Jarum jam terus melaju cepat menunjukkan
pukul 22.30 WIB, namun Alia masih saja berkutat di depan laptop
kesayangannya. Berjam-jam berada di depan laptop untuk menulis memang
sebuah rutinitas yang menyenangkan baginya. Tak sengaja, ia menemukan file lama berjudul ‘Tentang Ayah’ saat merapikan semua file tulisannya yang sedang ia susun berdasarkan tahun. Seperti biasa apabila jenuh
mulai merajai pikirannya, sejenak Alia memilih untuk berselancar di
dunia maya dengan membuka beberapa akun jejaring sosial miliknya mulai
dari facebook, twitter dan kompasiana. Alia pun memutuskan untuk mempublikasikan tulisan ‘Tentang Ayah’ di akun kompasiana miliknya yang kemudian ia share di akun facebook.
Hanya dalam hitungan menit sebuah komentar muncul di tautan yang ia share sebelumnya, “Terus berikan yang terbaik untuk Ayah, agar beliau dapat tersenyum bangga melihat anak bungsunya”. Alia merasa aneh membacanya. Bagaimana tidak yang memberi komentar adalah asisten dosen lab, pria keturunan chiness bernama Wira Gunawan yang dalam kesehariannya seringkali memandang Alia dengan tatapan sinis.
Dengan
cepat Alia membalas komentar Wira, sekedar ucapan terima kasih karena
telah berkesan membaca tulisannya. Namun dari hari ke hari komentar di
tautan tersebut pun berlanjut, dari mulai komentar Wira mengenai tulisan
Alia, bertanya kabar satu sama lain, tugas akhir, hingga sampai
membahas persoalan yang tidak penting sekalipun. Bagi Alia, bertegur
sapa si dunia maya dengan Wira adalah barang langka.
***
Sepulang
kuliah, tak sengaja keduanya bertemu di lobi kampus. Yang sebelumnya
Alia merasa enggan walaupun hanya sekedar menyapa Wira tapi kali ini,
Alia beranggapan sosok asisten lab yang selama ini dikenalnya cendrung jutek dan menyebalkan bisa juga menjadi teman cerita yang menyenangkan.
Suasa
lobi kampus tampak lengang, tak ada kegaduhan mahasiswa yang terlihat
seperti biasanya, mungkin karena hari itu sudah hampir petang jadi hanya
ada beberapa mahasiswa saja yang berada di sana yang sibuk dengan
aktivitasnya masing –masing. Dari kejauhan Alia sudah dapat menebaknya
bahwa sosok yang sedang berjalan searah dengannya adalah Wira karena ia
selalu mengenakan pakaian hitam putih jika berada di lab komputer.
Keduanya berpapasan.
“Hei Kak Wira, kemana aja kok gak pernah keliatan di kampus?”
“Biasa jadwal padat hehe” Wira memang tipikal orang yang tak pernah banyak bicara.
“Oh iya semester depan masih jadi asdos gak Kak?” tanya Alia sambil memilin-milin ujung jilbanya.
“Alia, maaf ngobrolnya lain kali ya saya lagi buru-buru” Wira melempar senyum yang
kemudian dibalas cepat oleh Alia dengan anggukan kepala. Ada beragam
tanya dibenak Alia melihat tingkah Wira yang terlihat aneh, dahi Alia
berkerut dengan sorot mata yang kebingungan. Wira adalah kakak tingkat
Alia yang sekaligus merangkap sebagai asisten dosen. Sudah 4 semester
ini Alia di bimbing oleh Wira apabila praktikum membuat program. Di
kampus, Wira memang lebih sering terlihat di lab sebagai asisten dosen
ketimbang sebagai mahasiswa pada umumnya. Jadi, tak heran jika ia
bersikap dingin seperti barusan.
***
Serasa
baru kemarin Alia gagal mengikuti tes SNMPTN, namun sekarang ia sudah
sampai di titik akhir masa-masa kuliahnya. Ya sekalipun ia pada mulanya
merasa enggan untuk kuliah di jurusan manajemen informatika, namun
lambat laun ia mulai terbiasa menjalaninya. Alia juga masih sesekali
menulis apabila ada waktu luang. Ia selalu ingat ucapan sahabatnya, bahwa untuk menjadi seorang penulis itu tidak harus berlatar belakang pendidikan sastra indonesia.
Hanya bermodal yakin ia mencoba menyeimbangkan antara kuliah dan tetap
menulis, hal yang sangat disukainya sejak duduk di bangku kelas 6
sekolah dasar. Namun kali ini tugas akhir hampir menyita waktu luangnya
untuk menulis, ia pusatkan perhatiannya pada tugas akhir, berharap kuliahnya dapat selesai tahun ini.
Sementara
di tempat yang berbeda Wira tampak larut dalam lamunannya. Ada hal
serius yang sedang dipikirkannya.Wira memang telah terbebas dari
bayang-bayang sidang tugas akhir karena Wira sudah diwisuda sejak 5
bulan yang lalu dengan hasil yang sangat memuaskan. Namun, masalah baru
muncul ia merasa dilema memikirkan langkah apa yang harus ia ambil
setelah lulus kuliah, meneruskan ke jenjang yang lebih tinggi atau bekerja terlebih dahulu. Hingga Wira mengalami dilema yang cukup akut.
***
Setelah
dua minggu berlalu keduanya bertemu kembali di sebuah lesehan sunda
dekat kampus karena saat itu memang sudah jamnya makan siang. Namun kali
ini ada yang berbeda, semenjak komentar facebook Alia dan Wira
terlihat lebih akrab dari biasanya keduanya pun memutuskan untuk makan
di meja yang sama dan terlibat dalam obrolan panjang dari hujan rerintik
hingga menjelma menjadi hujan yang sangat deras sampai hujan sudah reda pun mereka masih larut dalam cerita dan gelak tawa.
“Alia
maaf ya waktu itu saya buru-buru soalnya waktu itu saya mau tes
instruktur tapi akhirnya saya gagal juga, terus kalo gak salah kamu
nanya tapi belum saya jawab ya, semester depan saya sudah gak jadi asdos
lagi kontrak saya sudah habis. hehe…” Wira menyeruput jus mangga
dihadapannya sementara Alia terlihat langsung tersedak.
“Lho gimana ceritanya Kak, kok bisa gagal sih terus kenapa gak diperpanjang jadi asdosnya Kak?”
“Masa
kerja saya udah habis, jadi pasti asistennya bukan saya. Siapapun yang
ngajar sama aja, yang penting patokan semangat belajarnya di diri
sendiri bukan di yang ngajarnya ya hehe…” tak lama makanan yang dipesan keduanya sudah datang, “makasih Mbak,” ujar keduanya serentak.
“Idih
Kak Wira geer banget deh hehe,” jawab Alia melempar potongan lalapan
timun ke arah Wira. Wira hanya tertawa pelan melihat kekonyolan tingkah
Alia.
Hujan
deras membuat banyak orang yang sebelumnya telah selesai makan siang
terjebak dalam sebuah pendopo kayu bertirai bambu, meskipun ada beberapa
orang yang nekat menerobos hujan siang itu. Namun Alia dan Wira lebih
memilih menunggu hingga hujan reda.
“Kamu suka nulis ya? Sejak kapan?” tiba-tiba Wira kembali membuka pembicaraan.
“Sudah lama sih dari kelas 6 SD cuma ya gitu pasang surut hehe”
“Good… good…,
terus berkarya sesuai minat dan keinginanmu terlepas dari apapun studi
yang ditempuh, kamu harus yakin pasti bisa tapi jangan lupa juga kerjain
tugas akhinya ya hehe” tutur Wira bijak. Alia mengacungkan jempolnya
seraya tersenyum. Selang beberapa menit kemudian Wira malah terlihat
melamun, memandang butiran-butiran air hujan yang jatuh tepat
dihadapannya.
“Tenang
Kak gak usah galau gitu. Gagal jadi instruktur tapi masih ada lowongan
kok buat bantu tugas akhir aku hehe,” canda Alia membuyarkan lamunannya.
“Wooo
maunya, galau sih enggak cuma masih kecewa aja padahal saya sangat
berharap disitu, tapi saya harus menerimanya dengan lapang dada, pasti
masih ada rencana yang lebih baik buat saya” ujar wira sambil memainkan
sebuah sedotan yang berada didalam gelas jus mangganya.
“Dulu,
waktu aku dinyatakan gagal di universitas negeri aku sempet marah sama
Tuhan, menganggapnya tidak adil. Padahal setiap selesai salat aku gak
pernah lupa berdoa memohon yang terbaik tapi aku yang mati-matian
berjuang harus pulang sore tiap hari, bahkan malam hari tak kunjung
diterima di PTN. Tapi, temen-temenku yang terkesan biasa-biasa aja justru lebih mudah masuk di universitas yang mereka mau”
“Tapi…tau
gak Kak orang yang sedang berdoa itu ibarat seorang pengamen lho,
konteksnya sama sama meminta diiringi usaha, tapi gak semua pengamen
mendapatkan imbalan yang serupa tergantung usahanya dulu seperti apa”
Air
yang dengan derasnya turun dari langit itu perlahan sudah tidak tampak
lagi, hanya menyisakan aroma bau tanah sehabis hujan dan air yang
mengendap di beberapa pohon di sekitar pendopo yang saat ini sedang
ditempati Alia dan Wira.
“Maksudnya?”
Wira tampak bingung dengan penuturan Alia barusan. Dan entah kebetulan
atau apa siang itu, setelah hujan reda tak jauh dari meja Alia dan Wira
ada dua orang pengamen yang berada di lesehan sunda tersebut sehingga
dengan mudah Alia menganalogikan serta menjelaskan apa yang tadi
diutarakannya.
“Lihat
deh pengamen itu coba Kakak perhatiin baik-baik” Alia menunjuk dua
orang pengamen remaja di depan orang yang sedang makan siang. Wira
memperhatikan pengamen itu dengan seksama sementara Alia kembali
melanjutkan pembicaraannya.
“Karena
mereka asal-asalan nyanyinya terus ga jelas intonasi nadanya, tanpa
lebih dulu menunggu lagu yang dinyanyikannya selesai buru-buru sepasang
kekasih itu memberinya uang sekadarnya saja supaya mereka cepat pergi
sebelum gendang telinga mereka pecah. Lain halnya dengan pengamen
bersuara merdu dan menyanyi dengan santai yang berada di meja sana tuh
Kak.” Alia menunjuk seorang pengamen bertubuh tinggi dengan gitar coklat
yang dibawanya.
“Tuh
Kak liat deh mbak-mbak itu tampak menikmati alunan musik dan indahnya
syair lagu yang dibawakannya. Merdu, syahdu…bahkan ketika lagu yang
dibawakan pengamen itu selesai Mbak tersebut seperti ingin mendengarnya
lagi dan lagi.”
“Terus hubungannya apa?”ujar Wira kembali bertanya.
“Sama
halnya dengan orang berdoa Kak, kalo orang yang berdoa itu
tergesa-gesa, gak sabar nunggunya tapi dengan usaha yang biasa-biasa aja
kemudian ingin doanya segera dikabulkan, dengan cepat Tuhan akan
mengabulkan doanya namun dengan hasil yang biasa-biasa pula. Seperti
pengamen dengan suara asal-asalan tadi yang mendapat imbalan sekadarnya
saja. Lain halnya dengan orang yang senantiasa berdoa disertai usaha dan
kesabaran dalam menunggu doanya. Sekalipun Tuhan begitu lama
mengabulkan doanya itu bukan berarti Tuhan menolak atau bahkan tidak
mendengar doa kita, hanya saja Tuhan sedang mengabulkan doa-doa kita
yang lainnya. Dan satu lagi itu artinya Tuhan senang mendengar rintihan
doa kita Kak, lalu kesabaran kita akan diganti dengan imbalan di atas
rata-rata juga. Sama halnya seperti pengamen kedua tadi sekalipun
Mbak-Mbaknya lama memberikannya uang tapi ia menikmati prosesnya dan
pastinya ia diberi uang yang lebih besar ketimbang dengan pengamen
pertama yang nyanyinya asal-asalan”
“Waaaah iya iya pinter juga kamu ya hehe” Wira baru sadar atas apa yang dituturkan oleh Alia.
“Dari dulu kali ka hehe”
“Perasaan enggak deh, pis…hehe” Wira menyunggingkan senyum khasnya meledek Alia.
“Hush jangan suka pake perasaan, jargon favoritnya Kak Wira kalo program aku error di lab sambil ngeloyor pergi hahaha” dengan cepat Alia membalas ledekan Wira.
“Hahaha
habis kamu terlalu berperasaan sih buat meriksa errornya. Ditinggalin
tuh supaya kamu usaha nyari dulu, kalau ‘disuapin’ melulu gak akan bisa
hehe.”
“Waktu
saya gak lolos jadi instruktur, sekitar satu bulan lebih saya terus
bertanya pada Tuhan, kenapa saya ga lolos, padahal tujuan saya adalah
untuk memuliakan-Nya.” Alia tampak serius sekali mendengarkan cerita
Wira.
“Saya meminta pendapat dari teman-teman, guru-guru juga pendeta.
Kalau mereka jadi saya, apa yang mereka pilih. Kuliah tapi membebani keluarga untuk masalah biaya atau bekerja tapi meninggalkan hasrat dan semengat untuk terus belajar. Jawaban beragam mereka berikan pada saya, tapi bodohnya saya lupa ajukan pertanyaan itu pada Tuhan lewat doa. Saya bertanya pada-Nya lewat doa, Tuhan boleh gak saya lihat setitik saja rancangan yang Engkau mau lewat hidupku. Pada akhirnya Tuhan menyampaikan jawaban-Nya pada saya melalui saat teduh doa, pembacaan & perenungan Alkitab, jawaban yang saya dapat Wira… apapun yang kamu pilih, pilihan itu ditujukan untuk memuliakan Tuhan di atas segalanya, jangan membebani orang lain (kamu harus kerja) dan tidak boleh mengubur impianmu sendiri (kamu harus kuliah) serta lakukan semua itu dengan penuh tanggung jawab. Dan saya masih terus berusaha sampai saat ini untuk mencapai itu.”
Kalau mereka jadi saya, apa yang mereka pilih. Kuliah tapi membebani keluarga untuk masalah biaya atau bekerja tapi meninggalkan hasrat dan semengat untuk terus belajar. Jawaban beragam mereka berikan pada saya, tapi bodohnya saya lupa ajukan pertanyaan itu pada Tuhan lewat doa. Saya bertanya pada-Nya lewat doa, Tuhan boleh gak saya lihat setitik saja rancangan yang Engkau mau lewat hidupku. Pada akhirnya Tuhan menyampaikan jawaban-Nya pada saya melalui saat teduh doa, pembacaan & perenungan Alkitab, jawaban yang saya dapat Wira… apapun yang kamu pilih, pilihan itu ditujukan untuk memuliakan Tuhan di atas segalanya, jangan membebani orang lain (kamu harus kerja) dan tidak boleh mengubur impianmu sendiri (kamu harus kuliah) serta lakukan semua itu dengan penuh tanggung jawab. Dan saya masih terus berusaha sampai saat ini untuk mencapai itu.”
“Saat
yang teduh itu maksudnya apa Kak, terus jawaban itu didapat ketika
apa?” Alia tampak menunjukkan rasa keingintahuannya yang sangat besar
alias kepo.
“Saat
yang teduh itu, mungkin kalau dalam islam itu adalah waktu subuh waktu
di mana sebelum manusia memulai segala aktivitasnya. Dan jawaban itu
saya dapat ketika saya membaca alkitab seperti ada sebuah pencerahan
dalam pemikiran saya”
“Oh
gitu ya…hemmm” ada decak kagum yang menyelinap dihati Alia mendengar
penuturan Wira, dan hari itu ia mendapatkan sebuah pelajaran yang
berharga bahwa doa itu adalah senjata yang paling ampuh dalam setiap
masalah apapun dan dalam agama apapun.
Sampai
pada akhirnya tibalah waktu di mana Alia menjalani sidang tugas akhir,
hari itu setelah sidang tugas akhirnya berhasil ia lalui tanpa ia kira
sebelumnya ia mendapat kabar bahwa buku kumpulan cerpennya terbit. Hal
itu sekaligus membuktikan keajaiban doanya bertahun-tahun yang lalu,
dulu ia bersikukuh untuk kuliah di jurusan sastra indonesia karena ingin
menjadi seorang penulis tapi hari itu Tuhan membuktikan bahwa manajemen
informatika tidak sedikitpun menghambatnya untuk terus aktif menggeluti
dunia sastra. Dan berita yang tak kalah membuat Alia gembira satu
mingga setelah kebahagiannya, Wira juga mendapatkan kebahagiaan yang
sama. Kini ia sudah bekerja di sebuah perusahaan tanpa mengubur
impiannya untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi,
akhirnya ia bisa menyeimbangkan waktunya antara kerja dan kuliah.
Dua bulan setelah sharing
tentang doa itu mereka memutuskan untuk kembali bertemu karena ingin
berbagi kebahagian. Masih di tempat yang sama, di sebuah lesehan yang
kental dengan nuansa pedesaan. Wira sudah tampak seperti pengusaha muda
mengenakan kemeja berdasi.
“Cieeee yang udah kerja traktir dong hehe.” Goda Alia menyambut kedatangan Wira dengan senyum bahagianya.
“Emmm…ciee cieee yang buku kumpulan cerpennya udah terbit traktir juga doong hahaha” balas Wira usil.
“Hahaha yaudah kalo gitu bayar sendiri-sendiri aja deh ga jadi traktirnya sama aja kan? hehe”
“Lho ga bisa harus kecipratan rezeki masing-masing doong” Wira tampak mebolak balikkan buku menu.
“Ya
udah kalo Kak Wira pengen banget traktir aku gak apa-apa, tapi aku
traktir Kak Wiranya kapan-kapan aja ya haha…” Wira terdiam sesaat
kemudian menghela nafas panjang, ”Oke deh tapi saya minta traktirnya
setiap hari setiap jam makan siang ya Al… haha”
Rona
bahagia terpancar dari wajah keduanya, dengan tatapan menerawang kosong
ke arah air mancur kolam ikan yang berada disampingnya Alia berujar
pelan,
“Hemm
sekalipun kita mempunyai keyakinan yang berbeda, tapi kita mempunyai
satu pemahaman yang serupa tentang doa. Ya, bahwa tak ada doa yang
sia-sia sekalipun Tuhan begitu lama menjawabnya” lengkung pelangi terbalik menyeringai indah di wajah Alia dan Wira.
***