Saya
merupakan anak bungsu dari sembilan bersaudara, tumbuh bersama dua orang kakak
laki-laki serta enam orang kakak perempuan. Dulu, ayah saya berprofesi sebagai
guru di sebuah madrasah dan membuka usaha percetakan di rumah, sementara ibu
saya hanyalah ibu rumah tangga biasa yang kesehariannya mengurus anak-anaknya
serta membuka warung kecil-kecilan di depan rumah untuk membantu perekonomian
keluarga. Namun, semenjak kakak ke tujuh saya lahir ibu memutuskan untuk
berhenti berjualan. Ayah pun sudah tidak lagi mengajar di madrasah karena usianya
yang sudah tidak muda lagi menuntutnya untuk pensiun, sehingga usaha percetakan
menjadi tumpuan ekonomi keluarga kami. Berhubung dahulu keberadaan percetakan
masih sangat minim, usaha ayah pun berkembang pesat hingga beliau mampu
menyekolahkan kakak-kakak saya hingga ke berbagai daerah. Ada yang menimba
ilmu di Jakarta, Sukabumi, Tasikmalaya,
Yogyakarta, bahkan hingga ke wilayah Situbondo, Jawa Timur. Tanpa pernah
meminta balasan, ayah membesarkan saya beserta delapan kakak saya hingga
memasuki jenjang perguruan tinggi. Mungkin jika dihitung, biaya pendidikan saya
serta kakak saya sejak memasuki sekolah dasar hingga melanjutkan ke perguruan
tinggi, tidak pernah sanggup untuk kami ganti karena jumlahnya yang sudah tidak
terhitung lagi. Ayah, pengorbanmu memang tak pernah bersyarat dan lelaki hebat
itu adalah ayah.
Ayah adalah sosok yang
hebat....
Ayah adalah sosok yang
tegas dan bijaksana....
Ayah
selalu mengajarkan putra putrinya tumbuh dalam kesederhanaan dan kedisiplinan,
terutama jika menyangkut urusan agama. Sejak memasuki bangku sekolah dasar,
saya sudah diajarkan mengenai tata cara salat. Menginjak bangku kelas 3 SD, ayah
sudah mewajibkan saya untuk salat tanpa boleh ada alasan apalagi
bermalas-malasan. Jika sudah memasuki waktu salat beliau sibuk mengingatkan
saya untuk jangan pernah meninggalkan salat. Tak ada ampun jika saya melanggar
perintah beliau. Ayah memang tak pernah bermain fisik, ia selalu mengingatkan
kami anak-anaknya dengan ucapan. Namun, jika apa yang beliau ucapkan tidak dihiraukan,
beliau mulai berkata dengan nada ancaman dengan maksud agar kami jera. Selain
mengajarkan salat sejak usia dini, ayah juga mengajarkan saya mengaji. Beliau
memang tidak secara langsung mengajarkan saya, namun beliaulah yang begitu
keras mendidik saya agar kelak saya pandai mengaji. Pernah suatu ketika, usai salat
maghrib saya tampak asyik bermain dengan teman-teman ketika saya masih kecil.
Beliau pun menyuruh saya untuk pergi mengaji ke mesjid, dengan terpaksa dan
sambil menangis terisak saya berangkat mengaji dan meninggalkan teman-teman
saya. Sekarang, saya merasakan manfaat yang luar biasa dari didikan ayah. Oh iya ya, kalau dulu ayah tidak mendidik
saya untuk salat dan mengaji mungkin saya tidak akan bisa apa-apa hari ini. Saya
percaya, tidak ada seorangpun orangtua yang tidak menyayangi anaknya meski sekalipun
dengan kemarahan caranya, karena ayah punya caranya sendiri untuk mencintai
saya.
Ayah adalah sosok yang
tidak pernah mengenal lelah...
Meski
kini usianya sudah menginjak lebih dari setengah abad, ayah tetap tak pernah
mengenal lelah mengabdikan hidupnya untuk kepentingan orang banyak. Ayah saya
memang bukan seseorang yang hebat di mata orang lain. Tapi, bagi saya ayah
tetap suri tauladan yang baik bagi anak-anaknya. Saat ini, ayah saya masih
aktif sebagai imam besar di mesjid sekitar tempat tinggal kami, setiap
minggunya ayah juga sering diminta untuk menjadi khatib pada saat salat jumat,
bahkan seringkali menjadi khatib pada saat salat hari raya idul fitri . Apabila
memasuki bulan ramadhan seringkali beliau juga bertindak sebagai imam salat
tarawih di beberapa mesjid. Selain itu, pada saat hari raya idhul adha beliau
kerap kali diminta untuk menyembelih hewan qurban. Beberapa karyanya terpampang
dimana-mana. Dari mulai papan nama, batu nisan, batu peresmian hingga yang
terakhir adalah kaligrafi mesjid. Saya dibuat terkagum-kagum ketika melihat
tulisan kaligrafi beliau yang terpahat begitu indah di lingkaran kubah mesjid.
Mungkin kepiawaian beliau menulis menurun pada saya meski kami menggeluti
bidang yang berbeda. Ayah lebih mengarah pada seni tulisan sementara saya lebih
menekuni bidang sastra.
Ayah adalah idola saya....
Mungkin
jika ada orang yang bertanya pada saya tentang sosok idola saya itu siapa,
dengan tegas saya akan menjawab sosok itu adalah ayah. Karena bagi saya tidak
ada seorangpun tokoh ‘hero’ di dunia ini yang mampu menandingi kehebatan dan
kegaguman saya terhadap sosok ayah. Sejak saya baru lahir, beliau yang pertama
kali mengumandangkan adzan di telinga saya, saat saya belajar dengan tertatih
untuk berjalan beliau yang membangunkan saya untuk kembali berdiri ketika saya
terjatuh, bahkan ketika pertama kali saya menginjakkan kaki di sekolah dasar,
jika kebanyakan siswa lainnya di antar oleh sang ibu, lain halnya dengan saya yang
diantar oleh ayah. Itulah letak pengorbanan sang ayah yang tidak akan pernah
ternilai dengan apapun yang sampai hari ini selalu terekam sempurna dalam
ingatan saya.
Menginjak
masa remaja, ayah mulai bersikap otoriter dengan kebebasan saya. Keseharian
saya dipenuhi oleh berbagai macam aturan. Jika pulang sekolah tidak ada
keperluan yang mendesak harus langsung pulang, jika pulang terlambat karena ada
tugas kelompok wajib telepon ke rumah, yang paling utama adalah saya dilarang
keluar malam. Jika saya melanggar aturannya, sudah pasti ketika saya pulang ke
rumah akan disambut dengan amarah dan kekecewaanya.
Ketika
saya duduk di bangku kelas 1 SMA, saya juga tergabung dalam intrakurikuler OSIS selama dua priode. Semakin saya tumbuh
dewasa, rasa kekhawatiran ayah terhadap saya pun semakin menjadi. Seperti
halnya ketika seluruh anggota OSIS diwajibkan untuk mengikuti LDKS (Latihan
Dasar Kepemimpinan Siswa) selama satu hari satu malam di sekolah. Beliau tidak
mengizinkan saya untuk ikut dengan alasan khawatir jika acara tersebut
disalahgunakan untuk hura-hura semata dan ayah berkilah, jika memang acara itu
benar-benar penting apa tidak bisa dilaksanakan pada siang hari tanpa harus menginap
di sekolah? Hingga akhirnya orang-orang penting di dalam jajaran OSIS dari
mulai Ketua, Wakil, Sekertaris, Bendahara datang ke rumah saya hanya untuk
memintakan izin, namun sayang beliau tetap bersikukuh berkata tidak. Walaupun
teman-teman semua sudah menuturkan rangkaian acara sampai mulut berbusa pun
jika beliau sudah berkata A tidak akan pernah bisa berubah menjadi B, C bahkan
D. Saya hanya bisa pasrah dengan keputusan beliau tanpa pernah bisa merubahnya.
Saat itu, seringkali saya menggerutu dalam hati karena sikap ayah yang selalu
khawatir berlebihan terhadap saya. Padahal, apa yang dilakukan ayah terhadap
saya, tanpa saya sadari adalah bentuk kasih sayang yang luar biasa yang tidak
semua anak mendapatkannya. Melihat kondisi zaman yang semakin berkembang ke
arah modern, banyak anak remaja yang terjerumus ke dalam pergaulan bebas, mungkin
ayah khawatir jika saya terjerumus ke dalam kehidupan remaja masa kini.
Ayah...Maafkan saya yang tidak peka atas rasa cinta dan kasih sayang ayah
terhadap saya.
Saat-saat
terakhir ketika saya akan menyelesaikan pendidikan saya di SMA, saya pun
disibukkan dengan pencarian memilih perguruan tinggi negeri dengan harapan
dapat mengikuti jejak kakak saya terdahulu. Dari mulai mengikuti Ujian Mandiri,
PMDK, Beasiswa, hingga yang terakhir saya mengikuti SNMPTN di Universitas Gajah
Mada, Yogyakarta. Namun dari semua seleksi yang saya ikuti, saya dinyatakan
gagal. Bodohnya, ketika tes SNMPTN saya tidak pernah berani mencoba hanya
karena takut gagal, karena pada saat itu kegemaran saya terhadap dunia tulis
menulis telah memikat hati saya untuk memperdalam bisang Sastra Indonesia.
Namun, jurusan saya ketika SMA adalah
IPA sementara Sastra Indonesia berada di prodi jurusan IPS otomatis saya harus
mengambil paket soal IPC (kolaborasi antara IPA dan IPS) jika ingin lulus di jurusan Sastra Indonesia,
dan sayangnya saya tidak mau ambil pusing untuk memperdalam IPC. Berhubung saya
tidak banyak mengetahui pelajaran IPS, saya pun ‘cari aman’ sehingga akhirnya
saya mengambil dua pilihan yang sama sekali tidak saya sukai yaitu Kimia dan
Ilmu Gizi yang pesaingnya justru lebih berat dan lebih banyak ketimbang Sastra
Indonesia.
Hingga
pada saat pengumuman tiba, hari itu menjadi hari terkelam dalam sepanjang hidup
saya ketika saya harus menyampaikan
kegagalan saya itu pada ayah. Tersirat rasa kecewa di wajahnya, harapannya
musnah hanya karena saya yang takut kalah sebelum berperang. Hari itu saya
berjanji pada diri saya sendiri kelak saya akan mengganti rasa kecewa ayah
menjadi senyum bahagia.
Akhirnya
saya pun memilih untuk kuliah di sebuah akademik swasta pilihan ayah dengan
jurusan yang sama sekali tidak pernah saya bayangkan sebelumnya yaitu Manajemen
Informatika. Awalnya saya berpikir, jika saya kuliah di jurusan Manajemen
Informatika saya harus mengubur mimpi saya untuk menjadi seorang penulis. Tapi
ternyata saya salah, Karena sampai detik ini saya masih memelihara asa saya
untuk menjadi seorang penulis. Nasihat beliau, Mau kuliah di jurusan IT atau Sastra Indonesia kuliah dimanapun sama saja.
Masalah nanti kamu mau jadi apa biar doa dan usaha yang tak pernah putus asa
yang senantiasa akan mengikutinya. Saya yakin, bahwa dimanapun kita berada
itulah tempat terbaik kita. Mungkin kuliah di perguruan tinggi negeri memang bukan
rezeki saya.
Dari
sembilan anak ayah, hanya saya yang tidak pernah kenal dengan sekolah khusus
agama. Semua kakak saya pernah menimba ilmu di Madrasah Tsanawiyah, Madrasah
Aliyah bahkan di pondok pesantren. Sementara saya, menghabiskan masa remaja
saya di SMP dan SMA Negeri. Saya hanya dapat mendengar dunia pesantren itu
menyenangkan dari cerita kakak saya tanpa pernah bisa merasakannya. Mungkin
karena saya anak bungsu, yang terkesan manja dan tidak bisa jauh dari orangtua
membuat mereka tidak percaya jika saya bisa mengurus diri sendiri tanpa
keberadaan orangtua.
Dan
kini saya menyadari tentang alasan ayah dengan begitu disiplin mendidik
anak-anaknya, karena rasa tanggung jawab ayah itu semacam petani yang merawat
tanamannya agar tumbuh dengan baik dan membuahkan hasil yang membanggakan. Di
mana kesuburan tanamannya, tidak akan terlepas dari upaya pembersihan hama dan
gulma, juga tangan-tangan jahil yang ingin mencabutnya sebelum masa panen tiba.
Ayah yang telah
mengajarkan saya banyak hal.
Ketika
saya duduk di kelas 2 SMP, di depan rumah saya ada seorang lelaki berambut ikal
meminta izin untuk berjualan koran di depan rumah saya, karena tempat
sebelumnya berjualan akan dibangun sebuah warung. Jika di tempat sebelumnya dia
menyewa, ayah mengizinkan lelaki itu berjualan tanpa harus membayar uang sewa.
Begitu mulianya hati ayah. Seiring berjalannya waktu, tiba-tiba lelaki itu menghilang
tanpa memberi alasan yang jelas. Ternyata,
lelaki tersebut mempunyai hutang yang tidak sedikit pada agen koran yang
sehari-hari dijajakannya. Sementara semua koran, tabloid, majalah sebagai
barang dagangannya ia titipkan di rumah saya. Hingga akhirnya, ayah
berinisiatif untuk mengambil alih profesi tukang koran itu, karena kebetulan
ayah juga tidak ada kesibukkan di rumah. Dengan meja kecil seadanya, setiap
pagi ayah menjajakan koran-koran itu dengan senang hati meski hasilnya tidak
seberapa. Ayah bilang, lumayan setiap harinya
bisa baca gratis kan nambah ilmu pengetahuan juga?
Selang
beberapa bulan kemudian, ayah jatuh sakit. Sehingga saya yang mengambil alih
semuanya. Dari mulai mengangkat meja sendiri, merapihkan koran, majalah dan
tabloid, meretur barang, hingga sore tutup dan kembali membereskannya.
Alhamdulilah, hasilnya lumayan. Bisa menutupi kekurangan uang jajan saya bahkan
lebih. Setelah ayah sembuh dari sakitnya, beliau menyerahkan usaha koran itu
pada saya. Sejak saat itu, saya sudah tidak pernah lagi meminta uang jajan pada
ayah. Kelas 2 SMP saya sudah punya usaha sendiri, yang menjadi pembuktian bahwa
saya bukan anak bungsu yang manja yang selalu mengandalkan orangtua. Kios
sederhana koran milik kami buka dari pagi hingga sore hari. Jika saya sekolah
ayah yang menjaganya setengah hari, kemudian secara bergantian saya yang
menjaganya setelah pulang sekolah.
Bahkan jika hari minggu saya yang menjaganya full seharian. Meski pada saat itu saya harus kehilangan masa
remaja saya, tapi saya senang melakukannya. Disaat teman-teman mengajak bermain
saya selalu menolaknya karena saya sudah mempunyai tanggung jawab yang ayah
amanahkan pada saya. Tentunya, masa remaja saya menjadi tidak terbuang sia-sia.
Apabila koran, majalah dan tabloid itu belum laku terjual, saya menjaganya
sambil membaca. Justru saya banyak tahu tentang sesuatu yang baru dari koran
yang tiap hari saya baca.
Biasanya
koran-koran itu setiap paginya diantarkan ke rumah, semenjak pegawai agennya
banyak yang mengunduran diri, jadi saya yang mengambilnya langsung. Berhubung
saya tidak bisa mengendarai sepeda motor, saya mengambilnya dengan mengendarai
sepeda. Terkadang saya malu, banyak mata yang memandang saya miring. Ko, hari gini masih zaman ya naik sepeda?.
Tapi saya bangga dengan profesi saya, karena tidak banyak orang yang bisa
melakukan pekerjaan seperti saya disaat usia yang kebanyakan remaja melakukan
hal hura-hura semata. Hal ini saya lakukan selama 6 tahun dari mulai saya kelas
2 SMP hingga saya duduk di bangku kuliah semester 2. Kios sederhana saya terpaksa
gulung tikar karena keberadaan tekhnologi saat ini yang semakin canggih,
informasi apapun sudah tersedia dalam internet. Jika saat zaman sekolah dulu
saya selalu mengerjakan tugas makalah dari koran, sekarang para siswa lebih
banyak yang mencarinya lewat internet karena terkesan lebih mudah. Tidak perlu
repot repot membaca, hanya tinggal masuk aplikasi Google semua pembahasan yang ingin kita cari sudah tersedia.
Semua
pelajaran ini saya dapatkan dari ayah. Bahkan saya yang dulunya hanya seorang
pembaca, kini saya adalah seorang penulis. Padahal sebelumnya saya hanya
sebatas bermimpi tulisan saya bisa dibaca oleh orang banyak. Tapi kesabaran itu
kini berbuah manis, dan yang tak kalah membuat saya senang adalah ketika saya
menyerahkan koran harian yang didalamnya terdapat cerpen saya pada ayah. Beliau tersenyum bangga sambil menatap saya
lekat.
Ayah...terimakasih
atas banyak pelajaran hidup yang kau berikan, untuk seterusnya saya berjanji
akan membuat senyuman itu terkembang lebih indah lagi di wajah ayah.