir capucino hangat menemani celoteh mereka berdua. Risa duduk tepat di samping Reza, dengan berusaha tenang dan saling mendengarkan keduanya menceritakan pengalaman masing-masing dari semenjak Reza pergi hingga kini ia kembali. Sesekali mereka saling tertawa geli. Pohon mangga, dedaunan, ranting, batang dan bunga-bunga di pekarangan seolah ikut merasakan kehangatan persahabatan yang terjalin antara Risa dan Reza.
“Oh iya, tempat favorit kita masih ada kan Sa?”
“Ada kok Za, tapi semenjak kamu pergi aku udah enggak pernah lagi kesana”
“Besok temenin aku kesana ya Sa? Harus mau, enggak mau tahu”
Risa pun mengiyakan ajakan Reza, karena ia pun merasakan hal yang sama. Merindukan sebuah tempat yang menjadi saksi bisu persahabatannya dengan Reza.
***
Berhubung hari itu Risa tidak ada jadwal kuliah, sore ini ia akan kembali memijakkan kakinya di atas gedung kosong yang lama tak berpenghuni itu.
“Senja disanalah cerita tentang kita bermula…senja kita apa kabar ya Za? Setelah 1 tahun lebih enggak berkunjung kesana apa senja masih inget sama kita?” Reza hanya geleng-geleng kepala dan tersenyum simpul menanggapi pertanyaan Risa. Reza menuntun Risa untuk naik ke lantai teratas gedung tua, tujuan meraka hanya satu. Menghabiskan sore sambil menatap keindahan langit jingga seperti yang sering mereka lakukan dulu.
“Kamu tahu enggak Za? Semenjak kamu pergi aku mendadak jadi penulis. Biasanya kalo ada apa-apa aku cerita sama kamu, sekarang aku cuma bisa cerita sama buku ini. Aku tumpahin semua hal yang terjadi di buku ini dari mulai hal yang lucu, sedih, bahagia aku bener-bener lewatin sendiri.”
“Maafin aku ya Sa, tapi seengganya kamu bisa jadi Risa yang mandiri” seulas senyum teduh Reza yang menenangkan Risa.
“Kalau nanti kamu mau balik lagi ke Makassar, kamu bawa buku ini ya Za…kamu boleh nulis apapun di buku ini. Jadi kalau buku ini ada di kamu, kamu bisa baca ceritaku begitupun kalo buku ini berpindah lagi ke tanganku aku bisa baca cerita-cerita kamu,” Risa memberikan sebuah buku bersampul boneka danbo pada Reza, kemudian Reza pun menerimanya. Ketika ia membuka lembar pertama halaman buku itu, pandangannya tertumbuk pada satu kalimat, Kita… laksana jingga yang begitu setia pada langitnya.
“Maksud dari kata-kata ini apa Sa?”
“Hem…kamu lihat deh langit senja itu, indah kan? Langit dan rona jingga akan terlihat indah jika bersatu. Keduanya saling melengkapi untuk memancarkan keindahan kepada para penduduk bumi dan aku berharap persahabatan kita akan selalu indah memancarkan kebaikan pada sesama dan setia untuk saling menjaga. Ya…seperti jingga yang setia pada langitnya,” mata jenakanya menatap Reza.
“Hem, pinter ya kamu Sa…tumben hahaha”
“Iya lah, kamu juga banyak diajarin sama aku kan Za…hehe. Eh tapi Za, entah kenapa aku suka penasaran kenapa nama langit sore yang berwarna jingga itu namanya senja ya?”
“Kenapa namanya senja? Aku juga enggak tahu asal usulnya darimana yang jelas pertanyaan kamu itu sama halnya kenapa air yang menetes dari langit itu namanya hujan? semua itu sudah ada yang mengaturnya. Penemunya itu ya Tuhan” ujar Reza menjelaskan. Risa mencoba memahami apa yang diutarakan Reza, ada hening sesaat di antara mereka.
“Sudah, jangan suka mempertanyaan kehendak Tuhan nanti kamu dipanggil Tuhan diberi penjelasan mau?”
“Ih Eza masa ngomongnya gitu aku kan belum siap tahu, kamu duluan aja…hehe” ujar Risa menggoda.
“Ya kalau sudah waktunya giliran aku yang dipanggil Tuhan tiba aku bisa apa? Sesuatu yang mulanya ada itu pasti suatu saat nanti akan menjadi tiada seperti persahabatan kita juga Sa…”
“Ya Tapi enggak sekarang juga kan Za?” Risa terhenyak memandang ke arah langit.
“Matahari sudah mau pulang tapi kita masih disini…Ayo pulang?” Reza tampak mengalihkan pembicaraan.
“ Tapi aku masih mau disini Za?” meski Risa bersikukuh tidak mau pulang, Reza mengamit lengannya. Dengan berat hati Risa pun berdiri beranjak dari duduknya, mengikuti langkah Reza yang seirama dengannya.
13426167431010528984 

Dua minggu menghabiskan waktu liburan di kota kelahirannya terasa begitu singkat bagi Reza. Sore ini, ia harus kembali ke Makassar menjalani rutinitasnya sebagai pelajar sekolah tinggi penerbangan. Untuk kedua kalinya juga ia harus meninggalkan Risa. Masih di tempat yang sama, di atas gedung tua beratapkan langit senja.
“Kamu kenapa enggak kuliah disini aja sih Za? jadi kan kita masih bisa sama-sama.” Risa mendekap tas ransel milik Reza. Belum sempat Reza menjawab Risa kembali bicara.
“Kalau malem-malem ada pesawat lewat aku suka ngintip di jendela. Berharap di dalemnya itu kamu dan pesawat itu landing di lapangan samping rumahku, supaya setiap malem kita bisa cerita-cerita, makan martabak kesukaan kita terus ngerjain tugas bareng kaya dulu”
“Hem, aku janji tiga bulan setelah hari ini tepat tanggal 12 Juli aku pulang lagi deh. Ok mungil?” Risa tampak sumringah. Akhirnya Reza pergi dengan perasaan lega tanpa terbebani oleh Risa.
***
Tiga bulan yang selalu Risa tunggu begitu terasa cepat berlalu. Hari ini, Risa tampak girang berharap Reza dapat menepati janjinya untuk pulang. Jadwal kuliah Risa pun cukup padat karena ada kuliah tambahan di kampusnya sehingga membuatnya harus pulang sore. Dalam perjalanan pulang ke rumah, hampir saja motor yang dikendarai Risa menabrak seorang pejalan kaki, namun ia masih mampu menyeimbangkan laju sepeda motornya.
Sesampainya di depan gerbang rumah, pandangannya langsung tertumpu pada rumah Reza. Terlihat beberapa orang berlalu lalang disana, tidak seperti biasanya. Yang lebih membuat Risa tampak kaget, ada bendera kuning menghiasi pagar rumah Reza. Secepat mungkin ia bergegas masuk ke dalam rumah memanggil-manggil ibunya.
“Ibu…Ibu…di rumah Reza kok ada bendera kuning, siapa yang meninggal Bu? Papanya Reza ya?” ibu diam tak menggubris pertanyaan Risa bibirnya seakan sulit sekali untuk bicara menceritakan semuanya pada Risa.
“Ih ibu kok diem sih? Coba biar Risa telepon Reza, jahat banget Reza enggak kasih tahu Risa.” Risa mencari-cari ponsel dalam tasnya. Setelah lama tak ada jawaban Risa pun diam sejenak memalingkan pandangannya pada Ibu.
“Ibu, jawab Risa di rumah Reza siapa yang meninggal?” matanya mulai berkaca-kaca. Ibu tak mampu berkata apa-apa hanya buliran air mata yang menghiasi wajahnya. Risa menjatuhkan tasnya ke lantai, kemudian berlari dengan gontai mencoba menepis pikiran buruk yang ada di benaknya. Harapnya, Reza baik-baik saja.
Di bawah naungan tenda puluhan kursi berjejer rapi, terlihat beberapa orang mengenakan seragam pilot seperti yang pernah ia lihat di sebuah foto dalam ponsel Reza. Prasangka buruk mengenai Reza pun semakin kuat merajai pikirannya. Risa mematung di bibir pintu, ditatapnya semua orang yang berada disamping jenazah satu persatu. Pak Anwar, Ibu Tia, Dira adik perempuan Reza satu-satunya mereka tampak baik-baik saja. Lalu, dimana Reza? Kenapa hanya ia yang tidak berada disana? Jenazah yang sedang ditangisi puluhan orang dalam ruangan itu siapa? Reza? Batin Risa menerka-nerka.
“Bunda…,” Risa memanggil ibunda Reza, puluhan pasang mata tertuju padanya. Ibunda Reza menghampiri Risa. Saking paniknya, beliau lupa memberitahu Risa tentang kecelakaan pesawat yang menimpa buah hatinya.
“Reza mana Bun? Kok Risa telepon enggak di angkat? Hari ini Reza janji sama Risa mau pulang, Reza bilang Reza mau lihat senja bareng Risa di atas gedung tua?” suaranya gemetar. Ibu Tia memeluk Risa erat, Ibu Tia memandangi wajah Risa sejenak. Dipegangnya kedua pipi Risa dengan lembut.
134261681879919672

“Reza…” Ibu Tia menggantung pembicaraannya, lidahnya begitu kelu wajahnya sendu menahan haru.
“Reza mengalami kecelakaan ketika mengikuti latihan penerbangan. Ia meninggal dunia di tempat peristiwa. Dan jenazah yang kini ada dihadapan kita adalah Reza, sahabatmu Risa” Ibu Tia kembali mendekap Risa erat, menangis di bahu Risa. Buliran air bening itu terasa menghangat di wajah Risa. Ia mendekat ke arah jenazah Reza, matanya membelalak tak percaya ketika kain penutup wajah berwarna putih itu dibuka. Jenazah yang berada dihadapannya adalah benar-benar Reza, sosok sahabat setia yang selama bertahun-tahun menemaninya. Ada sesak yang menyelimuti hatinya karena Reza kini sudah tidak lagi bernyawa. Senyum teduh miliknya, nasihat-nasihat bijaksana yang selalu dilontarkannya, sifat jenakanya, Jangan suka mempertanyakan kehendak Tuhan nanti kamu dipanggil Tuhan diberi penjelasan mau?, Sesuatu yang mulanya ada itu pasti suatu hari akan tiada termasuk persahabatan kita, suara-suara itu seakan terngiang-ngiang di telinganya. Semua kenangan yang pernah dirajut bersamanya silih berganti berputar dibenaknya.
Semua mata memandang Risa iba, tak henti-hentinya ia menangis disamping jenazah Reza. Tepat jam 5 sore ini jenazah Reza akan dikebumikan, tentunya lebih cepat lebih baik. Sebelum jenazah Reza dimasukan kedalam keranda, semua keluarga diberi kesempatan untuk menciumnya untuk yang terakhir kalinya. Kini, tiba saatnya giliran Risa berkali-kali ia menyeka bulir air mata diwajahnya. Risa mencium kening Reza begitu lama, sebuah ciuman perpisahan terpautkan doa. Sambil berbisik pelan ditelinganya, “Senja disana akan jauh lebih indah dari senja yang sering kita lihat disini Za”
Dengan dipapah Dira adik perempuan Reza, manik-manik basah itu seakan melaju lebih deras dari sebelumnya di pipi Risa saat raungan suara sirine ambulance serta iring-iringan jenazah akan mengantarkan Reza ke tempat peristirahatannya yang terakhir tepat ketika jingga begitu merona, keharmonian alam yang sangat disukai Reza.
Usai mengikuti proses pemakaman,
“Risa…ini milikmu?” tanya Ibu Tia. Risa tertegun memandangi buku bersampul boneka danbo yang sempat ia berikan pada Reza tepat 3 bulan yang lalu.
“Ia Bunda, itu punya Risa” jawab Risa dengan suara yang lemah. Diberikannya buku itu pada Risa. Sampulnya sudah tampak lusuh, mungkin tertindih puing-puing pesawat namun tulisan-tulisan yang ada didalamnya masih sangat jelas untuk dibaca. Halaman demi halaman dibacanya, semua cerita tertata begitu rapih dengan goresan tulisan tangan Reza. Hingga ia sampai pada halaman terakhir. Sebuah puisi yang ia beri judul Kala Senja Kita Berkabut Duka
Aksara dan coretan dalam bait-bait kata ini, ku bingkiskan sebagai kenangan terakhir dariku untukmu…
Mungkin suatu masa nanti
Senja tak dapat kulihat lagi melukis wajahmu dalam indahnya jingga di suatu sore ku
Mungkin pula tak pernah ku tahu kemana awan berarak membisu
Kala senjaku berkabut rindu,
Ketika jarum gerimis menghias ruang jemari waktu,
Menjemput malam menuju peraduan
Memeluk bayang dalam erat impian
Tak akan pernah aku lupa, kala erat jemari menemani resah rindu di hati kita
Di kala senda gurau menghiasi jalinan kisah yang terpaut mesra
Tentangku yang berjalan dalam kisah hidupmu
Tentangmu penoreh cerita terindah dalam hidupku…
Jika nanti kau merindukanku
Ingatlah aku dalam kenangan lalu
Karena mungkin saat itu aku telah jauh disana dan telah berlalu
Dalam kisah yang pernah kita ukir dulu
Ketahuilah, kau kan tetap menjadi sahabat terindah dalam hatiku,
Karena kau adalah mimpi yang selama ini menguatkanku,
Kau sahabat terindah yang takkan kubiarkan waktu menghapusmu
Jika esok aku telah tiada
Mungkin pula aku telah hilang di rimba asa
Atau mungkin senja menenggelamkan raut rupa
Ku harap kau tegar melangkah dalam setiap lembar kisah yang akan tercipta..
Untukmu sahabat terindahku,
Ingatlah…Bahwa aku takkan pernah sedetikpun meninggalkanmu
Sadarilah…Hanya sebatas ragaku ini yang melambaikan salam perpisahan
Namun hati ini takkan pernah beranjak pergi dari sisimu
Persahabatan…Kerinduan…Kenangan…
Terukir indah dalam sebuah bingkai kehidupan..
Jika aku boleh meminta pada Tuhan,
Aku tak pernah ingin ada perpisahan…
Aku tak pernah ingin ada kehilangan…
Aku tak pernah ingin ada kematian…
Ketahuilah…Bukan karna aku ingin melepasmu,
Namun jemari takdir terlalu erat menahan khilaf jiwa yang tak pernah aku minta…

Reza,
Di penghujung malam, 11 Juli 2011
Risa tertegun. Puisi tersebut Reza tulis kemarin malam, yang menjadi sebuah isyarat kepergiannya. Reza memang kembali tepat pada tanggal 12 Juli, namun dengan jasad yang sudah tidak bernyawa lagi. Janji itu ia tuntaskan dengan cara yang tak pernah Risa bayangkan. Namun begitu, Reza akan selalu hidup dalam remah-remah kenangan bersama segudang cerita yang pernah mereka rangkai bersama.
Sambil mendongak ke langit senja, Risa berucap lirih. Kita…laksana jingga yang setia pada langitnya.