Senin, 09 April 2012

Memandang Langit



Jam pelajaran Fisika telah usai bersamaan dengan berdentangnya lonceng sekolah, satu persatu satu Nessa dan Ocha menuruni anak tangga sekolah.
”Nes, aku ke perpus dulu ya ngembaliin buku, tungguin di depan gerbang sekolah aja?”
“ Ya, buruan Cha jangan lama-lama,” jawab Nessa tersenyum simpul.
Lima belas menit Nessa menunggu di depan gerbang sekolah, akhirnya Ocha datang juga. Lantas, mereka memutuskan untuk pulang bersama.

Nessa dan Ocha bersahabat sejak pertama kali mereka duduk di bangku SMA, keduanya seakan sudah khatam membaca tabiat masing-masing, sekalipun ada cekcok tidak pernah menjadi ribut besar. Mereka saling mengisi dan melengkapi satu sama lain. Di sekolah, Nessa terbilang anak yang supel dan periang. Tapi sayang, ia cenderung bersikap pendiam saat kembali pulang ke rumah, karena seringkali didapatinya rumah dalam keadaan sepi. Nessa merupakan anak bungsu dari dua bersaudara, kakak lelaki satu-satunya, Ryan melanjutkan kuliah di Semarang dan tinggal bersama neneknya, sementara kedua orangtuanya bekerja di sebuah perusahaan yang sama dari pagi hingga sore hari. Tak jarang, kedua orangtuanya pulang hingga larut malam karena mengurusi pekerjaan. Materi memang tercukupi, namun kasih sayang tidak terpenuhi. Hanya Bi Inah lah yang setiap hari menemaninya di rumah.

***

Pagi-pagi sekali, ayah dan bunda Nessa harus terbang ke kota Makassar karena ada rapat mendadak. Sehingga harus meninggalkan Nessa bersama Bi Inah di rumah. Dibangunkannya Nessa oleh sang bunda, ia tampak masih setengah tertidur.

”Nessa baik-baik ya di rumah. Bunda sama Ayah ada pekerjaan di luar kota. Lusa juga Bunda langsung pulang ko, kalo perlu apa-apa tinggal bilang aja sama Bi Inah ya?” diciumnya kening Nessa oleh ayah dan bundanya, ia cemberut sambil menekuk wajahnya.

Selang 30 menit kemudian, saat embun pagi masih membasahi bunga-bunga di pekarangan rumah, Nessa bergegas mengendarai sepeda motor menuju rumah Ocha, untuk berangkat sekolah bersama. Hanya menunggu sepuluh menit, kemudian Ocha menghampiri Nessa.

Mereka terlihat sangat kompak, keduanya berlalu meninggalkan rumah Ocha melaju membelah jalanan kota hujan menuju sekolah.

***

Jam istirahat, Nessa dan Ocha habiskan di bawah pohon rindang sambil ditemani beberapa cemilan. Sementara Ocha asyik dengan sate bakso bakar yang berada di genggaman tangannya, Nessa justru sama sekali belum menyentuh makanannya.

“Ko bengong sih Sa? Kenapa?” Ocha urung melahap bakso bakar yang hampir menyentuh bibir mungilnya.
“Enggak tau, aku enggak nafsu aja,” jawab Nessa sambil menengadah ke langit memandangi sekawanan burung-burung yang berterbangan.
“Aku iri sama kamu Cha. Kebahagiaanmu begitu lengkap, mempunyai keluarga yang utuh, saling menjaga satu sama lain. Tidak seperti aku!”

Ocha memandang Nessa iba, meskipun Ocha berasal dari keluarga sederhana tapi ia mempunyai keluarga yang sangat perhatian padanya. Nessa kembali melanjutkan ceritanya sebelum Ocha menanggapinya, “Ayah sama Bunda sibuk mencari materi, Ka Iyang enggak pernah pulang, di rumah aku cuma tinggal sama pembantu, aku rindu kebersamaan itu?” Nessa hampir tak mampu membujuk cairan pelindung matanya supaya dia tidak menampakkan dirinya.

“Sabar ya Sa, orangtua kamu kan kerja buat kamu juga? Iya kan? Kalo Kak Iyang, kan dia lagi sibuk nyusun skripsi, kalo udah waktunya juga dia pulang?” Ocha mendengus pelan.

Lonceng kuno sekolah berbunyi menandakan jam istirahat telah usai. Nessa dan Ocha berlalu meninggalkan taman sekolah menuju kelas.

***

Siang itu awan mendung menghiasi langit Bogor. Nessa baru saja tiba dari sekolah, setelah membuka sepatu, kemudian ia bergegas masuk ke kamarnya. Bi Inah sibuk dengan setumpuk pekerjaannya di dapur. Sementara itu telepon rumah berdering, diangkatnya telepon tersebut. Usai berbicara dengan orang yang berada di ujung telepon, raut wajahnya seketika menjadi muram, terlihat ada kesedihan yang sangat mendalam. Betapa terkejutnya Bi Inah dengan berita yang ia terima bahwa pesawat yang ditumpangi majikannya yang tak lain adalah kedua orangtua Nessa mengalami kecelakaan. Di depan kamar terlihat gadis yang baru beranjak dewasa itu sedang berdiri, bersandar pada pintu kamarnya.

“Siapa Bi yang telepon, Bunda ya?” Bi Inah tak tahu harus menjawab apa. Ia takut jika mengatakan yang sebenarnya akan melukai hatinya, namun lambat laun Nessa juga akan mengetahui yang sebenarnya. Bi Inah menghampiri Nessa, matanya berkaca-kaca. Ada air mata yang tertahan disudut matanya. Sedang Nessa merasa heran, prasangka buruk pun mulai merasuki pikirannya.

”Kenapa Bi, Bibi ko nangis? Tadi telepon dari siapa? Bibi bilang sama aku?” Nessa mengoyang-goyangkan tubuh Bi Inah dan memaksanya untuk bicara. Tapi Bi Inah memilih untuk memberitahu Nessa secara perlahan. Dengan terbata-bata Bi inah mengatakan hal yang sejujurnya. Seketika Nessa histeris. Air mata tak henti-hentinya mengalir dari pelupuk matanya. Sekujur tubuhnya lemas tak ada tenaga. Bi Inah tidak bisa berbuat apa-apa selain mendekap erat tubuhnya. Nessa begitu terpukul atas kejadian ini. Ia hanya bisa berdoa memohon pada Tuhan semoga orangtuanya dapat segera ditemukan dalam keadaan selamat.

***

Jatuhnya pesawat yang ditumpangi kedua orangtua Nessa sudah menyebar ke seluruh penjuru sekolah. Bahkan, sejak dua hari setelah kejadian itu Nessa absen tidak masuk kelas.

Dari hari ke hari ia selalu mengikuti pemberitaan di televisi. Namun, pesawat yang di tumpangi kedua orangtuanya dinyatakan hilang. Tim evakuasi yang terdiri dari tim SAR dan Polisi pun tak menemukan bangkai pesawat tersebut. Padahal polisi sudah menyusuri tempat yang diduga tempat jatuhnya pesawat. Pencarian dilakukan baik di darat maupun di lautan namun tak jua membuahkan hasil.

Satu pekan sudah hilang dan jatuhnya pesawat yang ditumpangi kedua orangtua Nessa. Sementara itu, di rumah ia ditemani Ryan serta beberapa sanak saudara lainnya yang menungggu kabar tentang keberadaan orangtua Nessa. Wajah orang-orang yang keluar masuk rumah begitu muram tak ada senyuman. Di depan rumah berjejer beberapa karangan bunga, padahal nasib meninggalnya kedua orangtua Nessa pun masih belum diketahui secara pasti. Namun, jika memang benar, betapa pilunya hati gadis ini. Ia harus kehilangan kedua orangtuanya dalam waktu yang bersamaan.

Ia tak tahu harus menanyakan pada siapa, meminta tolong pada siapa selain pada Tuhan ia menggantungkan segala harapannya, meski pihak kepolisian menyatakan seluruh awak dan penumpang pesawat dinyatakan tidak ada yang selamat karena proses pencarian sudah memakan waktu lebih dari seminggu. Namun disaat asanya yang sudah menipis, ia masih terus berharap dan berdoa semoga kedua orangtuanya dapat segera ditemukan dalam keadaan selamat, dan keajaiban itu akan datang untuknya. Nessa masih belum percaya jika kedua orangtuanya sudah tiada selama belum melihat jasadnya.

***

Keesokan harinya Nessa memutuskan untuk kembali ke sekolah, ia tak ingin terlalu larut dalam kesedihan. Namun sejak kejadian itu, Nessa yang biasanya adalah sosok gadis periang kini lebih cenderung pendiam.

“Sa, ke kantin yuk?” ajak Ocha dan Sisil.
“Aku disini saja. Enggak laper” Ocha dan Sisil tidak tahu harus berbuat apa untuk mengembalikan sosok Nessa seperti semula. Semenjak kejadian itu, Nessa mempunyai hobbi baru. Ia lebih senang menyepi memandang langit baik di rumah maupun di sekolah, karena menurutnya, jika bersedih pandanglah langit, maka kita akan merasakan Tuhan senantiasa bersama kita, dan ketika ia memandang langit, ia seperti melihat wajah ayah dan bundanya. Terkadang, terlihat ia sering berbicara sendiri sambil menopang dagu memandang langit.

***


Saat makan malam, ia melihat sebuah tayangan di televisi. Seorang narasumber mensinyalir bahwa pesawat yang hilang itu tersedot oleh arus Segitiga Bermuda, karena kejadian serupa juga pernah terjadi beberapa tahun silam. Hal itu pun membuat rasa penasarannya dipecahkan dengan browsing melalui Google perihal segitiga bermuda.
Derai air mata tak henti-hentinya mengalir membasahi pipinya, saat ia membaca artikel yang ia searching tentang Segitiga Bermuda, fenomena alam yang baru pertama kali ia dengar. Naasnya, mengapa hal ini harus terjadi pada orangtuanya, harta paling berharga yang ia miliki di dunia. Nessa terdiam, antara percaya atau tidak dengan ulasan tentang Segitiga Bermuda. Mungkin jika apa yang ia baca itu benar, ia tidak akan pernah bisa melihat senyum orangtuanya untuk selama-lamanya. Impian untuk membahagiakan kedua orangtuanya saat melihat ia wisuda sarjananya pun sirna.





***
Hingga hampir tengah malam ia belum juga tertidur, ia masih duduk sendiri di teras rumah sambil memandang langit bertemankan hembusan angin kencang yang silih berganti menyapanya. Ryan hanya memandang adiknya dari balik tirai jendela kamarnya, dan kemudian menghampirinya.
“Ko belum tidur sih dek? Angin malam tuh enggak baik buat kesehatan. Sana, cepet tidur?” Ryan duduk disamping Nessa.
“Nessa kangen sama Ayah, kangen sama Bunda juga...Ayah sama Bunda lagi apa ya Kak? Mereka tidur dimana? Udah makan belum ya Kak?” Bibir Nessa bergetar, sorot matanya mengisyaratkan bahwa ia begitu merindukan kedua orangtuanya. Ryan tersenyum pahit, tatapannya menerawang kosong mendongak ke langit yang pekat dengan kabut malam.
“Sabar ya dek, Kakak juga sama kangen sama Ayah Bunda, Tapi Kakak juga enggak tau mereka ada dimana. Insya Allah Kakak udah ikhlas dek, kamu juga harus ikhlas ya sayang,” ujar Ryan mengelus-ngelus rambut Nessa.
“Tapi Kak?”
“Tapi apa? Hemm... gini, misalnya Kakak dipinjemin motor sama Yoga, Kakak udah sayang...banget sama motornya terus besoknya diambil lagi sama Yoga. Apa Kakak berhak marah ketika barang yang bukan milik Kakak diambil sama yang punyanya?” Nessa menggelengkan kepalanya.
“Sama halnya dengan Kakak yang sayang sama Ayah Bunda, tapi ternyata Tuhan lebih sayang sama mereka karena Tuhan adalah pemiliknya, intinya Tuhan yang memberi dan pada Dia pula semua akan kembali,” Nessa berulang kali menyeka bulir air mata yang menyusuri pipinya mendengar nasehat Ryan.
Dalam setiap lima waktunya, Nessa tak pernah lelah menaruh harapannya pada Tuhan, memohon yang terbaik untuk kedua orangtuanya.
”Ya Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, aku mohon dengarlah doaku. Lindungilah kedua orangtuaku dimanapun mereka berada. Apapun yang menjadi keputusan-Mu aku sudah ikhlas jika memang Engkau telah mengambil mereka dariku. Ijinkan tim evakuasi menemukan jasad keduanya. Dan berikanlah surga untuk keduanya. Berikan aku ketabahan dan kesabaran dalam menghadapi ujian-Mu ini ya Allah. Amin,” desahnya haru.


***
Empat tahun kemudian...
Seorang wanita cantik dengan balutan jins hitam serta sweater merah marun turun dari mobil xenia hitamnya, Ya wanita tersebut adalah Nessa. Semenjak lulus SMA, Nessa ikut bersama Ryan ke Semarang melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi. Meniggalkan Ocha, Sisil, Bi Inah, serta segudang kenangan di rumah yang belasan tahun pernah ditempatinya, Hari itu ia kembali menapaki jejak masa kecilnya, bertahun-tahun rumah itu memang tak berpenghuni, namun dipaksa tetap berdiri bak prasasti , kokoh berdiri meski nyaris tak terurus. Mungkin tak berharga secara wujud fisik. Tapi rumah itu bermakna karena cerita yang pernah ada di dalamnya. Setiap sudut rumah ini ada kisahnya, baik menyenangkan maupun tidak. Pada tiang-tiangnya tak pernah berganti. Seolah-olah pada dindingnya masih terukir jelas hasil coretannya dulu yang bentuknya tak karuan ketika baru bisa menulis.


“Nessa kangen sama Ayah, sama Bunda...,”ujarnya sambil membersihkan foto keluarga yang hampir seluruh permukaannya tertutup debu. Begitulah kenangan. Kita seringkali melekat pada dimensi visual, suara ataupun aroma dari sebuah benda yang mungkin kita pernah berinteraksi dengannya.
Meski sampai detik ini jasad kedua orangtua Nessa belum juga ditemukan, Nessa masih belum berhenti berharap, meskipun harapannya melihat kedua orangtuanya pulang kembali ke rumahnya sangat tipis. Empat tahun sudah musibah itu berlalu, namun hal itu tidak membuat Nessa berlama-lama larut dalam kesedihan. Nessa bangkit kembali melanjutkan hidupnya meski ia sendiripun tak pernah tahu lagi tentang keberadaan orangtuanya. Kini, Nessa tercatat sebagai Mahasiswa tingkat akhir jurusan psikolog di sebuah Perguruan Tinggi Negeri di kota Semarang.


***


Satu minggu kemudian.....
Hari ini Nessa diwisuda, hanya Ryan yang berada di sampingnya. Alangkah bahagianya Nessa apabila kedua orangtuanya ikut mendampinginya dan dapat melihat Nessa tumbuh menjadi dewasa. Namun hal itu pun mungkin kini hanya tinggal khayalan semata. Nessa terlihat sangat cantik dan anggun dengan kebaya biru yang dikenakannya, ditambah lagi dengan balutan baju wisuda lengkap dengan toganya.
Usai prosesi wisuda, sambil memandang langit ia berkata lirih, “Ayah, Bunda hari ini Nessa diwisuda. Nessa pakai baju toga, seperti impian Bunda???” ujarnya menangis haru karena rindu yang telah bertahun-tahun menyesakkan rongga dada.