Sabtu, 02 April 2011

AYAH SOSOK YANG SERING TERLUPAKAN TAPI JASAMU SUNGGUH TAK TERELAKKAN

“Ayah saya tidak pernah mengatakan kepada saya bagaimana caranya untuk hidup, tapi ia hidup dan aku mengambil pelajaran darinya ( Cla rence)


Memang tidak dapat kita pungkiri bahwa keberadaan ayah sebagaiman Ibu tak kan lekang di makan waktu. Ibu kita menunggu waktu Sembilan bulan untuk menunggu kelahiran kita dengan bertaruh nyawa, lalu ayah kita menunggu belasan tahun sejak kita di beri nama untuk bisa di lihat sebagai manusia dewasa yang hidup dengan kesadaran sebagai orang. Itu pun tak jarak seperti bertepuk sebelah tangan.

Saat kita sudah remaja, atau ketika kita sudah beranjak dewasa, ketika sudah memiliki kesibukan baru di luar rumah., semakin tidak ada waktu untuk Ayah kita, Maka dalam hatinya ia berkata, ”Anakku mulai menjauh dariku dan takkan ku rengkuh kembali seperti ketika ia saaat kanak-kanak.”. Galau, karena kita sudah memiliki dunia kita sendiri, Risau karena jarakpun terus bertambah jauh.

Saat kita benar-benar meninggalkan rumah, karena tuntutan pertumbuhan diri, kegalauan itu semakin bertambah. “Sejak suara tangismu, Sejak ku lantunkan suara adzan ke telingamu aku begitu menyayangimu. Ya, kau adalah permata hatiku. Namun, kau bukanlah selamanya milikku”.



“Rumah ini hanya persinggahan dalam perjalanmu menuju kedewasaan. Kini sudah hampir masanya kau pamit. Walau di hatiku terpancar sedikit rasa pahit. Tapi siapalah aku yang yang dapat menahan perjalanan sang waktu? Siapalah aku yang dapat menahan realita kedewasaan? Maafkan aku wahai anakku”.

“Bukan aku tidak rela kau pergi, tetapi karena aku terlalu mencintaimu! Hatiku bertanya-tanya adakah orang lain yang mencintaimu dan menjagamu sepenuh hati?. Sejak kau berjalan tertatih aku melihatmu jatuh tanpa rasa letih. Ku balut lukamu dengan hati-hati agar kau tak menjerit sakit. Tapi, jika suatu hari hatimu terluka, Siapakah yang akan membalut lukamu dalam perjalanan hidupmu?



Kepada kita anak lelakinya ayah berpesan, “Jadilah lebih kuat dan tegar dari aku, pilihlah Ibu untuk anak-anakmu kelak wanita yang lebih baik, berikan yang terbaik untuk menantu dan cucu-cucuku daripada apa yang telah aku beri padamu”.



Kepada kita anak gadisnya Ayah berpesan,”Jangan cengeng meski kamu seorang anak perempuan. Jadilah sellau bidadari kecilku dan bidadari terbaik untuk ayah anak-anakmu kelak. Laki-laki yang akan melindungimu melebihi perlindungan Ayah. Tapi jangan pernah kau gantikan posisi Ayah dihatimu”.

Dalam pesan-pesannya Ayah hanya ingin memastikan bahwa kita telah ia titipkan kepada Dzat yang Maha Menjaga. Semua ia lakukan untuk melengkapi apa yang telah ia berikan.

Akan tetapi, kelak ketika kita akan menikah, detik-detik memulai hidup baru adalah detik-detik perpisahan bagi orangtua kita. Tidak secara ikatan tapi secara kesempatan. Jika sesaat kala iti dia Nampak menjauh dari pandangan kita, mungkin mereka sengaja menghindar untuk menyeka air matanya yang tak mampu ia tahan. Saat itu begitu menyenangkan bagi kita. Tapi ayah dan ibu, seolah menanti detik-detik akhir kebersamaan. Dan merekapun hanya terdiam.


Firman Allah dalam Al-Qur’an :

“Wahai Tuhanku. Kasihilah mereka keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku di waktu kecil (QS. Al-Isra’ : 23-24)


Di kutip dari :



Ayah punya caranya sendiri untuk mencintai kita