Duh pelajaran seni budaya kok lama banget ya? perutku udah demo nih
teriak-teriak minta diisi. Kapan keluarnya sih nih Ibu Eni? Sambil
garuk-garuk kepala, aku menyoret-nyoret buku bersampul biru milikku
dengan tulisan yang enggak jelas.
“Anak-anak,
karena seni budaya tidak ada dalam mata pelajaran UAS jadi ibu mau nilai
uas kalian diganti dengan pementasan drama di setiap kelas. Untuk tema
bebas, jadi satu kelas dibagi menjadi 7 kelompok, dan pementasan drama
dimulai dari satu minggu yang akan datang. Untuk pelajaran hari ini ibu
cukupkan sekian, terimakasih.” Ibu Eni pun berlalu pergi meninggalkan
kelas. Sementara anak-anak di kelas saling menggerutu kesal mengapa
harus ada pementasan drama disaat kami sibuk menyiapkan ujian nasional.
Akhirnya setelah cukup sabar menanti, tiba juga waktu yang sangat aku
tunggu-tunggu. Ya, lonceng sekolah yang seharusnya sudah dimuseumkan itu
berbunyi yang menandakan waktu jam pulang telah tiba. Pikiranku sudah
tertuju pada kantin sekolah dan membayangkan lezatnya soto ayam Bu
Sulastri yang paling enak sejagad raya. hemm kelezatannya serasa sudah
menempel di ujung lidahku. Hoalah lebay ya...hihi.
Aku beranjak ke kantin bersama lima orang sahabat seperjuanganku, Chika
si bawel, Arga si kutu kampret ups kutu buku maksudnya, Sherin yang
centil, Boni si gendut dan yang terakhir Dika si ganteng kalem. Kalo aku
siapa ya? Si baik hati aja deh (PD abis ya…haha).
Selama di kantin sekolah, kita sibuk menyusun strategi tema apa yang
akan kita ambil untuk pementasan drama. Akhirnya setelah berunding
dengan perdebatan yang cukup alot kita memutuskan bahwa kisah
persahabatan kita yang konyol inilah yang akan mewarnai panggung aula
sekolah. Seperti biasa aku ditunjuk sebagai penulis skenario.
Teman-temanku menyarankan kalau naskah harus dikemas seapik mungkin
dengan dibumbui komedi di dalamnya.
“Na, awas ya peran gue jangan yang jelek-jelek amat” ujar Bogi meminta peran yang baik padaku.
“Tenang aja Gi, besok gue pastiin naskah udah jadi. Udah ada di kepala
gue nih cerita apa yang bakal gue bikin..Hehe” paparku sambil tertawa.
“Iya loh Na, peran gue juga jangan yang aneh-aneh awas aja loh, enggak
bakal gue kasih tiket nonton gratis lagi” ujar Sherin mengancamku.
“Eh, dimana-mana tuh pemain nurut aja ma sutradaranya dikasih peran
apapun harus PROFESIONAL” imbuhku. Akupun senyum-senyum sendiri
mengingat cerita apa yang akan aku buat.
***
Makan soto di kantin berlalu dan dilanjutkan proses pembuatan naskah di
rumah Chika (proses pembuatan naskah? udah kaya mau buat naskah
proklamasi aja ? haha). Tapi tidak semua teman-temanku ikut. Hanya ada
aku, Sherin, Chika dan Dika sementara Bogi dan Arga beralasan ada urusan
keluarga. Dengan mimik wajah serius aku menyusun naskah dan menentukan
peran apa saja yang cocok untuk sahabat-sahabatku ini. Ditemani
secangkir jus jeruk dan setumpuk cemilan akhirnya selesai juga naskah
drama seni budaya.
“Nih udah jadi baca deh, pasti
kalian bakal tertawa terbahak-bahak” aku pun menyodorkan naskah itu pada
Dika, sementara Chika dan Sherin terlihat sangat penasaran. Belum saja
mereka selesai membaca naskah tersebut, ketiganya langsung tertawa
terpingkal. Karena dalam naskah drama tersebut Bogi dan Arga berperan
sebagai Dono dan Jono. Dono berkarakter keren tapi budek sementara Arga
culun abis dengan kaca mata kuda dan tompel besar di pipi sebelah
kirinya.
“Wah parah ya lu Na…hahaha lucu tau, enggak
kebayang tampang bloonnya si Bogi sama Arga meranin tokoh Dono dan
Jono,” Dika begitu terlihat puas tertawa membayangkan peran Bogi dan
Arga.
“Udah kaya anak kembar kali ya mereka berdua. Kembar tapi beda…hehehe” ujar Chika menimpali.
“Udah dulu ketawa-ketawanya disimpen buat besok aja ya kasian tau
mereka? Lagian siapa suruh mereka enggak datang” ujarku mencoba sok
bijak padahal dalam hatiku, aku juga tertawa geli seperti mereka hahaha.
“Oh ya, ya ampun gue nyampe lupa. Sore ini kan gue tuh mau ke salon
sama nyokap gue” Dengan gaya centilnya Sherin menepuk jidatnya yang
seperti lapangan golf tapi terhalang oleh poni kudanya (hehe…Sssstt
jangan bilang-bilang ya).
Akhirnya karena hari sudah mulai petang, Kami semua pun memutuskan untuk pulang.
***
Meskipun naskah sudah selesai aku buat dan semua sahabatku menerima
peran masing-masing tapi kami tidak pernah melakukan latihan sekalipun
karena masing-masing disibukkan dengan jadwal mempersiapkan ujian
nasional. Pagi hari, kami belajar seperti biasa di sekolah. Siang,
tambahan jam belajar membahas soal-soal UAN tahun sebelumnya di sekolah.
Dan sore harinya sampai jam 6 malam kami harus mengikuti les di tempat
yang berbeda. Sedangkan hari Minggu kami di sibukkan dengan Try Out.
Sampai saat pementasan hanya tinggal satu hari lagi, kami pun mencoba
menyempatkan diri untuk latihan. Setelah berunding, waktu yang cocok
adalah sepulang les jam 6 malam di sekolah. Meskipun menuai pro dan
kontra, Ya mau dikata apalagi
deadline hanya tinggal menghitung hari.
“Guys, pokonya kalo lo pada udah selesai lesnya kalian harus pada
langsung ke sini. Kita janjian di pintu gerbang depan sekolah. Ok???”
ujar Dika si kutu kampret dengan antusias. Anak-anak yang lain cukup
mengiyakan, urusan datang apa enggaknya sih belakangan.
Setelah seharian berkutat dengan soal-soal dan pembahasannya UAN
tahun lalu, malam mencekam itu pun datang. Dan petualangan itupun
dimulai.
Saat aku tiba di gerbang sekolah, hanya ada Chika
dan Bogi saja yang menunggu disana. Sementara yang lainnya dan si kutu
kampret dika yang suka ngaret juga belum tampak batang hidungnya.
Setelah kurang lebih menunggu 20 menit, akhirnya personil kami lengakap
juga ( Band kali ya??).
“Eh, yakin nih kita mau
latihan di aula? Itu kan jauh. Kalian tau kan belakang sekolah kita itu
kuburan?” Ujar Chika yang begitu penakut.
“Tenang
aja, lo ga sendiri kali ada kita-kita juga. Makannya jangan bawel. Nanti
kalo ada setan yang jatuh cintrong ama lo gimana coba?” Dika pun
menakut-nakuti Chika.
“Hushhh jangan ngomong
sembarangan,” Bogi pun membekap mulut Dika. Sementara kami terus
menyusuri koridor sekolah. Suasana sekolah begitu tampak sunyi. Tak ada
keramaian seperti yang biasanya aku lihat pagi hari. Hanya ada Pak Tono
yang tampak sedang menyalakan lampu ruang guru, Dia hanya melirik
sedikit dan tersenyum getir pada kami, padahal Pak Tono selalu bersikap
hangat pada kami. Entah kenapa sikap Pak Tono sore itu sedikit berbeda.
Ruang guru menyala, sementara kelas-kelas dibiarkan gelap tanpa ada
penerangan sedikitpun. Kutengok kanan kiri, suasana sekolah di malam
hari begitu menyeramkan. Gelap, semua ruangan kosong tak berpenghuni.
Tak ada suara sama sekali. Hanya suara hentakan langkah kaki kami yang
terdengar sepanjang menyusuri koridor sekolah. Aku bergandengan tangan
begitu erat dengan Sherin dan Chika.
Setelah hampir 15 menit kami
melawan rasa takut, akhirnya tiba juga kami di aula sekolah. Karena saat
itu adzan maghrib sudah berkumandang, kami memutuskan untuk shalat
terlebih dahulu. Saat aku dan teman-teman lainnya hendak berwudlu di
mushola yang berhadapan dengan aula sekolah. Aku melihat pohon mangga di
taman sekolah begitu menyeramkan, daun-daunnya melambai tertiup angin,
membuat bulu kuduk merinding. Mulutku tak henti berkomat kamit membaca
ayat suci Al-qur’an yang aku bisa. Begitu pun aku melihat teman lainnya.
Mereka juga tak henti komat kamit karena jiwa penakut saat ini sedang
menghantui kami. Karena konon ceritanya, saat anak pramuka menginap di
sekolah, ada yang melihat sosok yang menyeramkan di pohon mangga,
sampai orang yang melihat makhluk itu kesurupan. Baru saja aku
melangkahkan kaki kananku ke mushola. Tiba-tiba lampu mushola mati.
Sontak saja kami semua berhamburan mencoba untuk keluar dari mushola,
sementara Chika masih berada dalam mushola. Ia teriak
sekencang-kencangnya dan menarik celana Dika sampai melorot karena Chika
phobia dengan gelap. Eh enggak taunya, lampu mushola sengaja dimatikan
sama si gendut Bogi. Sementara itu, ia muncul dari balik pintu sambil
cekikikan melihat raut wajah takut kami.
Saat lampu sudah menyala ....
“Heh tadi lu kentut ya?” tanya Chika serius pada Dika.
“Dikit.. maklum Efek takut juga Ka hehehe” Dika tertawa kecil.
“Ih..Dika
jorok banget sih lu. Sedikit tapi baunya sekilo tau enggak?” tawa pun
pecah di mushola sekolah. Hahaha lucu sekali tingkah mereka sampai aku
tertawa geli di buatnya. Arga dan Bogi pun begitu puas melihatnya.
Kurang asem si Bogi enggak tau apa kalo yang ada dihadapan dia ini
manusia-manusia parno semua sama hal yang begituan. Huuhh kita semua
dibuat
sport jantung sama dia. Karena enggak mau berlama-lama
di sekolah, lelucon Bogi tak begitu kami anggap serius. Dan kita
memutuskan untuk Shalat berjama’ah dan Arga lah yang menjadi imam.
Shalat maghrib selesai dan kami kembali ke aula, latihan drama sesuai
naskah dan peran masing-masing. Latihan berjalan lancar tanpa sedikit
hambatan walau harus beberapa kali diulang karena salah. Tapi tanpa
terasa waktu sudah menunjukan pukul 08.30 WIB.
“Eh temen,
udah dulu yuk latihannya. Udah jam setengah sembilan nih. Gue mau pulang
ah nanti nyokap gue nyariin,” Chika merasa takut kalo-kalo pas dia
pulang di sambut sama omelan nyokapnya.
“Iya sih pulang ajah yuk…jujur perasaan gue dari tadi gak enak nih” ada sesuatu yang mengganjal di hatiku malam itu.
“Okeh kita lanjutin besok pagi-pagi ya soalnya kan kita kan kelompok
dua. Tapi kita ke gerbang depannya bareng-bareng ya” pinta Sherin
memohon.
“Siipp yaudah kita pulang yuukkk….” ajak Bogi.
Malam begitu mencekam, ditambah lagi suara gemuruh yang
bersahut-sahutan pertanda akan turun hujan. Kami berjalan bersama
ditengah lapangan upacara, hanya dengan diterangi cahaya rembulan. Jujur
aku begitu takut karena memang kata cerita satpam sekolah, biasanya
saat malam seperti ini siswa yang sudah meninggal karena kecelakaan
sering berkeliaran di sini. Jantungku berdegup kencang saat melewati
pohon rindang yang berada di depan perpustakaan.
“Na, gue
takut nih. Pegang tangan gue erat-erat ya” sambil celingak celinguk
Sherin berbisik padaku. Aku dan yang lainnya pun terus melangkah begitu
cepat. Tanpa terasa rintik-rintik hujan mulai membasahi baju kami.
“Eh, Hujan, cepetan dong jalannya” seru Arga yang berada di depan.
Jantungku terus berpacu lebih kencang, Langkah Arga tiba-tiba terhenti.
“Eh Guys, lo pada liat sesuatu enggak?” tanya Arga gemetar.
“Apaan?? Ah lo jangan nakut-nakutin plis deh. Awas aja kalo kejadian di mushola tadi terulang lagi” kataku mengancam.
“Iiiya Na…gue juga liat” kata Bogi dengan suara berat.
Setelah mendengar hal yang sama dari Bogi akupun mulai percaya dengan
apa yang dibilang Arga. Meski aku sendiri tidak melihatnya. Peluh dingin
bercucuran. Bajuku basah dengan air hujan bercampur dengan keringat.
“Aaaaanti…gue liat Anti depan kelasnya melihat ke arah kita. Ayo
cepetan sumpah gue enggak boong,” ucap Bogi gemetar. Anti adalah salah
satu siswa yang dua minggu lalu mengalami kecelakaan dan tewas seketika
di ruas jalan sudirman.
Tidak ada jalan lain, kami pun
memutuskan untuk lari sekencang-kencangnya. Bogi memberi aba-aba
1….2….3…. Lariiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii...
Ditengah hujan yang mengguyur tubuh kami, kami berlari ketakutan di
tengah lapangan upacara dengan masih mengenakan seragam sekolah. Aku,
Chika dan Sherin pun tak berani menengok kanan kiri, pandangan kami
lurus ke depan tanpa melihat kelas-kelas kosong yang ada di kanan kiri
kami. Tiba-tiba saja saat tiba di depan ruang guru lonceng kuno sekolah
berbunyi padahal di ruang guru tak ada seorangpun disana. Sehingga kadar
ketakutan kami pun semakin menjadi. Tiba-tiba kacamata Arga terjatuh.
Karena kaca mata Arga jatuh, dia sempoyongan ddan tidak bisa melihat
dengan jelas. Tong sampah sekolahpun ia tabrak hingga sampah-sampah
berserakan dan terdengar suara bising karena tong sampah berbahan dasar
kaleng. Sampah-sampah pun menempel pada baju Arga. Antara rasa ingin
ketawa, kasian dan ketakutan campur aduk saat itu.
“Heh,
tungguin gue!!! Kaca mata gue jatoh nih gue enggak bisa liat” kata Arga
sempoyongan dengan membawa sampah yang menyangkut di tasnya..
“Haduh ada-ada ajah sih lo pake acara kacamata lo jatoh segala” balas Dika.
“Udah jangan banyak ngomong cepet tuh tuntun si Arga” ucapku kesal
melihat tingkah mereka. Dan mereka berdua memimpin di depan.
Aduh kenapa disaat darurat seperti ini gerbang sekolah terasa jauh
sekali? Ketika hanya tinggal beberapa langkah lagi menuju gerbang
sekolah, ada sosok berbaju putih di bawah pohon akasia sekolah terlihat
sedang tertunduk memungut sesuatu. Aku penasaran dan bertanya-tanya
dalam hati apakah itu sesosok hantu? Karena Arga tidak menggunakan
kacamata dan Dika tak menuntunnya, Arga pun menabrak sosok itu.
“Ahhhhhhrrrggghhhhh Hahahahahantuuu………..” Arga pun berteriak.
Dan sosok yang sempat kami kira hantu itu mengarahkan lampu senternya pada kami. Dan dia adalah Pak Tono si penjaga sekolah.
“Pak Tono??? Mau nagapain malem-malem kesini? Tanyaku.
“Harusnya saya yang nanya, ngapain kalian malem-malem di sekolah masih pake seragam lagi?”
“Kita abis latihan drama buat besok Pak !!!!” Chika pun menjawab.
“Kalo
Bapak, mau menyalakan lampu sekolah soalnya tadi belum sempet
dinyalakan. Karena Bapak ketiduran.” Jawab Pak Tono singkat jelas padat.
“Hah terus yang tadi kita liat nyalain lampu ruang guru siapa dong?” Tanya Arga heran.
Tubuhku lemas seperti tak ada tulang, pandanganku perlahan terlihat
kabur dan akhirnya mataku terpejam dan gelap seketika alias pingsan. -_-