Senin, 03 September 2012

Aini, ambisi dan mimpimu adalah samudra !

Aku peringatkan kalian terhadap kata
'nanti', karena kata ini telah banyak
menjebak para pelaku untuk terhalang
dari kebaikan dan menunda-nunda
proses perbaikan diri" - Ulama
Dear Aini, temanku yang tegar
dan berani...
Kita tidak akan pernah tahu apa yang
akan terjadi di masa depan jika kita
tidak memulainya sekarang dan hanya
menunggu.
Curahkanlah seluruh tenaga dan
pikiran untuk melakukan pekerjaan dan
kesempatan yang bisa dilakukan saat
ini.
Lakukanlah tugas sebaik-baiknya
selama kita memiliki waktu. Jangan
membiarkan waktu berlalu, dan
sia-sia.
Ambisi dan mimpimu adalah samudra.
Meski kadang terjadi pasang surut,
tapi takkan pernah surut airnya.
Oleh sebab itu, bersemangatlah
selalu, meski perkerjaannya sekecil
apapun. Jangan pernah menunda-nunda
apa yang bisa dilakukan hari ini.
Ingatlah, engkau insan manusia yang
luar biasa! Hindari selalu menunggu
motivasi untuk bergerak, tetapi
bergeraklah sekarang juga, dan dirimu
akan termotivasi dengan sendirinya!

Setiap insan manusia dilahirkan luar
biasa.
Kita semua sebenarnya diberi
kemampuan dan potensi yang besar dan
hebat.
Oleh sebab itu, kembangkanlah
setiap potensi yang ada semaksimal
mungkin, dan gunakan dengan tepat,
agar bermanfaat bagi sebanyak umat.

Temanmu, Ahira

Buka Bersama


Saat bulan ramadhan tiba, dari tahun ke tahunnya undangan buka puasa bersama dari mulai teman SD, SMP, SMA, OSIS, Ekskul kabaret, silih berganti berdatangan. Buka puasa bersama bukan sekedar makan-makan bersama, tapi seringkali dijadikan ajang reunian untuk melepas rindu karena bertahun-tahun tidak pernah bertemu. Beranda jejaring sosial facebook pun dipenuhi dengan foto-foto acara buka bersama di setiap harinya.

Jika teman-teman yang lain merasa antusias dengan undangan-undangan buka bersama tersebut, lain halnya dengan Runa, seorang siswi yang baru saja duduk di bangku SMA. Ia selalu saja merasa kebingungan mencari alasan untuk menolak ajakan teman-temannya. Bukan masalah tidak ingin ikut, tapi ayah Runa tidak pernah mengizinkan Runa untuk bergabung bersama teman-temannya yang lain. Mungkin, ayah Runa mempunyai alasan tersendiri mengapa puteri bungsunya tidak diperkenankan untuk datang ke acara buka bersama yang diadakan oleh teman-temannya.

Disaat hari kemenangan hanya tinggal 15 hari lagi…
“Ayah, Runa boleh ikut buka bersama sama temen-temen SMP ya, sekali… aja?” pinta Runa memohon.
“Dimana?”
“Di restoran lesehan saung sunda Yah, boleh ya buat yang pertama dan yang terakhir deh tahun ini?”
“Nanti kamu shalat maghrib dimana? Shalat tarawih enggak? Tadarusan enggak? Janji pulang jam berapa? Kalau bisa buka bersama keluarga kenapa harus mendahulukan teman? Buka bersama bareng keluarga itu lebih nikmat,” ujar ayah bijak.
“Ah Ayah ga asik, bilang aja enggak boleh” jawab Runa singkat.
“Kalau sama Allah sudah dikasih segudang kemudahan, pastaskah kita masih merasa terbelenggu?”
“Tapi Yah, kan cuma setahun sekali enggak setiap hari?”
“Kamu tahu, kenapa alasan ayah melarangmu?” Runa menggeleng cepat.

“Ayah rasa, acara buka bersama yang akan kamu jalani lebih ke hura-hura semata. Sementara jika kamu buka puasa bersama teman-temanmu, kemudian duduk manis ketawa ketiwi di sebuah restoran apa mungkin kamu akan memikirkan perasaan ibumu yang sudah bersusah payah memasakkan makanan kesukaanmu kemudian begitu saja kamu tinggalkan? Memikirkan betapa sulitnya ayah mencari uang untuk membeli beras dan lauk pauk untuk berbuka? Apa kamu juga ingat saudara-saudaramu di luar sana yang hanya berbuka dengan seteguk air putih? Mendingan uang buat buka bersamanya disedekahkan, jadi pahala kebaikan kan?”. Dalam hati Runa bicara, “kalau dipikir-pikir iya juga sih.”

“Ketika ayah hendak memasukkan motor ke dalam rumah, ayah melihat Tia teman sekolahmu baru pulang dari acara buka bersama jam 10 malam. Memang tak baik berprasangka buruk. Namun, apakah baik seorang gadis pulang malam dengan di antar laki-laki yang bukan muhrimnya? Itulah yang ayah takutkan, Runa itu masih dalam tanggung jawab Ayah. Ayah selalu berpikir jauh, nanti kamu shalat maghrib dimana, meninggalkan shalat tarawih apa tidak, pulang dengan siapa. Kamu kan tahu, ramadhan itu cuma ada setahun sekali, umur kan enggak ada yang tahu. Siapa tahu tahun depan kita enggak pernah ketemu ramadhan lagi. Coba kalau kamu ikut buka bersama, ayah yakin kamu pulang di atas jam 7 malam. Pulangnya, masih sempet tarawih? Enggak. Mau tadarusan? Capek, ngantuk, tidur. Berapa pahala kebaikan yang kamu buang sia-sia?” Runa tampak sangat serius mendengar penjelasan ayah.

“Kalau Runa enggak datang, nanti temen-temen marah Yah sama Runa?” Runa masih memaksa ayah mengizinkannya untuk tetap pergi.
“Lebih memilih kasih sayang teman atau kasih sayang Tuhan? Lebih takut kehilangan kasih sayang teman atau takut kehilangan kasih sayang Tuhan? Terserah mau pilih yang mana silahkan.” Kali ini Runa diam seribu bahasa tidak lagi protes dengan sikap ayahnya.

Tidak lama kemudian adzan maghrib pun berkumandang, tiba saatnya sudah untuk berbuka. Meski selama ini Runa menganggap ayahnya adalah sosok ayah yang otoriter, tapi kini ia sadar bahwa larangan sang ayah terhadapnya tidak lain adalah cara menunjukan kasih sayang dan bentuk tanggung jawab seorang ayah terhadap puteri bungsunya. Dan yang paling penting buka puasa bersama dimanapun dan dengan siapapun, tempat yang paling nyaman itu di rumah sendiri bersama keluarga tercinta.