Jumat, 28 Desember 2012

Putee


Terlahir sebagai bungsu dari sembilan bersaudara membuat saya begitu merindukan sosok adik. Ya, itulah yang saya rasakan, karena tidak selamanya jadi anak bungsu itu menyenangkan. Hampir semua kakak saya sudah berkeluarga sehingga membuat saya sering merasa sepi karena hubungan antara kakak-beradik itu sedikit berjarak. Terkadang saya juga butuh seseorang untuk berbagi baik dalam keadaan suka maupun duka. Sehingga saya mengalihkan perhatian saya untuk berselancar di dunia Maya.

Sejak lulus dari SMA, hobi menulis yang bertahun-tahun tenggelam seakan muncul kembali ke permukaan. Ternyata tanpa saya duga sebelumnya banyak sekali event menulis yang diadakan melalui jejaring sosial facebook. Tahun lalu, saya mengikuti lomba menulis cerpen dengan tema “Abg labil”. Satu bulan kemudian, tiba saatnya pengumuman nominasi yang naskahnya berhak untuk diterbitkan bersama 25 orang penulis lain. Saat itu, begitu beruntungnya saya menjadi salah satu penulis yang naskahnya dapat diterbitkan. Dari situlah saya mengenal sosok gadis berusia 16 tahun bernama lengkap Putri Eka Pertiwi. Kebetulan Putee, begitulah sapaan akrabnya juga menjadi salah satu penulis yang cerpennya lolos untuk diterbitkan.

Entah kenapa, ketika admin membuatkan group di facebok yang bertujuan agar para penulis dapat lebih mengenal satu sama lain saya merasa klik dengan salah satu nama penulis. Ya, Putee. Sekalipun kami tidak berteman namanya seringkali muncul di grup kepenulisan. Hingga akhirnya kami seringkali saling menyapa satu sama lain. 

Singkat cerita, hubungan pertemanan kami menjadi semakin dekat. Putee sudah saya anggap seperti adik kandung saya sendiri. Apa yang saya rasakan ternyata bertolak belakang dengan apa yang Putee rasakan. Putee terlahir sebagai anak pertama dari dua bersaudara. Sehingga ia begitu merindukan sosok kakak. Kami berdua sudah tak pernah lagi merasa sungkan untuk menceritakan masalah apapun baik tentang hobi kami menulis, tentang kesibukan masing-masing, bahkan hingga masalah yang sifatnya pribadi. Bahkan kami pernah duet dalam satu cerpen yang kami beri judul “Abigel”. Dari situlah kami mencoba untuk saling mengisi dan saling melengkapi, saya meridukan sosok adik dan Putee merindukan sosok kakak. Lucunya, putee tak pernah memanggil saya dengan sebutan kakak. Justru ia memanggil saya dengan sebutan Bunda, ya Bun Aini.

Putee, Bun Ai sayang banget deh sama Putee. Andai kita terlahir dari satu rahim yang sama?hehe. Mungkin kita bisa saling curhat dulu setiap sebelum tidur, belajar nulis bareng, jalan-jalan sore sambil sepedaan bareng, makan bakso pedes bareng, jalan ke toko buku bareng, terlalu banyak hal yang pengen Bun Ai lakuin bareng sama Putee :”)

Berawal dari menulis kita saling kenal. Terus terbitnya Buku Antologi Ababil yang jadi buku antologi perdana kita. Tentang cerpen Abigel kita yang berakhir mengharukan, tentang Bun Ai yang pengen punya adik dan Putee yang pengen punya kakak, tentang curhatan galau kita, tentang panggilan kita yang hampir sama peri kecil n’ si kecil, tentang putee yang suka banget sama kucing dan Bun Ai yang justru takut banget sama kucing, tentang indahnya semua perbedaan kita. Ah, andai tak ada dinding maya yang membatasi ruang gerak kita. Tapi sekalipun berbatas dinding maya, kita masih bisa bersua, kita masih bisa bertukar cerita dan bersilang doa. Semoga Tuhan segera mempertemukan kita dalam rengkuh pelukan yang nyata. Selamat ulang tahun adik kecilku, doa Bun Ai masih sama seperti tahun lalu, mengharapkan pertemuan indah itu :”) 

Jum’at, 16 November 2012

Pacar Baru Atau Teman Lama?



Ketika seorang remaja dihadapkan pada dua hal yang ia rasa penting dalam hidupnya, apa yang akan mereka pilih pacar baru atau teman lama?
Sepertinya, mempunyai pacar di kalangan remaja menjadi persoalan yang sangat penting ketimbang urusan pendidikan yang seharusnya didahulukan. Terkadang, perintah orangtua pun cendrung diabaikan serta keberadaan seorang sahabatpun dapat tersingkirkan. Ya, ironis memang.
Seperti halnya dalam suatu kisah, ada dua orang sahabat mereka sangat dekat. Sebut saja namanya, Yuna dan Dafa. Seringkali keduanya saling bertukar pikiran, mengerjakan tugas bersama, bahkan curhat tentang urusan pribadi masing-masing dari mulai masalah keluarga, sekolah entah masih banyak lagi keduanya saling bertukar cerita. Hampir separuh harinya dihabiskan bersama. Lima tahun sudah keduanya saling mengenal sejak mereka duduk di bangku SMP hingga kini kembali dipertemukan di sekolah yang sama dibangku SMA. 
Seiring waktu berjalan, Dafa menyukai teman satu organisasinya di sekolah bernama Kia. Hingga tak lama kemudian bak gayung bersambut Dafa dan Kia memutuskan untuk menjadi sepasang kekasih. Semenjak Dafa dan Kia pacaran, yang biasanya Dafa pergi dan pulang sekolah bersama Yuna, kini berganti dengan Kia. Ketika Yuna mengajak Dafa untuk sekedar mengerjakan tugas bersama pun Dafa seringkali menolak karena alasan akan pergi bersama Kia. Semuanya berubah seakan seperti kilat yang begitu cepat. Setiap kali bertemu pun Dafa terkesan dingin, acuh. Tidak ramah seperti Dafa yang bertahun-tahun lalu dikenalnya. Yuna merasa persahabatannya dengan Dafa seolah berjarak semenjak kehadiran Kia. Persahabatan yang sudah ia bangun bersama Dafa seakan pupus sudah hanya karena orang baru yang Dafa kenal.
Sebagai seorang sahabat, Yuna sering menyapa setiap kali ia berpapasan dengan Dafa dan Kia. Sehingga membuat Kia merasa cemburu dengan sikap Yuna. Lalu, Kia meminta Dafa untuk menjauhi Yuna. Bodohnya, Dafa menurut saja untuk menjauhi Yuna atas nama cinta apapun akan dilakukannya demi membuat pasangannya bahagia. 
Yuna merasa senang jika Dafa senang, namun yang ia sayangkan perubahan sikap Dafa yang begitu cepat. Lebih cepat ketimbang laju kendaraan yang saat itu sedang berlalu lalang di hadapannya. Yuna ingat betul, ketika ia dan Dafa masih duduk di bangku kelas 3 SMP. Sambil menggenggam erat jemarinya, bersenda gurau di jalanan yang tampak lengang Dafa berkata kita itu sahabat, satu jiwa dalam dua raga. Rupanya itu dulu, sekarang tidak. Sekarang dan dulu itu sudah nampak berbeda.
Jika ada yang baru yang lama dilupakan. Seringkali kalimat itu diucapkan oleh banyak orang dalam berbagai persoalan. Pacar bisa menjadi mantan, tapi istilah mantan tidak pernah berlaku untuk seorang teman. Tak ada istilah mantan teman, apalagi mantan sahabat. Sekalipun tali persahabatan yang sudah terjalin cukup lama itupun terputus tanpa kita duga. Seperti apapun sikapnya terhadap kita, tak ada alasan bagi kita untuk membencinya, karena setidaknya kita pernah membingkai pelangi bersama.
Yang harus kita ingat sebagai pelajaran, pacar itu bukan Tuhan yang berhak mengatur hidup kita untuk mematuhi semua perintahnya dan menjauhi semua larangannya. Cinta macam apa yang mengekang kebebasan? Apalagi kebebasan dalam memilih teman. Jika dihadapkan pada persoalan memilih pacar baru atau teman lama? Jawabannya tergantung pada bagaimana kita menyikapinya. 

Aini Nur Latifah, 26 November 2012