Rabu, 22 Februari 2012

Ayah punya caranya sendiri untuk mencintai kita



“Ayah saya tidak pernah mengatakan kepada saya bagaimana caranya untuk hidup, tapi ia  hidup dan aku mengambil pelajaran darinya ( Cla rence)


       Memang tidak dapat kita pungkiri bahwa keberadaan ayah sebagaiman Ibu tak kan lekang di makan waktu. Ibu kita menunggu waktu Sembilan bulan untuk menunggu kelahiran kita dengan bertaruh nyawa, lalu ayah kita menunggu belasan tahun sejak kita di beri nama untuk bisa di lihat  sebagai manusia dewasa yang hidup dengan kesadaran sebagai orang. Itu pun tak jarak seperti bertepuk sebelah tangan.
       Saat kita sudah remaja, atau ketika kita sudah beranjak dewasa, ketika sudah memiliki kesibukan baru di luar rumah., semakin tidak ada waktu untuk Ayah kita, Maka dalam hatinya ia berkata, ”Anakku mulai menjauh dariku dan takkan ku rengkuh kembali seperti ketika ia saaat kanak-kanak.”. Galau, karena kita sudah memiliki dunia kita sendiri, Risau karena jarakpun terus bertambah jauh.
       Saat kita benar-benar meninggalkan rumah, karena tuntutan pertumbuhan diri, kegalauan itu semakin bertambah. “Sejak suara tangismu, Sejak ku lantunkan suara adzan ke telingamu aku begitu menyayangimu. Ya, kau adalah permata hatiku. Namun, kau bukanlah selamanya milikku”.

“Rumah ini hanya persinggahan dalam perjalanmu menuju kedewasaan. Kini sudah hampir masanya kau pamit. Walau di hatiku terpancar sedikit rasa pahit. Tapi siapalah aku yang yang dapat menahan perjalanan sang waktu? Siapalah aku yang dapat menahan realita kedewasaan? Maafkan aku wahai anakku”.
“Bukan aku tidak rela kau pergi, tetapi karena aku terlalu mencintaimu! Hatiku bertanya-tanya adakah orang lain yang mencintaimu dan menjagamu sepenuh hati?. Sejak kau berjalan tertatih aku melihatmu jatuh tanpa rasa letih. Ku balut lukamu dengan hati-hati agar kau tak menjerit sakit. Tapi, jika suatu hari hatimu terluka, Siapakah yang akan membalut lukamu dalam perjalanan hidupmu?

       Kepada kita anak lelakinya ayah berpesan, “Jadilah lebih kuat dan tegar dari aku, pilihlah Ibu untuk anak-anakmu kelak wanita yang lebih baik, berikan yang terbaik untuk menantu dan cucu-cucuku daripada apa yang telah aku beri padamu”.

        Kepada kita anak gadisnya Ayah berpesan,”Jangan cengeng meski kamu seorang anak perempuan. Jadilah sellau bidadari kecilku dan bidadari terbaik untuk ayah anak-anakmu kelak. Laki-laki yang akan melindungimu melebihi perlindungan Ayah. Tapi jangan pernah kau gantikan posisi Ayah dihatimu”.
        Dalam pesan-pesannya Ayah hanya ingin memastikan bahwa kita telah ia titipkan kepada Dzat yang Maha Menjaga. Semua ia lakukan untuk melengkapi apa yang telah ia berikan.
       Akan tetapi, kelak ketika kita akan menikah, detik-detik memulai hidup baru adalah detik-detik perpisahan bagi orangtua kita. Tidak secara ikatan tapi secara kesempatan. Jika sesaat kala iti dia Nampak menjauh dari pandangan kita, mungkin mereka sengaja menghindar untuk menyeka air matanya yang tak mampu ia tahan. Saat itu begitu menyenangkan bagi kita. Tapi ayah dan ibu, seolah menanti detik-detik akhir kebersamaan. Dan merekapun hanya terdiam.

Firman Allah dalam Al-Qur’an :
“Wahai Tuhanku. Kasihilah mereka keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku di waktu kecil (QS. Al-Isra’ : 23-24)

 Ayah punya caranya sendiri untuk mencintai kita..............

Ada Hantu di Sekolah


       Duh pelajaran seni budaya kok lama banget ya? perutku udah demo nih teriak-teriak minta diisi. Kapan keluarnya sih nih Ibu Eni? Sambil garuk-garuk kepala, aku menyoret-nyoret buku bersampul biru milikku dengan tulisan yang enggak jelas.

       “Anak-anak, karena seni budaya tidak ada dalam mata pelajaran UAS jadi ibu mau nilai uas kalian diganti dengan pementasan drama di setiap kelas. Untuk tema bebas, jadi satu kelas dibagi  menjadi 7 kelompok, dan pementasan drama dimulai dari satu minggu yang akan datang. Untuk pelajaran hari ini ibu cukupkan sekian, terimakasih.” Ibu Eni pun berlalu pergi meninggalkan kelas. Sementara anak-anak di kelas saling menggerutu kesal mengapa harus ada pementasan drama disaat kami sibuk menyiapkan ujian nasional.

       Akhirnya setelah cukup sabar menanti, tiba juga waktu yang sangat aku tunggu-tunggu. Ya, lonceng sekolah yang seharusnya sudah dimuseumkan itu berbunyi yang menandakan waktu jam pulang telah tiba. Pikiranku sudah tertuju pada kantin sekolah dan membayangkan lezatnya soto ayam Bu Sulastri yang paling enak sejagad raya. hemm kelezatannya serasa sudah menempel di ujung lidahku. Hoalah lebay ya...hihi.

       Aku beranjak ke kantin bersama lima orang sahabat seperjuanganku, Chika si bawel, Arga si kutu kampret ups kutu buku maksudnya, Sherin yang centil, Boni si gendut dan yang terakhir Dika si ganteng kalem. Kalo aku siapa ya? Si baik hati aja deh (PD abis ya…haha).

      Selama di kantin sekolah, kita sibuk menyusun strategi tema apa yang akan kita ambil untuk pementasan drama. Akhirnya setelah berunding dengan perdebatan yang cukup alot kita memutuskan bahwa kisah persahabatan kita yang konyol inilah yang akan mewarnai panggung aula sekolah. Seperti biasa aku ditunjuk sebagai penulis skenario. Teman-temanku menyarankan kalau naskah harus dikemas seapik mungkin dengan dibumbui komedi di dalamnya.

       “Na, awas ya peran gue jangan yang jelek-jelek amat” ujar Bogi meminta peran yang baik padaku.
       “Tenang aja Gi, besok gue pastiin naskah udah jadi. Udah ada di kepala gue nih cerita apa yang bakal gue bikin..Hehe” paparku sambil tertawa.
       “Iya loh Na, peran gue juga jangan yang aneh-aneh awas aja loh, enggak bakal gue kasih tiket nonton gratis lagi” ujar Sherin mengancamku.
       “Eh, dimana-mana tuh pemain nurut aja ma sutradaranya dikasih peran apapun harus PROFESIONAL” imbuhku. Akupun senyum-senyum sendiri mengingat cerita apa yang akan aku buat.

***

        Makan soto di kantin berlalu dan dilanjutkan proses pembuatan naskah di rumah Chika (proses pembuatan naskah? udah kaya mau buat naskah proklamasi aja ? haha). Tapi tidak semua teman-temanku ikut. Hanya ada aku, Sherin, Chika dan Dika sementara Bogi dan Arga beralasan ada urusan keluarga. Dengan mimik wajah serius aku menyusun naskah dan menentukan peran apa saja yang cocok untuk sahabat-sahabatku ini. Ditemani secangkir jus jeruk dan setumpuk cemilan akhirnya selesai juga naskah drama seni budaya.

       “Nih udah jadi baca deh, pasti kalian bakal tertawa terbahak-bahak” aku pun menyodorkan naskah itu pada Dika, sementara Chika dan Sherin terlihat sangat penasaran. Belum saja  mereka selesai membaca naskah tersebut, ketiganya langsung tertawa terpingkal. Karena dalam naskah  drama tersebut Bogi dan Arga berperan sebagai Dono dan Jono. Dono berkarakter keren tapi budek sementara Arga culun abis dengan kaca mata kuda dan tompel besar di pipi sebelah kirinya.
       “Wah parah ya lu Na…hahaha lucu tau, enggak kebayang tampang bloonnya si Bogi sama Arga meranin tokoh Dono dan Jono,” Dika begitu terlihat puas tertawa membayangkan peran Bogi dan Arga.
       “Udah kaya anak kembar kali ya mereka berdua. Kembar tapi beda…hehehe” ujar Chika menimpali.
       “Udah dulu ketawa-ketawanya disimpen buat besok aja ya kasian tau mereka? Lagian siapa suruh mereka enggak datang” ujarku mencoba sok bijak padahal dalam hatiku, aku juga tertawa geli seperti mereka hahaha.

       “Oh ya, ya ampun gue nyampe lupa. Sore ini kan gue tuh mau ke salon sama nyokap gue” Dengan gaya centilnya Sherin menepuk jidatnya yang seperti lapangan golf tapi terhalang oleh poni kudanya (hehe…Sssstt jangan bilang-bilang ya).
       Akhirnya karena hari sudah mulai petang, Kami semua pun memutuskan untuk pulang.

***

       Meskipun naskah sudah selesai aku buat dan semua sahabatku menerima peran masing-masing tapi kami tidak pernah melakukan latihan sekalipun karena masing-masing disibukkan dengan jadwal mempersiapkan ujian nasional. Pagi hari, kami belajar seperti biasa di sekolah. Siang, tambahan jam belajar membahas soal-soal UAN tahun sebelumnya di sekolah. Dan sore harinya sampai jam 6 malam kami harus mengikuti les di tempat yang berbeda. Sedangkan hari Minggu kami di sibukkan dengan Try Out. Sampai saat pementasan hanya tinggal satu hari lagi, kami pun mencoba menyempatkan diri untuk latihan. Setelah berunding, waktu yang cocok adalah sepulang les jam 6 malam di sekolah. Meskipun menuai pro dan kontra, Ya mau dikata apalagi deadline hanya tinggal menghitung hari.

       “Guys, pokonya kalo lo pada udah  selesai lesnya kalian harus pada langsung ke sini. Kita janjian di pintu gerbang depan sekolah. Ok???” ujar Dika si kutu kampret dengan antusias. Anak-anak yang lain cukup mengiyakan, urusan datang apa enggaknya sih belakangan.

       Setelah seharian berkutat dengan soal-soal dan pembahasannya UAN tahun lalu, malam mencekam  itu pun datang. Dan petualangan itupun dimulai.
       Saat aku tiba di gerbang sekolah, hanya ada Chika dan Bogi saja yang menunggu disana. Sementara yang lainnya dan si kutu kampret dika yang suka ngaret juga belum tampak batang hidungnya. Setelah kurang lebih menunggu 20 menit, akhirnya personil kami lengakap juga ( Band kali ya??).

       “Eh, yakin nih kita mau latihan di aula? Itu kan jauh. Kalian tau kan belakang sekolah kita itu kuburan?” Ujar Chika yang begitu penakut.

      “Tenang aja, lo ga sendiri kali ada kita-kita juga. Makannya jangan bawel. Nanti kalo ada setan yang jatuh cintrong ama lo gimana coba?” Dika pun menakut-nakuti Chika.

      “Hushhh jangan ngomong sembarangan,” Bogi pun membekap mulut Dika. Sementara kami terus menyusuri koridor sekolah. Suasana sekolah begitu tampak sunyi. Tak ada keramaian seperti yang biasanya aku lihat pagi hari. Hanya ada Pak Tono yang tampak sedang menyalakan lampu ruang guru, Dia hanya melirik sedikit dan tersenyum getir pada kami, padahal Pak Tono selalu bersikap hangat pada kami. Entah kenapa sikap Pak Tono sore itu sedikit berbeda. Ruang guru menyala, sementara kelas-kelas dibiarkan gelap tanpa ada penerangan sedikitpun. Kutengok kanan kiri, suasana sekolah di malam hari begitu menyeramkan. Gelap, semua ruangan kosong tak berpenghuni. Tak ada suara sama sekali. Hanya suara hentakan langkah kaki kami yang terdengar sepanjang menyusuri koridor sekolah. Aku bergandengan tangan  begitu erat dengan Sherin dan Chika.

       Setelah hampir 15 menit kami melawan rasa takut, akhirnya tiba juga kami di aula sekolah. Karena saat itu adzan maghrib sudah berkumandang, kami memutuskan untuk shalat terlebih dahulu. Saat aku dan teman-teman lainnya hendak berwudlu di mushola yang berhadapan dengan aula sekolah. Aku melihat pohon mangga di taman sekolah begitu menyeramkan, daun-daunnya melambai tertiup angin, membuat bulu kuduk merinding. Mulutku tak henti berkomat kamit membaca ayat suci Al-qur’an yang aku bisa. Begitu pun aku melihat teman lainnya. Mereka juga tak henti komat kamit karena jiwa penakut saat ini sedang menghantui kami. Karena konon ceritanya, saat anak pramuka menginap di sekolah, ada yang melihat sosok yang menyeramkan di pohon mangga, sampai  orang yang melihat makhluk itu kesurupan. Baru saja aku melangkahkan kaki kananku ke mushola. Tiba-tiba lampu mushola mati. Sontak saja kami semua berhamburan mencoba untuk keluar dari mushola, sementara Chika masih berada dalam mushola. Ia teriak sekencang-kencangnya dan menarik celana Dika sampai melorot karena Chika phobia dengan gelap. Eh enggak taunya, lampu mushola sengaja dimatikan sama si gendut Bogi. Sementara itu, ia muncul dari balik pintu sambil  cekikikan melihat raut wajah takut kami.

      Saat lampu sudah menyala ....
“Heh tadi lu kentut ya?” tanya Chika serius pada Dika.
“Dikit.. maklum Efek takut juga Ka hehehe” Dika tertawa kecil.
“Ih..Dika jorok banget sih lu. Sedikit tapi baunya sekilo tau enggak?” tawa pun pecah di mushola sekolah. Hahaha lucu sekali tingkah mereka sampai aku tertawa geli di buatnya. Arga dan Bogi pun begitu puas melihatnya. Kurang asem si Bogi enggak tau apa kalo yang ada dihadapan dia ini manusia-manusia parno semua  sama hal yang begituan. Huuhh  kita semua dibuat sport  jantung sama dia. Karena enggak mau berlama-lama di sekolah, lelucon Bogi tak begitu kami anggap serius. Dan kita memutuskan untuk Shalat berjama’ah dan Arga lah yang menjadi imam.

       Shalat maghrib selesai dan kami kembali ke aula, latihan drama sesuai naskah dan peran masing-masing. Latihan berjalan lancar tanpa sedikit hambatan walau harus beberapa kali diulang karena salah. Tapi tanpa terasa waktu sudah menunjukan pukul 08.30 WIB.
       “Eh temen, udah dulu yuk latihannya. Udah jam setengah sembilan nih. Gue mau pulang ah nanti nyokap gue nyariin,” Chika merasa takut kalo-kalo pas dia pulang di sambut sama omelan nyokapnya.
       “Iya sih pulang ajah yuk…jujur perasaan gue dari tadi gak enak nih” ada sesuatu yang mengganjal di hatiku malam itu.
       “Okeh kita lanjutin besok pagi-pagi ya soalnya kan kita kan kelompok dua. Tapi kita ke gerbang depannya bareng-bareng ya” pinta Sherin memohon.
       “Siipp yaudah kita pulang yuukkk….” ajak Bogi.

      Malam begitu mencekam, ditambah lagi suara gemuruh yang bersahut-sahutan pertanda akan turun hujan. Kami berjalan bersama ditengah lapangan upacara, hanya dengan diterangi cahaya rembulan. Jujur aku begitu takut karena memang kata cerita satpam sekolah, biasanya saat malam seperti ini siswa yang sudah meninggal karena kecelakaan sering berkeliaran di sini. Jantungku berdegup kencang saat melewati pohon rindang yang berada di depan perpustakaan.
       “Na, gue takut nih. Pegang tangan gue erat-erat ya” sambil celingak celinguk Sherin berbisik padaku. Aku dan yang lainnya pun terus melangkah begitu cepat. Tanpa terasa rintik-rintik hujan mulai membasahi baju kami.

       “Eh, Hujan, cepetan dong jalannya” seru Arga yang berada di depan.
Jantungku terus berpacu lebih kencang, Langkah Arga tiba-tiba terhenti.
       “Eh Guys, lo pada liat sesuatu enggak?” tanya Arga gemetar.
       “Apaan?? Ah lo jangan nakut-nakutin plis deh. Awas aja kalo kejadian di mushola tadi terulang lagi” kataku mengancam.
      “Iiiya Na…gue juga liat”  kata Bogi dengan suara berat.

      Setelah mendengar hal yang sama dari Bogi akupun mulai percaya dengan apa yang dibilang Arga. Meski aku sendiri tidak melihatnya. Peluh dingin bercucuran. Bajuku basah dengan air hujan bercampur dengan keringat.
      “Aaaaanti…gue liat Anti depan kelasnya melihat ke arah kita. Ayo cepetan sumpah gue enggak boong,” ucap Bogi gemetar. Anti adalah salah satu siswa yang dua minggu lalu mengalami kecelakaan dan tewas seketika di ruas jalan sudirman.
       Tidak ada jalan lain, kami pun memutuskan untuk lari sekencang-kencangnya. Bogi memberi aba-aba 1….2….3…. Lariiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii...

       Ditengah hujan yang mengguyur tubuh kami, kami berlari ketakutan di tengah lapangan upacara dengan masih mengenakan seragam sekolah. Aku, Chika dan Sherin pun tak berani menengok kanan kiri, pandangan kami lurus ke depan tanpa melihat kelas-kelas kosong yang ada di kanan kiri kami. Tiba-tiba saja saat tiba di depan ruang guru lonceng kuno sekolah berbunyi padahal di ruang guru tak ada seorangpun disana. Sehingga kadar ketakutan kami pun semakin menjadi. Tiba-tiba kacamata Arga terjatuh. Karena kaca mata Arga jatuh, dia sempoyongan ddan tidak bisa melihat dengan jelas. Tong sampah sekolahpun ia tabrak hingga sampah-sampah berserakan dan terdengar suara bising karena tong sampah berbahan dasar kaleng. Sampah-sampah pun menempel pada baju Arga. Antara rasa ingin ketawa, kasian dan ketakutan campur aduk saat itu.

       “Heh, tungguin gue!!! Kaca mata gue jatoh nih gue enggak bisa liat” kata Arga sempoyongan dengan membawa sampah yang menyangkut di tasnya..
       “Haduh ada-ada ajah sih lo pake acara kacamata lo jatoh segala” balas Dika.
      “Udah jangan banyak ngomong cepet tuh tuntun si Arga” ucapku kesal melihat tingkah mereka. Dan mereka berdua memimpin di depan.

      Aduh kenapa disaat darurat seperti ini gerbang sekolah terasa jauh sekali? Ketika hanya tinggal beberapa langkah lagi menuju gerbang sekolah, ada sosok berbaju putih di bawah pohon akasia sekolah terlihat sedang tertunduk memungut sesuatu. Aku penasaran dan bertanya-tanya dalam hati apakah itu sesosok hantu? Karena Arga tidak menggunakan kacamata dan Dika tak menuntunnya, Arga pun menabrak sosok itu.

      “Ahhhhhhrrrggghhhhh Hahahahahantuuu………..” Arga pun berteriak.
Dan sosok yang sempat kami kira hantu itu mengarahkan lampu senternya pada kami. Dan dia adalah Pak Tono si penjaga sekolah.
      “Pak Tono??? Mau nagapain malem-malem kesini? Tanyaku.
      “Harusnya saya yang nanya, ngapain kalian malem-malem di sekolah masih pake seragam lagi?”
      “Kita abis latihan drama buat besok Pak !!!!” Chika pun menjawab.
     “Kalo Bapak, mau menyalakan lampu sekolah soalnya tadi belum sempet dinyalakan. Karena Bapak ketiduran.” Jawab Pak Tono singkat jelas padat.
      “Hah terus yang tadi kita liat nyalain lampu ruang guru siapa dong?” Tanya Arga heran.
       Tubuhku lemas seperti tak ada tulang, pandanganku perlahan terlihat kabur dan akhirnya mataku terpejam dan gelap seketika alias pingsan. -_-