Senin, 30 April 2012

Penulis itu Pembelajar !


Apa yang menyebabkan seorang penulis bisa tetap eksis membagikan pengetahuannya melalui tulisan? Jawaban singkatnya: karena ia terus belajar! Dengan terus belajar, ia akan mendapatkan peningkatan pengetahuan secara berlanjut, dan hal ini menjadi modal utama untuk dibagikan kepada para pembaca.

Kita bisa bayangkan seperti apa jadinya jika seorang penulis bukanlah seorang yang suka belajar. Mampukah ia bertahan dalam dunia tulis-menulis dalam waktu yang relatif lama? Tentu sulit! Sebab, orang tidak bisa memberi kalau ia tak punya apa-apa untuk diberikan. Maka, ia harus memiliki sesuatu untuk dibagikan. Sesuatu itu mungkin berupa pengetahuan, informasi, atau lainnya. Oleh karena itu, kesediaan belajar adalah faktor utama untuk menjadi seorang penulis. Jika tidak, bagai sumur tanpa air, sang penulis akan mengalami kekeringan ide.

Untuk menjadi penulis-pembelajar, maka sejumlah langkah yang relevan dilakukan, yakni, pertama, selalu aktif menambah pengetahuan baru. Untuk hal ini, ia akan membaca berbagai sumber informasi dan pengetahuan, termasuk di dalamnya bergaul dengan banyak orang yang dapat dijadikannya ‘guru’. Baginya, masyarakat adalah ‘universitas kehidupan’, tempatnya meraup kebijaksanaan hidup, sebanyak-banyaknya dan sedalam-dalamnya.

Kedua, menulis dengan pendekatan baru. Dalam menulis, ia tak merasa harus menulis dengan pakem tertentu. Ia lebih suka menyusun tulisan yang variatif dan senang berpetualang dalam genre dan teknik penulisan. Sekali waktu ia mengarang puisi, sekali waktu ia mengarang cerpen, sekali waktu ia menulis artikel opini, dan sekali waktu ia mungkin menulis reportase. Wujud variasi lain, misalnya, ia menulis dengan cara yang khas. Dia menulis dengan nuansa argumentasi yang kuat, pilihan kata yang tepat dan bertenaga, ungkapan-ungkapannya acap bernada filosofis, menggugah, dan memberi insiprasi. Ciri khasnya tampak, tapi tidak pernah monoton.

Ketiga, senantiasa memperhatikan trend. Tema apa yang paling ngetop belakangan ini? Itulah pertanyaan utama yang dialamatkan kepada dirinya sendiri. Jika ia menulis, maka dia akan berangkat dari tema yang paling baru tersebut. Karenanya, ia sangat tertarik untuk senantiasa mengikuti perkembangan pemikiran dan pemberitaan yang terjadi. Pergerakan aktualitas suatu karya demikian cepatnya. Kini aktual, esok sudah tidak lagi, karena disalip oleh kemunculan tema baru. Baginya, penulis yang baik selalu berusaha menjaga aktualitas karyanya.

Keempat, rajin bergaul dengan para penulis untuk saling menyemangati. Ia membuat jaringan, wahana yang bagus baginya untuk saling berbagi informasi, pengalaman, dan motivasi dengan sesama penulis. Ia sering bergaul dengan orang-orang yang bisa menyemangati dan memberinya motivasi untuk melanjutkan karier penulisan. Untuk membangun semangat berkarya, sesekali ia tak lupa mengikuti seminar motivasi di samping menikmati buku-buku yang sejenis dengan itu. Tujuannya tiada lain agar ia selalu terdorong untuk bekerja dengan penuh gairah dan energi, sesuatu yang membukakan jalan untuk meraih sukses dan mampu bertahan dalam perjalanan panjang di dalam dunia penulisan.

Seorang penulis-pembelajar selalu ingat belajar dari berbagai sumber informasi dan kehidupan pada umumnya. Seorang penulis-pembelajar selalu rendah hati untuk belajar dari siapa saja, di mana saja, dan kapan saja. Seorang penulis-pembelajar senantiasa berada di dalam barisan orang-orang yang menempuh perjalanan panjang ilmu pengetahuan dan membagikan pengetahuannya demi kemajuan umat manusia. Seorang penulis-pembelajar adalah dia yang selalu memperbaharui diri.

*Kompasianer

06 Juli 2011



Hadirnya dirimu,
berikan suasana baru dalam cerita hidupku..
Saat ku melihat secarik gambar yang melukiskan indah wajahmu
Dan tertata rapih jauh di dalam alam khayal ku
Kau membuatku  terbayang akan hangatnya senyum manismu yang setiap saat hadir menemani langkahku,
yang slalu mengingatkan aku akan hadirnya dirimu saat kau ada disini bersamaku..

Andai kau tau rasa ini..
rasa yang selalu ingin melihat senyumanmu, tawa mu,dan sjuta canda khas dari dirimu yang tak akan pernah bisa pudar dari dalam benak ini..

Di kala kau bersedih,
Aku akan selalu menemanimu sampai kapan pun kau memerlukan bahuku untuk sandaranmu.
Saat kau tersenyum,
Aku pun akan selalu ikut larut tersenyum dalam bahagiamu
Sekalipun arti dari senyuman itu bukan untukku..
:')

Kuharap,
Janganlah kau terpaku dalam setiap kesedihan yang menerpa setiap jalanmu,
Karna aku akan menjadi lilin-lilin kecil yang akan selalu menyala dalam hatimu sampai ku menutup mata nanti..
Semua hal tentangmu,
Semua kenangan indah yang telah terukir indah bersamamu,
Semua keindahan yang tertuang dalam hatimu,
Tak kan pernah ku lupakan..
Karena kau adalah :

"Cerita Terindah Yang Pernah Tertulis Dalam Hatiku"


Ega

Kita



Walau sore ini mendung  menjadikan indahnya langit kita tanpa rona jingga, Namun senja tiada kan pernah ingkar akan janjinya
Senja akan tetap jejali elok  keanggunan warna dalam bayang kesempurnaan semesta raya...
Indah senja tiada kan memudar dari ingatan, di sepanjang liku-liku perjalanan yang telah kita lalui, berdua pada perputaran suatu masa...

Ketika Senja Kita Berkabut Duka


Rega Afrizal dan Aini Nur Latifah

Aksara dan coretan dalam bait-bait kata ini , Ku bingkiskan sebagai kenangan terakhir dariku untukmu…
Mungkin suatu masa nanti,
Senja tak dapat kulihat lagi melukis wajahmu dalam indahnya jingga di suatu soreku,
Mungkin pula tak pernah ku tahu kemana awan berarak membisu
Kala senjaku berkabut rindu,
Ketika jarum gerimis menghias ruang jemari waktu,
Menjemput malam menuju peraduan
Memeluk bayang dalam erat impian
Tak akan pernah aku lupa, kala erat jemari menemani resah rindu di hati kita
Di kala senda gurau menghiasi jalinan kisah yang terpaut mesra
Tentangku yang berjalan dalam kisah hidupmu
Tentangmu penoreh cerita terindah dalam hidupku…
Jika nanti kau merindukanku
Ingatlah aku dalam kenangan lalu
Karena mungkin saat itu aku telah jauh disana dan telah berlalu dalam kisah yang pernah kita ukir dulu
Ketahuilah, kau kan tetap menjadi sahabat terindah dalam hatiku,
Karena kau adalah mimpi yang selama ini menguatkanku,
Kau sahabat terindah yang takkan kubiarkan waktu menghapusmu
Jika esok aku telah tiada
Mungkin pula aku telah hilang di rimba asa
Atau mungkin senja menenggelamkan raut rupa
Ku harap kau tegar melangkah dalam setiap lembar kisah yang akan tercipta..
Untukmu sahabat terindahku,
Ingatlah..
Bahwa aku takkan pernah sedetikpun meninggalkanmu,
Sadarilah..
Hanya sebatas ragaku ini yang melambaikan salam perpisahan
Namun hati ini takkan pernah beranjak pergi dari sisimu
Persahabatan…
Kerinduan…
Kenangan…
Terukir indah dalam sebuah bingkai kehidupan..
Jika aku boleh meminta pada Tuhan,
Aku tak pernah ingin ada perpisahan…
Aku tak pernah ingin ada kehilangan…
Aku tak pernah ingin ada kematian…
Ketahuilah…Bukan karna aku ingin melepasmu,
Namun jemari takdir terlalu erat menahan khilaf jiwa yang tak pernah aku minta…

*) Dalam cerpen Cerita kita di bawah naungan langit senja part 2 :D

Bukan karena takut berpisah dengan dunia



Tatkala Amin bin Abdillah At-Tamimi, seorang tokoh tabi’in terkemuka sakit menjelang wafatnya, para sahabat beliau menjenguknya dan mereka mendapatkan beliau sedang menangis. Mereka bertanya, “Apa yang menyebabkan anda menangis, padahal anda memiliki banyak keutamaan ini dan itu?” Beliau menjawab,” Demi Allah aku menangis bukan karena ingin lama hidup di dunia atau takut menghadapi kematian, akan tetapi aku menangis karena jauhnya perjalanan dan alangkah sedikitnya bekal. Sungguh saya berada di antara tebing dan jurang. Bisa jadi ke surga bisa pula tergelincir ke neraka, saya tidak tahu dimana saya akan sampai…” Kemudian beliau mengehela nafas pelan sedang bibirnya basah dengan dzikrullah.
Begitulah karakter generasi terbaik, amalnya mencapai puncak, tapi rasa takutnya juga mencapai puncak. Beliau dikenal ahli ibadah, ahli ilmu dan sangat zuhud. Hingga Alqamah bin Martsad berkata, “Puncak orang yang zuhud ada delapan orang dan yang terdelapan adalah Amir bin Abdillah At-Tamimi.”
Lalu bagaimana dengan kita? Adakah kita merasa cukup dengan bekal yang telah kita siapkan untuk perjalanan yang maha panjang?

Rabu, 11 April 2012

HIDUP



Ada yang mencaci, ada yang menghina, ada yang memaki dan ada yang memuji. Ini hidup Nak kau harus tahu itu, butuh ketangguhan untuk menghadapinya. Kau harus menjadi batu, kau juga harus menjadi air. Batu adalah partikel padat yang bisa kau gunakan untuk melempar orang-orang yang kau tak suka, batu juga bisa kau gunakan untuk bertahan hidup walaupun nanti akan terkikis bila selalu kau pakai. Air… ya air, kau juga harus menjadi air yang mengalir, bisa meresap elemen apapun bila tidak kau akan terus mengalir sampai kau tahu apa yang harus kau tuju. Air juga kadang keras seperti batu, melebihi batu malah, dia bisa menghancurkan apapun, bila kau mau.

Kalau kau hanya menjadi daun-daun yang hijau dan indah dipandang, kemudian kau menguning dan mengering, kau akan terbawa angin, lepas dari ranting-ranting yang kau tempati, mengikuti angin yang menghempasmu kemudian kau akan jatuh ke tanah, diiringi injakan makhluk-makhluk lain yang tak menganggapmu ada.

Bila kau mau menjadi bunga, bunga apa yang akan kau pilih? Mawarkah? Yang menunjukan keangkuhan lewat durinya. Padahal ia sangat disukai semua orang, mengapa ia begitu takut disentuh orang-orang yang hanya akan merusaknya dan mengapa dia begitu berbelas asih untuk orang-orang yang jatuh cinta? Perlu kau tahu Nak, kelopaknya akan runtuh seiring kau mencintainya, durinya akan menusukmu karena kau sangat ingin memilikinya. Kau harus tahu Nak, hidup bukan sekedar menyenangkan orang lain yang melihatmu, atau hidup bukan sekedar untuk menjaga keindahanmu saat itu. Hidup adalah jalan kita menuju Rabb yang Khaliq.

Kau suka senandung Nak? Senandung yang membuatmu bahagia, senandung yang membuatmu menangis, senandung yang membuatmu berarti, senandung yang membuatmu tiada. Hidup bagaikan syair-syair yang kau senandungkan lewat gema yang kosong, kau akan mendapatkan suaramu kembali dengan utuh dan begitu keras. Kau harus mempersiapakan telinga untuk mendengar, kau harus mempersiapkan mulut untuk berkelit, kau harus mempersiapakan hati untuk merasa. Tak ada yang luput dari pengawasan-Nya Nak.

Apa kau pernah merasa sepi? Sepi karena sendiri, sepi karena ramai, sepi karena kau tak tahu apa yang kau mau. Rasa sepi itu menyakitkan kau bisa mati karenanya, jadi berhati-hatilah kau menjaga hatimu.

Yang mereka ingin…

kau terus berkibar seperti angin
kau terus kuat seperti tanah
kau terus tersenyum seperti matahari
kau terus bahagia seperti embun
kau terus bertahan seperti cahaya

Kau tidak sendiri…
masih ada aku
masih ada dia
masih ada kami
masih ada mereka
masih ada hari esok
masih ada Tuhan

Ya Tuhan… apa kau sudah mengenalNya? Cobalah berkenalan denganNya, jatuh cinta padaNya, merindukanNya. Kau tidak akan sengsara, kau tidak akan terluka, walau seisi dunia tak kau punyai. Berbagilah denganNya, ceritakan saat kau sedih, ceritakan saat kau bahagia, lewat kidung-kidung doa yang kau panjatkan. Percayalah bahwa Dia tidak akan meninggalkanmu, meski kau berbuat salah, meski kau berpaling dariNya. Dia tidak marah, Dia hanya menyentuhmu dengan lembut lewat surat-surat cinta yang selalu kau baca selepas duniamu. Ingatlah Nak… kau harus tetap semangat karena Tuhan selalu mengabulkan apa-apa yang kau inginkan.
For My Prudent… we love you all 


*Kompasianer

Selasa, 10 April 2012

Manakala Hidupmu Tampak Susah Untuk Dijalani...

 Seorang professor berdiri di depan
kelas filsafat dan mempunyai
beberapa barang di depan mejanya.

Saat kelas dimulai, tanpa
mengucapkan sepatah kata, dia
mengambil sebuah toples mayones
kosong yang besar dan mulai mengisi
dengan bola-bola golf.

Kemudian dia berkata pada para
muridnya, apakah toples itu sudah
penuh? Mahasiswa menyetujuinya.

Kemudian professor mengambil sekotak
batu koral dan menuangkannya ke
dalam toples. Dia mengguncang dengan
ringan. Batu-batu koral masuk,
mengisi tempat yang kosong di antara
bola-bola golf.

Kemudian dia bertanya pada para
muridnya, Apakah toples itu sudah
penuh? Mereka setuju bahwa toples
itu sudah penuh.

Selanjutnya profesor mengambil
sekotak pasir dan menebarkan ke
dalam toples...

Tentu saja pasir itu menutup segala
sesuatunya. Profesor sekali lagi
bertanya apakah toples sudah penuh?

Para murid dengan suara bulat
berkata, "Yaa!"

Profesor kemudian menyeduh dua
cangkir kopi dari bawah meja dan
menuangkan isinya ke dalam toples,
dan secara efektif mengisi ruangan
kosong di antara pasir.

Para murid tertawa...

"Sekarang," kata profesor ketika
suara tawa mereda, "Saya ingin
kalian memahami bahwa toples ini
mewakili kehidupanmu.
"

"Bola-bola golf adalah hal-hal yang
penting - Tuhan, keluarga, anak-anak,
kesehatan, teman dan para
sahabat. Jika segala sesuatu hilang
dan hanya tinggal mereka, maka
hidupmu masih tetap penuh.
"

"Batu-batu koral adalah segala hal
lain, seperti pekerjaanmu, rumah
dan mobil.
"

"Pasir adalah hal-hal yang lainnya
- hal-hal yg sepele.
"

"Jika kalian pertama kali memasukkan
pasir ke dalam toples,
"  lanjut
profesor, "Maka tidak akan tersisa
ruangan untuk batu koral ataupun
untuk bola-bola golf. Hal yang sama
akan terjadi dalam hidupmu
."

"Jika kalian menghabiskan energi
untuk hal-hal sepele, kalian tidak
akan mempunyai ruang untuk hal-hal
yang penting buat kalian
"

"Jadi..."

"Berilah perhatian untuk hal-hal
yang kritis untuk kebahagiaanmu.
Bermainlah dengan anak-anakmu.
Luangkan waktu untuk check up
kesehatan.


Ajak pasanganmu untuk keluar makan
malam. Akan selalu ada waktu untuk
membersihkan rumah, dan memperbaiki
mobil atau perabotan.
"

"Berikan perhatian terlebih dahulu
kepada bola-bola golf - Hal-hal
yang benar-benar penting. Atur
prioritasmu. Baru yang terakhir,
urus pasir-nya
."

Salah satu murid mengangkat tangan
dan bertanya, "Kalau Kopi yg
dituangkan tadi mewakili apa?"

Profesor tersenyum, "Saya senang
kamu bertanya. Itu untuk menunjukkan
kepada kalian, sekalipun hidupmu
tampak sudah begitu penuh, tetap
selalu tersedia tempat untuk
secangkir kopi bersama sahabat"
:-)

Senin, 09 April 2012

Memandang Langit



Jam pelajaran Fisika telah usai bersamaan dengan berdentangnya lonceng sekolah, satu persatu satu Nessa dan Ocha menuruni anak tangga sekolah.
”Nes, aku ke perpus dulu ya ngembaliin buku, tungguin di depan gerbang sekolah aja?”
“ Ya, buruan Cha jangan lama-lama,” jawab Nessa tersenyum simpul.
Lima belas menit Nessa menunggu di depan gerbang sekolah, akhirnya Ocha datang juga. Lantas, mereka memutuskan untuk pulang bersama.

Nessa dan Ocha bersahabat sejak pertama kali mereka duduk di bangku SMA, keduanya seakan sudah khatam membaca tabiat masing-masing, sekalipun ada cekcok tidak pernah menjadi ribut besar. Mereka saling mengisi dan melengkapi satu sama lain. Di sekolah, Nessa terbilang anak yang supel dan periang. Tapi sayang, ia cenderung bersikap pendiam saat kembali pulang ke rumah, karena seringkali didapatinya rumah dalam keadaan sepi. Nessa merupakan anak bungsu dari dua bersaudara, kakak lelaki satu-satunya, Ryan melanjutkan kuliah di Semarang dan tinggal bersama neneknya, sementara kedua orangtuanya bekerja di sebuah perusahaan yang sama dari pagi hingga sore hari. Tak jarang, kedua orangtuanya pulang hingga larut malam karena mengurusi pekerjaan. Materi memang tercukupi, namun kasih sayang tidak terpenuhi. Hanya Bi Inah lah yang setiap hari menemaninya di rumah.

***

Pagi-pagi sekali, ayah dan bunda Nessa harus terbang ke kota Makassar karena ada rapat mendadak. Sehingga harus meninggalkan Nessa bersama Bi Inah di rumah. Dibangunkannya Nessa oleh sang bunda, ia tampak masih setengah tertidur.

”Nessa baik-baik ya di rumah. Bunda sama Ayah ada pekerjaan di luar kota. Lusa juga Bunda langsung pulang ko, kalo perlu apa-apa tinggal bilang aja sama Bi Inah ya?” diciumnya kening Nessa oleh ayah dan bundanya, ia cemberut sambil menekuk wajahnya.

Selang 30 menit kemudian, saat embun pagi masih membasahi bunga-bunga di pekarangan rumah, Nessa bergegas mengendarai sepeda motor menuju rumah Ocha, untuk berangkat sekolah bersama. Hanya menunggu sepuluh menit, kemudian Ocha menghampiri Nessa.

Mereka terlihat sangat kompak, keduanya berlalu meninggalkan rumah Ocha melaju membelah jalanan kota hujan menuju sekolah.

***

Jam istirahat, Nessa dan Ocha habiskan di bawah pohon rindang sambil ditemani beberapa cemilan. Sementara Ocha asyik dengan sate bakso bakar yang berada di genggaman tangannya, Nessa justru sama sekali belum menyentuh makanannya.

“Ko bengong sih Sa? Kenapa?” Ocha urung melahap bakso bakar yang hampir menyentuh bibir mungilnya.
“Enggak tau, aku enggak nafsu aja,” jawab Nessa sambil menengadah ke langit memandangi sekawanan burung-burung yang berterbangan.
“Aku iri sama kamu Cha. Kebahagiaanmu begitu lengkap, mempunyai keluarga yang utuh, saling menjaga satu sama lain. Tidak seperti aku!”

Ocha memandang Nessa iba, meskipun Ocha berasal dari keluarga sederhana tapi ia mempunyai keluarga yang sangat perhatian padanya. Nessa kembali melanjutkan ceritanya sebelum Ocha menanggapinya, “Ayah sama Bunda sibuk mencari materi, Ka Iyang enggak pernah pulang, di rumah aku cuma tinggal sama pembantu, aku rindu kebersamaan itu?” Nessa hampir tak mampu membujuk cairan pelindung matanya supaya dia tidak menampakkan dirinya.

“Sabar ya Sa, orangtua kamu kan kerja buat kamu juga? Iya kan? Kalo Kak Iyang, kan dia lagi sibuk nyusun skripsi, kalo udah waktunya juga dia pulang?” Ocha mendengus pelan.

Lonceng kuno sekolah berbunyi menandakan jam istirahat telah usai. Nessa dan Ocha berlalu meninggalkan taman sekolah menuju kelas.

***

Siang itu awan mendung menghiasi langit Bogor. Nessa baru saja tiba dari sekolah, setelah membuka sepatu, kemudian ia bergegas masuk ke kamarnya. Bi Inah sibuk dengan setumpuk pekerjaannya di dapur. Sementara itu telepon rumah berdering, diangkatnya telepon tersebut. Usai berbicara dengan orang yang berada di ujung telepon, raut wajahnya seketika menjadi muram, terlihat ada kesedihan yang sangat mendalam. Betapa terkejutnya Bi Inah dengan berita yang ia terima bahwa pesawat yang ditumpangi majikannya yang tak lain adalah kedua orangtua Nessa mengalami kecelakaan. Di depan kamar terlihat gadis yang baru beranjak dewasa itu sedang berdiri, bersandar pada pintu kamarnya.

“Siapa Bi yang telepon, Bunda ya?” Bi Inah tak tahu harus menjawab apa. Ia takut jika mengatakan yang sebenarnya akan melukai hatinya, namun lambat laun Nessa juga akan mengetahui yang sebenarnya. Bi Inah menghampiri Nessa, matanya berkaca-kaca. Ada air mata yang tertahan disudut matanya. Sedang Nessa merasa heran, prasangka buruk pun mulai merasuki pikirannya.

”Kenapa Bi, Bibi ko nangis? Tadi telepon dari siapa? Bibi bilang sama aku?” Nessa mengoyang-goyangkan tubuh Bi Inah dan memaksanya untuk bicara. Tapi Bi Inah memilih untuk memberitahu Nessa secara perlahan. Dengan terbata-bata Bi inah mengatakan hal yang sejujurnya. Seketika Nessa histeris. Air mata tak henti-hentinya mengalir dari pelupuk matanya. Sekujur tubuhnya lemas tak ada tenaga. Bi Inah tidak bisa berbuat apa-apa selain mendekap erat tubuhnya. Nessa begitu terpukul atas kejadian ini. Ia hanya bisa berdoa memohon pada Tuhan semoga orangtuanya dapat segera ditemukan dalam keadaan selamat.

***

Jatuhnya pesawat yang ditumpangi kedua orangtua Nessa sudah menyebar ke seluruh penjuru sekolah. Bahkan, sejak dua hari setelah kejadian itu Nessa absen tidak masuk kelas.

Dari hari ke hari ia selalu mengikuti pemberitaan di televisi. Namun, pesawat yang di tumpangi kedua orangtuanya dinyatakan hilang. Tim evakuasi yang terdiri dari tim SAR dan Polisi pun tak menemukan bangkai pesawat tersebut. Padahal polisi sudah menyusuri tempat yang diduga tempat jatuhnya pesawat. Pencarian dilakukan baik di darat maupun di lautan namun tak jua membuahkan hasil.

Satu pekan sudah hilang dan jatuhnya pesawat yang ditumpangi kedua orangtua Nessa. Sementara itu, di rumah ia ditemani Ryan serta beberapa sanak saudara lainnya yang menungggu kabar tentang keberadaan orangtua Nessa. Wajah orang-orang yang keluar masuk rumah begitu muram tak ada senyuman. Di depan rumah berjejer beberapa karangan bunga, padahal nasib meninggalnya kedua orangtua Nessa pun masih belum diketahui secara pasti. Namun, jika memang benar, betapa pilunya hati gadis ini. Ia harus kehilangan kedua orangtuanya dalam waktu yang bersamaan.

Ia tak tahu harus menanyakan pada siapa, meminta tolong pada siapa selain pada Tuhan ia menggantungkan segala harapannya, meski pihak kepolisian menyatakan seluruh awak dan penumpang pesawat dinyatakan tidak ada yang selamat karena proses pencarian sudah memakan waktu lebih dari seminggu. Namun disaat asanya yang sudah menipis, ia masih terus berharap dan berdoa semoga kedua orangtuanya dapat segera ditemukan dalam keadaan selamat, dan keajaiban itu akan datang untuknya. Nessa masih belum percaya jika kedua orangtuanya sudah tiada selama belum melihat jasadnya.

***

Keesokan harinya Nessa memutuskan untuk kembali ke sekolah, ia tak ingin terlalu larut dalam kesedihan. Namun sejak kejadian itu, Nessa yang biasanya adalah sosok gadis periang kini lebih cenderung pendiam.

“Sa, ke kantin yuk?” ajak Ocha dan Sisil.
“Aku disini saja. Enggak laper” Ocha dan Sisil tidak tahu harus berbuat apa untuk mengembalikan sosok Nessa seperti semula. Semenjak kejadian itu, Nessa mempunyai hobbi baru. Ia lebih senang menyepi memandang langit baik di rumah maupun di sekolah, karena menurutnya, jika bersedih pandanglah langit, maka kita akan merasakan Tuhan senantiasa bersama kita, dan ketika ia memandang langit, ia seperti melihat wajah ayah dan bundanya. Terkadang, terlihat ia sering berbicara sendiri sambil menopang dagu memandang langit.

***


Saat makan malam, ia melihat sebuah tayangan di televisi. Seorang narasumber mensinyalir bahwa pesawat yang hilang itu tersedot oleh arus Segitiga Bermuda, karena kejadian serupa juga pernah terjadi beberapa tahun silam. Hal itu pun membuat rasa penasarannya dipecahkan dengan browsing melalui Google perihal segitiga bermuda.
Derai air mata tak henti-hentinya mengalir membasahi pipinya, saat ia membaca artikel yang ia searching tentang Segitiga Bermuda, fenomena alam yang baru pertama kali ia dengar. Naasnya, mengapa hal ini harus terjadi pada orangtuanya, harta paling berharga yang ia miliki di dunia. Nessa terdiam, antara percaya atau tidak dengan ulasan tentang Segitiga Bermuda. Mungkin jika apa yang ia baca itu benar, ia tidak akan pernah bisa melihat senyum orangtuanya untuk selama-lamanya. Impian untuk membahagiakan kedua orangtuanya saat melihat ia wisuda sarjananya pun sirna.





***
Hingga hampir tengah malam ia belum juga tertidur, ia masih duduk sendiri di teras rumah sambil memandang langit bertemankan hembusan angin kencang yang silih berganti menyapanya. Ryan hanya memandang adiknya dari balik tirai jendela kamarnya, dan kemudian menghampirinya.
“Ko belum tidur sih dek? Angin malam tuh enggak baik buat kesehatan. Sana, cepet tidur?” Ryan duduk disamping Nessa.
“Nessa kangen sama Ayah, kangen sama Bunda juga...Ayah sama Bunda lagi apa ya Kak? Mereka tidur dimana? Udah makan belum ya Kak?” Bibir Nessa bergetar, sorot matanya mengisyaratkan bahwa ia begitu merindukan kedua orangtuanya. Ryan tersenyum pahit, tatapannya menerawang kosong mendongak ke langit yang pekat dengan kabut malam.
“Sabar ya dek, Kakak juga sama kangen sama Ayah Bunda, Tapi Kakak juga enggak tau mereka ada dimana. Insya Allah Kakak udah ikhlas dek, kamu juga harus ikhlas ya sayang,” ujar Ryan mengelus-ngelus rambut Nessa.
“Tapi Kak?”
“Tapi apa? Hemm... gini, misalnya Kakak dipinjemin motor sama Yoga, Kakak udah sayang...banget sama motornya terus besoknya diambil lagi sama Yoga. Apa Kakak berhak marah ketika barang yang bukan milik Kakak diambil sama yang punyanya?” Nessa menggelengkan kepalanya.
“Sama halnya dengan Kakak yang sayang sama Ayah Bunda, tapi ternyata Tuhan lebih sayang sama mereka karena Tuhan adalah pemiliknya, intinya Tuhan yang memberi dan pada Dia pula semua akan kembali,” Nessa berulang kali menyeka bulir air mata yang menyusuri pipinya mendengar nasehat Ryan.
Dalam setiap lima waktunya, Nessa tak pernah lelah menaruh harapannya pada Tuhan, memohon yang terbaik untuk kedua orangtuanya.
”Ya Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, aku mohon dengarlah doaku. Lindungilah kedua orangtuaku dimanapun mereka berada. Apapun yang menjadi keputusan-Mu aku sudah ikhlas jika memang Engkau telah mengambil mereka dariku. Ijinkan tim evakuasi menemukan jasad keduanya. Dan berikanlah surga untuk keduanya. Berikan aku ketabahan dan kesabaran dalam menghadapi ujian-Mu ini ya Allah. Amin,” desahnya haru.


***
Empat tahun kemudian...
Seorang wanita cantik dengan balutan jins hitam serta sweater merah marun turun dari mobil xenia hitamnya, Ya wanita tersebut adalah Nessa. Semenjak lulus SMA, Nessa ikut bersama Ryan ke Semarang melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi. Meniggalkan Ocha, Sisil, Bi Inah, serta segudang kenangan di rumah yang belasan tahun pernah ditempatinya, Hari itu ia kembali menapaki jejak masa kecilnya, bertahun-tahun rumah itu memang tak berpenghuni, namun dipaksa tetap berdiri bak prasasti , kokoh berdiri meski nyaris tak terurus. Mungkin tak berharga secara wujud fisik. Tapi rumah itu bermakna karena cerita yang pernah ada di dalamnya. Setiap sudut rumah ini ada kisahnya, baik menyenangkan maupun tidak. Pada tiang-tiangnya tak pernah berganti. Seolah-olah pada dindingnya masih terukir jelas hasil coretannya dulu yang bentuknya tak karuan ketika baru bisa menulis.


“Nessa kangen sama Ayah, sama Bunda...,”ujarnya sambil membersihkan foto keluarga yang hampir seluruh permukaannya tertutup debu. Begitulah kenangan. Kita seringkali melekat pada dimensi visual, suara ataupun aroma dari sebuah benda yang mungkin kita pernah berinteraksi dengannya.
Meski sampai detik ini jasad kedua orangtua Nessa belum juga ditemukan, Nessa masih belum berhenti berharap, meskipun harapannya melihat kedua orangtuanya pulang kembali ke rumahnya sangat tipis. Empat tahun sudah musibah itu berlalu, namun hal itu tidak membuat Nessa berlama-lama larut dalam kesedihan. Nessa bangkit kembali melanjutkan hidupnya meski ia sendiripun tak pernah tahu lagi tentang keberadaan orangtuanya. Kini, Nessa tercatat sebagai Mahasiswa tingkat akhir jurusan psikolog di sebuah Perguruan Tinggi Negeri di kota Semarang.


***


Satu minggu kemudian.....
Hari ini Nessa diwisuda, hanya Ryan yang berada di sampingnya. Alangkah bahagianya Nessa apabila kedua orangtuanya ikut mendampinginya dan dapat melihat Nessa tumbuh menjadi dewasa. Namun hal itu pun mungkin kini hanya tinggal khayalan semata. Nessa terlihat sangat cantik dan anggun dengan kebaya biru yang dikenakannya, ditambah lagi dengan balutan baju wisuda lengkap dengan toganya.
Usai prosesi wisuda, sambil memandang langit ia berkata lirih, “Ayah, Bunda hari ini Nessa diwisuda. Nessa pakai baju toga, seperti impian Bunda???” ujarnya menangis haru karena rindu yang telah bertahun-tahun menyesakkan rongga dada.