Kamis, 24 Juli 2014

Tak Ada Doa yang Sia-Sia


Jarum jam terus melaju cepat menunjukkan pukul 22.30 WIB, namun Alia masih saja berkutat di depan laptop kesayangannya. Berjam-jam berada di depan laptop untuk menulis memang sebuah rutinitas yang menyenangkan baginya. Tak sengaja, ia menemukan file lama berjudul ‘Tentang Ayah’ saat merapikan semua file tulisannya yang sedang ia susun berdasarkan tahun. Seperti biasa apabila jenuh mulai merajai pikirannya, sejenak Alia memilih untuk berselancar di dunia maya dengan membuka beberapa akun jejaring sosial miliknya mulai dari facebook, twitter dan kompasiana. Alia pun memutuskan untuk mempublikasikan tulisan ‘Tentang Ayah’ di akun kompasiana miliknya yang kemudian ia share di akun facebook.
Hanya dalam hitungan menit sebuah komentar muncul di tautan yang ia share sebelumnya, Terus berikan yang terbaik untuk Ayah, agar beliau dapat tersenyum bangga melihat anak bungsunya”. Alia merasa aneh membacanya. Bagaimana tidak yang memberi komentar adalah asisten dosen lab, pria keturunan chiness bernama Wira Gunawan yang dalam kesehariannya seringkali memandang Alia dengan tatapan sinis.
Dengan cepat Alia membalas komentar Wira, sekedar ucapan terima kasih karena telah berkesan membaca tulisannya. Namun dari hari ke hari komentar di tautan tersebut pun berlanjut, dari mulai komentar Wira mengenai tulisan Alia, bertanya kabar satu sama lain, tugas akhir, hingga sampai membahas persoalan yang tidak penting sekalipun. Bagi Alia, bertegur sapa si dunia maya dengan Wira adalah barang langka.
***
Sepulang kuliah, tak sengaja keduanya bertemu di lobi kampus. Yang sebelumnya Alia merasa enggan walaupun hanya sekedar menyapa Wira tapi kali ini, Alia beranggapan sosok asisten lab yang selama ini dikenalnya cendrung jutek dan menyebalkan bisa juga menjadi teman cerita yang menyenangkan.
Suasa lobi kampus tampak lengang, tak ada kegaduhan mahasiswa yang terlihat seperti biasanya, mungkin karena hari itu sudah hampir petang jadi hanya ada beberapa mahasiswa saja yang berada di sana yang sibuk dengan aktivitasnya masing –masing. Dari kejauhan Alia sudah dapat menebaknya bahwa sosok yang sedang berjalan searah dengannya adalah Wira karena ia selalu mengenakan pakaian hitam putih jika berada di lab komputer. Keduanya berpapasan.
“Hei Kak Wira, kemana aja kok gak pernah keliatan di kampus?”
“Biasa jadwal padat hehe” Wira memang tipikal orang yang tak pernah banyak bicara.
“Oh iya semester depan masih jadi asdos gak Kak?” tanya Alia sambil memilin-milin ujung jilbanya.
“Alia, maaf ngobrolnya lain kali ya saya lagi buru-buru” Wira melempar senyum yang kemudian dibalas cepat oleh Alia dengan anggukan kepala. Ada beragam tanya dibenak Alia melihat tingkah Wira yang terlihat aneh, dahi Alia berkerut dengan sorot mata yang kebingungan. Wira adalah kakak tingkat Alia yang sekaligus merangkap sebagai asisten dosen. Sudah 4 semester ini Alia di bimbing oleh Wira apabila praktikum membuat program. Di kampus, Wira memang lebih sering terlihat di lab sebagai asisten dosen ketimbang sebagai mahasiswa pada umumnya. Jadi, tak heran jika ia bersikap dingin seperti barusan.
***
Serasa baru kemarin Alia gagal mengikuti tes SNMPTN, namun sekarang ia sudah sampai di titik akhir masa-masa kuliahnya. Ya sekalipun ia pada mulanya merasa enggan untuk kuliah di jurusan manajemen informatika, namun lambat laun ia mulai terbiasa menjalaninya. Alia juga masih sesekali menulis apabila ada waktu luang. Ia selalu ingat ucapan sahabatnya, bahwa untuk menjadi seorang penulis itu tidak harus berlatar belakang pendidikan sastra indonesia. Hanya bermodal yakin ia mencoba menyeimbangkan antara kuliah dan tetap menulis, hal yang sangat disukainya sejak duduk di bangku kelas 6 sekolah dasar. Namun kali ini tugas akhir hampir menyita waktu luangnya untuk menulis, ia pusatkan perhatiannya pada tugas akhir, berharap kuliahnya dapat selesai tahun ini.
Sementara di tempat yang berbeda Wira tampak larut dalam lamunannya. Ada hal serius yang sedang dipikirkannya.Wira memang telah terbebas dari bayang-bayang sidang tugas akhir karena Wira sudah diwisuda sejak 5 bulan yang lalu dengan hasil yang sangat memuaskan. Namun, masalah baru muncul ia merasa dilema memikirkan langkah apa yang harus ia ambil setelah lulus kuliah, meneruskan ke jenjang yang lebih tinggi atau bekerja terlebih dahulu. Hingga Wira mengalami dilema yang cukup akut.
***
Setelah dua minggu berlalu keduanya bertemu kembali di sebuah lesehan sunda dekat kampus karena saat itu memang sudah jamnya makan siang. Namun kali ini ada yang berbeda, semenjak komentar facebook Alia dan Wira terlihat lebih akrab dari biasanya keduanya pun memutuskan untuk makan di meja yang sama dan terlibat dalam obrolan panjang dari hujan rerintik hingga menjelma menjadi hujan yang sangat deras sampai hujan sudah reda pun mereka masih larut dalam cerita dan gelak tawa.
“Alia maaf ya waktu itu saya buru-buru soalnya waktu itu saya mau tes instruktur tapi akhirnya saya gagal juga, terus kalo gak salah kamu nanya tapi belum saya jawab ya, semester depan saya sudah gak jadi asdos lagi kontrak saya sudah habis. hehe…” Wira menyeruput jus mangga dihadapannya sementara Alia terlihat langsung tersedak.
“Lho gimana ceritanya Kak, kok bisa gagal sih terus kenapa gak diperpanjang jadi asdosnya Kak?”
Masa kerja saya udah habis, jadi pasti asistennya bukan saya. Siapapun yang ngajar sama aja, yang penting patokan semangat belajarnya di diri sendiri bukan di yang ngajarnya ya hehe…” tak lama makanan yang dipesan keduanya sudah datang, “makasih Mbak,” ujar keduanya serentak.
“Idih Kak Wira geer banget deh hehe,” jawab Alia melempar potongan lalapan timun ke arah Wira. Wira hanya tertawa pelan melihat kekonyolan tingkah Alia.
Hujan deras membuat banyak orang yang sebelumnya telah selesai makan siang terjebak dalam sebuah pendopo kayu bertirai bambu, meskipun ada beberapa orang yang nekat menerobos hujan siang itu. Namun Alia dan Wira lebih memilih menunggu hingga hujan reda.
“Kamu suka nulis ya? Sejak kapan?” tiba-tiba Wira kembali membuka pembicaraan.
“Sudah lama sih dari kelas 6 SD cuma ya gitu pasang surut hehe”
Good… good…, terus berkarya sesuai minat dan keinginanmu terlepas dari apapun studi yang ditempuh, kamu harus yakin pasti bisa tapi jangan lupa juga kerjain tugas akhinya ya hehe” tutur Wira bijak. Alia mengacungkan jempolnya seraya tersenyum. Selang beberapa menit kemudian Wira malah terlihat melamun, memandang butiran-butiran air hujan yang jatuh tepat dihadapannya.
“Tenang Kak gak usah galau gitu. Gagal jadi instruktur tapi masih ada lowongan kok buat bantu tugas akhir aku hehe,” canda Alia membuyarkan lamunannya.
“Wooo maunya, galau sih enggak cuma masih kecewa aja padahal saya sangat berharap disitu, tapi saya harus menerimanya dengan lapang dada, pasti masih ada rencana yang lebih baik buat saya” ujar wira sambil memainkan sebuah sedotan yang berada didalam gelas jus mangganya.
“Dulu, waktu aku dinyatakan gagal di universitas negeri aku sempet marah sama Tuhan, menganggapnya tidak adil. Padahal setiap selesai salat aku gak pernah lupa berdoa memohon yang terbaik tapi aku yang mati-matian berjuang harus pulang sore tiap hari, bahkan malam hari tak kunjung diterima di PTN. Tapi, temen-temenku yang terkesan biasa-biasa aja justru lebih mudah masuk di universitas yang mereka mau”
“Tapi…tau gak Kak orang yang sedang berdoa itu ibarat seorang pengamen lho, konteksnya sama sama meminta diiringi usaha, tapi gak semua pengamen mendapatkan imbalan yang serupa tergantung usahanya dulu seperti apa”
Air yang dengan derasnya turun dari langit itu perlahan sudah tidak tampak lagi, hanya menyisakan aroma bau tanah sehabis hujan dan air yang mengendap di beberapa pohon di sekitar pendopo yang saat ini sedang ditempati Alia dan Wira.
“Maksudnya?” Wira tampak bingung dengan penuturan Alia barusan. Dan entah kebetulan atau apa siang itu, setelah hujan reda tak jauh dari meja Alia dan Wira ada dua orang pengamen yang berada di lesehan sunda tersebut sehingga dengan mudah Alia menganalogikan serta menjelaskan apa yang tadi diutarakannya.
“Lihat deh pengamen itu coba Kakak perhatiin baik-baik” Alia menunjuk dua orang pengamen remaja di depan orang yang sedang makan siang. Wira memperhatikan pengamen itu dengan seksama sementara Alia kembali melanjutkan pembicaraannya.
“Karena mereka asal-asalan nyanyinya terus ga jelas intonasi nadanya, tanpa lebih dulu menunggu lagu yang dinyanyikannya selesai buru-buru sepasang kekasih itu memberinya uang sekadarnya saja supaya mereka cepat pergi sebelum gendang telinga mereka pecah. Lain halnya dengan pengamen bersuara merdu dan menyanyi dengan santai yang berada di meja sana tuh Kak.” Alia menunjuk seorang pengamen bertubuh tinggi dengan gitar coklat yang dibawanya.
“Tuh Kak liat deh mbak-mbak itu tampak menikmati alunan musik dan indahnya syair lagu yang dibawakannya. Merdu, syahdu…bahkan ketika lagu yang dibawakan pengamen itu selesai Mbak tersebut seperti ingin mendengarnya lagi dan lagi.”
“Terus hubungannya apa?”ujar Wira kembali bertanya.
“Sama halnya dengan orang berdoa Kak, kalo orang yang berdoa itu tergesa-gesa, gak sabar nunggunya tapi dengan usaha yang biasa-biasa aja kemudian ingin doanya segera dikabulkan, dengan cepat Tuhan akan mengabulkan doanya namun dengan hasil yang biasa-biasa pula. Seperti pengamen dengan suara asal-asalan tadi yang mendapat imbalan sekadarnya saja. Lain halnya dengan orang yang senantiasa berdoa disertai usaha dan kesabaran dalam menunggu doanya. Sekalipun Tuhan begitu lama mengabulkan doanya itu bukan berarti Tuhan menolak atau bahkan tidak mendengar doa kita, hanya saja Tuhan sedang mengabulkan doa-doa kita yang lainnya. Dan satu lagi itu artinya Tuhan senang mendengar rintihan doa kita Kak, lalu kesabaran kita akan diganti dengan imbalan di atas rata-rata juga. Sama halnya seperti pengamen kedua tadi sekalipun Mbak-Mbaknya lama memberikannya uang tapi ia menikmati prosesnya dan pastinya ia diberi uang yang lebih besar ketimbang dengan pengamen pertama yang nyanyinya asal-asalan”
“Waaaah iya iya pinter juga kamu ya hehe” Wira baru sadar atas apa yang dituturkan oleh Alia.
“Dari dulu kali ka hehe”
“Perasaan enggak deh, pis…hehe” Wira menyunggingkan senyum khasnya meledek Alia.
“Hush jangan suka pake perasaan, jargon favoritnya Kak Wira kalo program aku error di lab sambil ngeloyor pergi hahaha” dengan cepat Alia membalas ledekan Wira.
Hahaha habis kamu terlalu berperasaan sih buat meriksa errornya. Ditinggalin tuh supaya kamu usaha nyari dulu, kalau ‘disuapin’ melulu gak akan bisa hehe.”
“Waktu saya gak lolos jadi instruktur, sekitar satu bulan lebih saya terus bertanya pada Tuhan, kenapa saya ga lolos, padahal tujuan saya adalah untuk memuliakan-Nya.” Alia tampak serius sekali mendengarkan cerita Wira.
“Saya meminta pendapat dari teman-teman, guru-guru juga pendeta.
Kalau mereka jadi saya, apa yang mereka pilih. Kuliah tapi membebani keluarga untuk masalah biaya atau bekerja tapi meninggalkan hasrat dan semengat untuk terus belajar. Jawaban beragam mereka berikan pada saya, tapi bodohnya saya lupa ajukan pertanyaan itu pada Tuhan lewat doa. Saya bertanya pada-Nya lewat doa, Tuhan boleh gak saya lihat setitik saja rancangan yang Engkau mau lewat hidupku. Pada akhirnya Tuhan menyampaikan jawaban-Nya pada saya melalui saat teduh doa, pembacaan & perenungan Alkitab, jawaban yang saya dapat Wira… apapun yang kamu pilih, pilihan itu ditujukan untuk memuliakan Tuhan di atas segalanya, jangan membebani orang lain (kamu harus kerja) dan tidak boleh mengubur impianmu sendiri (kamu harus kuliah) serta lakukan semua itu dengan penuh tanggung jawab. Dan saya masih terus berusaha sampai saat ini untuk mencapai itu.
“Saat yang teduh itu maksudnya apa Kak, terus jawaban itu didapat ketika apa?” Alia tampak menunjukkan rasa keingintahuannya yang sangat besar alias kepo.
Saat yang teduh itu, mungkin kalau dalam islam itu adalah waktu subuh waktu di mana sebelum manusia memulai segala aktivitasnya. Dan jawaban itu saya dapat ketika saya membaca alkitab seperti ada sebuah pencerahan dalam pemikiran saya”
“Oh gitu ya…hemmm” ada decak kagum yang menyelinap dihati Alia mendengar penuturan Wira, dan hari itu ia mendapatkan sebuah pelajaran yang berharga bahwa doa itu adalah senjata yang paling ampuh dalam setiap masalah apapun dan dalam agama apapun.
Sampai pada akhirnya tibalah waktu di mana Alia menjalani sidang tugas akhir, hari itu setelah sidang tugas akhirnya berhasil ia lalui tanpa ia kira sebelumnya ia mendapat kabar bahwa buku kumpulan cerpennya terbit. Hal itu sekaligus membuktikan keajaiban doanya bertahun-tahun yang lalu, dulu ia bersikukuh untuk kuliah di jurusan sastra indonesia karena ingin menjadi seorang penulis tapi hari itu Tuhan membuktikan bahwa manajemen informatika tidak sedikitpun menghambatnya untuk terus aktif menggeluti dunia sastra. Dan berita yang tak kalah membuat Alia gembira satu mingga setelah kebahagiannya, Wira juga mendapatkan kebahagiaan yang sama. Kini ia sudah bekerja di sebuah perusahaan tanpa mengubur impiannya untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi, akhirnya ia bisa menyeimbangkan waktunya antara kerja dan kuliah.
Dua bulan setelah sharing tentang doa itu mereka memutuskan untuk kembali bertemu karena ingin berbagi kebahagian. Masih di tempat yang sama, di sebuah lesehan yang kental dengan nuansa pedesaan. Wira sudah tampak seperti pengusaha muda mengenakan kemeja berdasi.
“Cieeee yang udah kerja traktir dong hehe.” Goda Alia menyambut kedatangan Wira dengan senyum bahagianya.
“Emmm…ciee cieee yang buku kumpulan cerpennya udah terbit traktir juga doong hahaha” balas Wira usil.
“Hahaha yaudah kalo gitu bayar sendiri-sendiri aja deh ga jadi traktirnya sama aja kan? hehe”
“Lho ga bisa harus kecipratan rezeki masing-masing doong” Wira tampak mebolak balikkan buku menu.
“Ya udah kalo Kak Wira pengen banget traktir aku gak apa-apa, tapi aku traktir Kak Wiranya kapan-kapan aja ya haha…” Wira terdiam sesaat kemudian menghela nafas panjang, ”Oke deh tapi saya minta traktirnya setiap hari setiap jam makan siang ya Al… haha”
Rona bahagia terpancar dari wajah keduanya, dengan tatapan menerawang kosong ke arah air mancur kolam ikan yang berada disampingnya Alia berujar pelan,
“Hemm sekalipun kita mempunyai keyakinan yang berbeda, tapi kita mempunyai satu pemahaman yang serupa tentang doa. Ya, bahwa tak ada doa yang sia-sia sekalipun Tuhan begitu lama menjawabnya” lengkung pelangi terbalik menyeringai indah di wajah Alia dan Wira.
***


Mang Adim


Pagi-pagi sekali ketika satu persatu embun luruh dari ujung daun dari pengeras suara masjid terdengar sebuah pengumuman bahwa hari ini seluruh warga dihimbau untuk bekerja bakti membersihkan masjid, karena hanya tinggal satu hari lagi seluruh umat muslim di dunia akan menyambut bulan suci ramadhan. Bulan yang sangat istimewa dibandingkan sebelas bulan yang lain. Satu persatu warga dari kampung sebelah berdatangan memenuhi halaman masjid terlebih kaum adam, sedang ibu-ibunya bertugas untuk menyiapkan makanan dan minuman untuk bapak-bapak yang ikut bekerja bakti. Sedangkan warga dari komplek perumahan itu sendiri yang datang hanya beberapa. Meskipun jumlahnya tidak banyak setidaknya ada perwakilan yang ‘datang’ dari mayoritas yang ‘tidak datang’.
Masjid Darussalam berdiri begitu megahnya dengan arsitektur mewah yang bahan baku pembuatannya diimpor dari luar negeri. Sementara dananya didapat dari sumbangan warga komplek perumahan yang mempunyai kekayaan melimpah. Namun sayang masjid ini terkesan kurang terurus meskipun terletak di kawasan perumahan elit dan padat penduduk. Toiletnya terlihat kotor, karpet dan lantainya dibiarkan berdebu, mungkin mukena-mukena yang menggantung yang telah disediakan untuk tamu pun sudah berbulan-bulan tidak tersentuh aroma wangi dari sabun cuci. Setiap harinya para warga sibuk berkerja di kantor. Bapak-bapak yang kerapkali mengikuti salat berjamaah pun dapat dihitung dengan jari itupun berasal dari warga kampung sebelah. Mungkin, jika di masjid-masjid lain masih sering diadakan pengajian, lain halnya dengan mesjid megah ini yang selalu sepi. Tak ada ibu-ibu yang menggelar pengajian rutin meskipun hanya seminggu sekali. Ibu-ibu di komplek ini adalah istri dari para petinggi perusahaan yang gemarnya belanja, arisan dan mengikuti perkembangan fashion. Sedangkan anak-anak mudanya lebih gemar mencari kesenangan di mall ketimbang mencari pahala di masjid.
***
Melihat kondisi masjid yang tidak terurus inilah yang membuat Mang Adim, seorang lelaki paruh baya berusia 61 tahun merasa terpanggil untuk mengurus masjid. Semenjak istrinya meninggal dunia beberapa bulan lalu ia hidup sendirian dan kesepian karena tidak mempunyai keturunan. Sehingga ia memutuskan mengabdikan hidupnya agar bermanfaat untuk orang banyak dengan menjadi marbot di masjid.
Sedangkan rumah sederhana yang pernah ia tempati bersama istrinya dijual untuk menutupi hutang-hutangnya ketika membiayai pengobatan istrinya yang sudah menelan biaya cukup banyak. Kemudian sisanya ia gunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Kebetulan di samping tempat wudlu ada ruangan yang tidak terpakai, sehingga dimanfaatkan Mang Adim untuk kamar tidur. Ruangannya memang tidak besar. Namun cukup jika untuk hidup seorang diri.
Hari-harinya dihabiskan di lingkungan masjid. Mulai dari pagi hari ia sudah terlihat menyapu dan kemudian menyirami bunga-bunga dan pepohonan di halaman masjid. Siang harinya ia membersihkan puluhan toilet serta tempat wudhu sampai benar-benar bersih. Sementara untuk makan, terkadang ada warga yang berbaik hati membagi makanan untuknya. Namun begitu ia tak pernah mengharapkan pemberian dari orang lain, jika ada yang memberi ia terima dengan penuh rasa syukur namun jika tidak ada pun ia selalu membeli makan di warung dengan uang dari gaji yang diterimanya setiap bulan sebagai marbot masjid. Gajinya memang tidak besar, namun cukup jika untuk membiayai kebutuhannya sehari-hari. Sebanyak apapun rezeki yang Tuhan beri ia selalu menerimanya dengan kelapangan hati dengan wajah yang selalu berseri.
Jika sudah masuk waktu salat, seketika Mang Adim menghentikan seluruh aktivitasnya bergegas mengambil air wudlu. Selain menjadi marbot masjid, Mang Adim juga kerap kali bertindak sebagai muadzin menyerukan kumandang adzan. Menjelang sore harinya Mang Adim menyapu dan mengepel lantai masjid yang begitu luasnya dengan nafas terengah mungkin karena tubuhnya yang sudah renta. Rambutnya hampir seluruhnya memutih, jalannya sudah tidak tegap lagi, namun hal itu bukan penghalang baginya, buktinya ia mampu menyelesaikan tugasnya membersihkan masjid seorang diri.
Sekalipun dalam hidupnya ia merasa sangat kesepian, tapi Mang Adim yakin ia punya Tuhan yang tidak pernah sekalipun menginggalkannya sendirian. Ia tidak pernah mengeluh, justru ia melakukan semua pekerjaannya dengan perasaan ikhlas dan senang hati.
***
Sorot matanya tampak berbinar ketika melihat warga kampung sebelah bahu membahu membersihkan seluruh bagian mesjid. Setidaknya dapat meringankan tugasnya untuk membersihkan mesjid, karena usianya yang sudah tidak muda lagi seringkali membuat ia merasa kelelahan jika harus membersihkan masjid seluas ini.
Yang lebih membuat ia tak kalah senang adalah dengan akan datangnya bulan ramadhan. Karena bila ramadhan tiba, masjid cendrung lebih ramai dari biasanya. Kerja bakti membersihkan masjid untuk persiapan menyambut bulan suci ramadhan pun selesai.
***
Malam itu adalah malam pertama melaksanakan salat tarawih. Warga berduyun-duyun datang bersama keluarga tercinta. Bahkan para jamaah dari mulai anak-anak, remaja, orang dewasa hingga orangtua meluber hingga ke halaman mesjid karena begitu banyaknya warga yang ingin melaksanakan solat tarawih di Masjid Darussalam.
Mang Adim tampak sumringah, karena masih banyak warga yang mau datang ke masjid walaupun dalam moment setahun sekali. Mungkin apa karena ketika bulan ramadhan pahala kebaikan dilipatgandakan yang membuat warga berlomba-lomba datang ke masjid? Biarlah, hal itu bukan urusan Mang Adim yang penting ia merasa senang melihat masjid ramai.
Usai salat tarawih ia duduk di tangga masjid memandang sekelompok anak kecil yang sedang berlarian di halaman mesjid sambil sesekali tersenyum tipis melihat tingkah lucu mereka.
“Ingin sekali rasanya aku menggendong mereka, andai dulu aku punya anak. Ah sudahlah…” protesnya dalam hati. Tiba-tiba ia teringat almarhum istrinya. Tetesan air bening pun tak terasa melaju deras di kedua pipinya.
Dulu, ketika istrinya masih ada, Mang Adim sangat merindukan kehadiran seorang anak dalam rumah tangganya. Namun sayang, Tuhan tidak mengaruniai Mang Adim anak sampai pada akhirnya istrinya meninggal dunia karena kanker rahim yang bertahun-tahun dideritanya.
***
Sekalipun sedang menjalani ibadah puasa, Mang Adim tetap melaksanakan tugasnya sebagai marbot mesjid. Sejak memasuki bulan ramdhan ia tidak pernah lagi merasa kesepian. Setiap harinya masjid tak pernah sepi dari pengunjung. Banyak orang berlomba-lomba berburu pahala dengan datang ke masjid melakukan serangkaian ibadah seperti salat wajib, salat sunnah, tadarus Al-Qur’an bahkan i’tikaf. Seringkali masjid dipergunakan sebagai tempat berbuka puasa oleh penghuni perumahan komplek elit dengan anak-anak yatim piatu. Ibu-ibu sosialita yang biasanya Mang Adim lihat dengan rambut mengkilap dan aksesoris mewah pun disaat bulan ramadhan terlihat jauh lebih anggun dengan balutan busana muslimah dan kain penutup kepala. Saat diadakan buka puasa bersama, tak sengaja Mang Adim mendengar seorang anak berbicara kepada temannya,
“Coba ya setiap hari kita bisa makan enak kayagini, kalau di panti makannya tahu tempe terus setiap hari?” anak itu tampak lahap menyantap ayam bakar yang digenggamnya. Sedangkan temannya hanya mengangguk-ngangguk kecil mengiyakan ucapannya. Mang Adim yang saat itu berada disamping dua anak itu berujar dalam hati,
“Andai bulan ramadhan itu setiap hari, mungkin semua orang akan terus menerus melakukan kebaikan. Berbagi kepada sesama sehingga tak ada orang-orang yang kelaparan. Namun sayangnya bulan ramadhan hanya terjadi setahun sekali,” ujarnya sambil memandang dua anak yang sedang mengobrol tadi.
***
Pada awal - awal ramadhan Masjid Darussalam masih tampak penuh. Namun, hari-hari berikutnya jamaah tampak menurun. Sepertinya ibu-ibu komplek yang sering mengadakan buka puasa bersama atau sekedar memberi takjil pun sudah mulai bosan. Jika hari-hari sebelumnya ketika salat tarawih jamaah sampai membludak ke halaman masjid, kini di bagian dalam masjid pun banyak celah-celah yang kosong. Jamaah salat subuh pun berkurang drastis dari yang mulanya mencapai 5 shaf kini hanya tinggal 1 shaf setengahnya pun tidak. Tak pelak, pemandangan seperti ini membuat Mang Adim merasa sedih.
Apalagi ketika sudah menjelang sepuluh hari terakhir bulan ramadhan, banyak warga yang beralih ke pusat perbelanjaan memburu perlengkapan lebaran. Sedang masjid perlahan mulai ditinggalkan. Padahal di sepuluh hari terakhir bulan ramadhan inilah terdapat malam kemuliaan yaitu malam lailatul qadar yang jika kita melakukan amal kebaikan besar pahalanya seperti beribadah seribu bulan. Fenomena masjid kalah ramai dari mal memang sangat memprihatinkan.
***
Tidak terasa esok ramadhan pun akan segera pergi. Masjid yang akhir-akhir ini ramai mulai kembali sepi. Banyak warga yang satu persatu mudik ke kampung halaman untuk berlebaran bersama keluarga tercinta. Namun, bagaimana dengan Mang Adim? Isteri telah tiada sedang anak tidak punya, entah ia akan berlebaran dengan siapa. Jika ingin berlebaran di kampung halaman pun ia harus membawa uang yang tidak sedikit karena sanak saudara Mang Adim tinggal di Kalimantan. Sungguh menyedihkan, lebaran kali ini adalah lebaran pertama tanpa kehadiran istri tercinta dan harus ia lewati sendirian bertemankan kesedihan dan kesepian.
Malam harinya, usai salat maghrib. Lantunan kumandang takbir bergema dimana-mana bahkan hingga ke penjuru dunia karena esok semua umat muslim akan menyambut hari kemenangan. Disaat orang-orang bersuka cita karena berkumpul bersama keluarga, Mang Adim hanya bisa meratapi nasibnya sambil termenung di bawah menara masjid. Lebaran tahun ini ia lalui tanpa kehadiran sosok istri yang sudah puluhan tahun menemaninya. Kini, tak ada baju baru, tak ada ketupat, tak ada kue-kue seperti tahun kemarin ketika masih ada istrinya. “Ah bila masih mungkin…,” ujarnya lirih sambil menatap langit yang pekat dengan kabut malam.
“Mungkin kenapa Pak?” seorang anak laki-laki yang dulu pernah ikut acara buka bersama di Masjid Darussalam tiba-tiba duduk disampingnya sambil ikut menengadah memandang langit.
“Kamu? Kenapa ada disini, sana pulang sudah malam nanti orang tuamu khawatir,” seru Mang Adim.
“Hehe Bapak lupa acara buka bersama waktu itu digelar bersama siapa?” anak laki-laki itu tertawa.
“Anak-anak yatim piatu?” jawab Mang Adim.
“Ya aku salah satu diantaranya Pak. Aku udah enggak punya orang tua, Kedua orangtuaku udah meninggal semua. Sekarang aku tinggal di rumah singgah yang ada di kolong jembatan bersama anak jalanan dan anak yatim piatu lainnya.”
“Oh…maafkan Bapak kalo begitu Nak, Bapak lupa Nak…”
“Ga apa apa Pak, hemm kadang aku juga ngerasa iri banget ngeliat temen-temen yang bisa lebaran sama keluarganya tapi… apa mau dikata masih bisa berlebaran bersama anak-anak di rumah singgah lainnya pun sudah ahamdulillah .” Mang Adim tercengang mendengar penuturan anak lelaki yang masih berusia 13 tahun itu.
“Sabar ya Nak, Bapak pun merasakan hal yang sama. Meskipun takdir memang tak sesuai dengan apa yang kita inginkan. Namun meskipun begitu, ketentuan-Nya akan jauh lebih mendewasakan kita dalam mengarungi hidup.” Ujar Mang Adim bijak.
“Tapi…,” ada air mata yang tertahan di sudut matanya. Mang Adim merangkul anak laki-laki itu.
“Sudahlah Nak tidak boleh merutuk takdir yang sudah Tuhan berikan, lebih baik kita ke dalam masjid mari mengumandangkan takbir.” Anak lelaki itu pun tersenyum lalu mengikuti langkah kaki Mang Adim ke dalam masjid. Keduanya mengumandangkan takbir hingga pagi menjelang.
“Allahu akbar… Allahu akbar… Allahu akbar… Laillahailallahu wallahu akbar… Allahu akbar… Walillah ilham….”
Mang Adim yakin, meski hidupnya bertemankan kesepian Tuhan tidak pernah meninggalkannya sendirian. Ia bersyukur masih bisa menikmati indahnya ramadhan. “Ramadhan, semoga kita dipertemukan lagi tahun depan,” ujarnya pilu.