Risa terlihat tergesa-gesa mempercepat langkahnya. Sore
itu…Ia hampir saja lupa, bahwa hari ini Reza akan pulang kembali ke
Jakarta setelah satu tahun ia menetap di Makassar melanjutkan
pendidikannya di sekolah penerbangan. Berulang kali ia menatap arloji
berwarna silver yang melingkar di lengannya. Tak sabar ia begitu ingin
berjumpa dengan Reza, terselip tanya dalam benaknya tentang Reza. Apa ia masih seperti Reza yang bertahun-tahun lalu dikenalnya?
Padatnya
jalanan ibukota membuat ia harus sedikit bersabar ketika kemacetan
menghadangnya. Dua jam terjebak kemacetan membuat Risa geram. Namun hal
itu memang sudah biasa dijalaninya. Risa tiba di rumah tepat saat adzan
maghrib berkumandang. Sebelum memasuki rumah, pandangannya terlebih
dahulu melirik tajam ke arah rumah Reza. Terukir senyum indah di
bibirnya. Ia begitu ingin menemui Reza yang ia anggap sebagai sahabat
terbaiknya.
Usai
makan malam, Risa langsung bergegas menuju rumah Reza yang hanya
terhalang oleh 3 rumah tetangga lainnya. Ada segudang cerita yang ingin
ia sampaikan dan segenap tawa yang ia suguhkan pada Reza.
“Reza…”
Risa berdiri di depan pagar rumah Reza. Masih seperti dulu ketika Risa
akan mengajak Reza berangkat sekolah bersama. Tiba-tiba Reza menyembul
dari balik pagar.
“Dooooooooooooor” Reza menyunggingkan senyum khasnya.
“Ih…Reza,
masih aja dari dulu usilnya enggak hilang. Kan kaget tahu, aku pikir
hantu,” kebiasaan mereka pun masih tetap sama seperti dulu, Risa
mengacak-ngacak rambut Reza, sedang Reza membalasnya dengan mencubit
hidung Risa gemas.
“Enggak berubah ya? Tetep Risa yang mungil, lucu, nyenengin, ngangenin…” Risa pun menyela, “Dan…Reza yang nyebelin hehe…”
“Wooo dasar. Ayo masuk Sa?” ajak Reza.
“Disini aja yuk Za, lihat bintang sambil menikmati sejuknya angin malam…”
Mereka berdua lebih memilih duduk di atas rerumputan halaman rumah Reza, rembulan
pun terasa sempurna dalam menyuguhkan kehangatan memperindah malam. Dua
cangkir capucino hangat menemani celoteh mereka berdua. Risa duduk
tepat di samping Reza, dengan berusaha tenang dan saling mendengarkan
keduanya menceritakan pengalaman masing-masing dari semenjak Reza pergi
hingga kini ia kembali. Sesekali mereka saling tertawa geli. Pohon
mangga, dedaunan, ranting, batang dan bunga-bunga di pekarangan seolah
ikut merasakan kehangatan persahabatan yang terjalin antara Risa dan
Reza.
“Oh iya, tempat favorit kita masih ada kan Sa?”
“Ada kok Za, tapi semenjak kamu pergi aku udah enggak pernah lagi kesana”
“Besok temenin aku kesana ya Sa? Harus mau, enggak mau tahu”
Risa
pun mengiyakan ajakan Reza, karena ia pun merasakan hal yang sama.
Merindukan sebuah tempat yang menjadi saksi bisu persahabatannya dengan
Reza.
***
Berhubung
hari itu Risa tidak ada jadwal kuliah, sore ini ia akan kembali
memijakkan kakinya di atas gedung kosong yang lama tak berpenghuni itu.
“Senja
disanalah cerita tentang kita bermula…senja kita apa kabar ya Za?
Setelah 1 tahun lebih enggak berkunjung kesana apa senja masih inget
sama kita?” Reza hanya geleng-geleng kepala dan tersenyum simpul
menanggapi pertanyaan Risa. Reza menuntun Risa untuk naik ke lantai
teratas gedung tua, tujuan meraka hanya satu. Menghabiskan sore sambil
menatap keindahan langit jingga seperti yang sering mereka lakukan dulu.
“Kamu
tahu enggak Za? Semenjak kamu pergi aku mendadak jadi penulis. Biasanya
kalo ada apa-apa aku cerita sama kamu, sekarang aku cuma bisa cerita
sama buku ini. Aku tumpahin semua hal yang terjadi di buku ini dari
mulai hal yang lucu, sedih, bahagia aku bener-bener lewatin sendiri.”
“Maafin aku ya Sa, tapi seengganya kamu bisa jadi Risa yang mandiri” seulas senyum teduh Reza yang menenangkan Risa.
“Kalau
nanti kamu mau balik lagi ke Makassar, kamu bawa buku ini ya Za…kamu
boleh nulis apapun di buku ini. Jadi kalau buku ini ada di kamu, kamu
bisa baca ceritaku begitupun kalo buku ini berpindah lagi ke tanganku
aku bisa baca cerita-cerita kamu,” Risa memberikan sebuah buku bersampul
boneka danbo pada Reza, kemudian Reza pun menerimanya. Ketika ia
membuka lembar pertama halaman buku itu, pandangannya tertumbuk pada
satu kalimat, Kita… laksana jingga yang begitu setia pada langitnya.
“Maksud dari kata-kata ini apa Sa?”
“Hem…kamu
lihat deh langit senja itu, indah kan? Langit dan rona jingga akan
terlihat indah jika bersatu. Keduanya saling melengkapi untuk
memancarkan keindahan kepada para penduduk bumi dan aku berharap
persahabatan kita akan selalu indah memancarkan kebaikan pada sesama dan
setia untuk saling menjaga. Ya…seperti jingga yang setia pada
langitnya,” mata jenakanya menatap Reza.
“Hem, pinter ya kamu Sa…tumben hahaha”
“Iya
lah, kamu juga banyak diajarin sama aku kan Za…hehe. Eh tapi Za, entah
kenapa aku suka penasaran kenapa nama langit sore yang berwarna jingga
itu namanya senja ya?”
“Kenapa
namanya senja? Aku juga enggak tahu asal usulnya darimana yang jelas
pertanyaan kamu itu sama halnya kenapa air yang menetes dari langit itu
namanya hujan? semua itu sudah ada yang mengaturnya. Penemunya itu ya
Tuhan” ujar Reza menjelaskan. Risa mencoba memahami apa yang diutarakan
Reza, ada hening sesaat di antara mereka.
“Sudah, jangan suka mempertanyaan kehendak Tuhan nanti kamu dipanggil Tuhan diberi penjelasan mau?”
“Ih Eza masa ngomongnya gitu aku kan belum siap tahu, kamu duluan aja…hehe” ujar Risa menggoda.
“Ya
kalau sudah waktunya giliran aku yang dipanggil Tuhan tiba aku bisa
apa? Sesuatu yang mulanya ada itu pasti suatu saat nanti akan menjadi
tiada seperti persahabatan kita juga Sa…”
“Ya Tapi enggak sekarang juga kan Za?” Risa terhenyak memandang ke arah langit.
“Matahari sudah mau pulang tapi kita masih disini…Ayo pulang?” Reza tampak mengalihkan pembicaraan.
“ Tapi aku masih mau disini Za?” meski Risa bersikukuh tidak mau pulang, Reza mengamit lengannya. Dengan berat hati Risa pun berdiri beranjak dari duduknya, mengikuti langkah Reza yang seirama dengannya.
Dua
minggu menghabiskan waktu liburan di kota kelahirannya terasa begitu
singkat bagi Reza. Sore ini, ia harus kembali ke Makassar menjalani
rutinitasnya sebagai pelajar sekolah tinggi penerbangan. Untuk kedua
kalinya juga ia harus meninggalkan Risa. Masih di tempat yang sama, di
atas gedung tua beratapkan langit senja.
“Kamu
kenapa enggak kuliah disini aja sih Za? jadi kan kita masih bisa
sama-sama.” Risa mendekap tas ransel milik Reza. Belum sempat Reza
menjawab Risa kembali bicara.
“Kalau
malem-malem ada pesawat lewat aku suka ngintip di jendela. Berharap di
dalemnya itu kamu dan pesawat itu landing di lapangan samping rumahku,
supaya setiap malem kita bisa cerita-cerita, makan martabak kesukaan
kita terus ngerjain tugas bareng kaya dulu”
“Hem,
aku janji tiga bulan setelah hari ini tepat tanggal 12 Juli aku pulang
lagi deh. Ok mungil?” Risa tampak sumringah. Akhirnya Reza pergi dengan
perasaan lega tanpa terbebani oleh Risa.
***
Tiga
bulan yang selalu Risa tunggu begitu terasa cepat berlalu. Hari ini,
Risa tampak girang berharap Reza dapat menepati janjinya untuk pulang. Jadwal
kuliah Risa pun cukup padat karena ada kuliah tambahan di kampusnya
sehingga membuatnya harus pulang sore. Dalam perjalanan pulang ke rumah,
hampir saja motor yang dikendarai Risa menabrak seorang pejalan kaki,
namun ia masih mampu menyeimbangkan laju sepeda motornya.
Sesampainya
di depan gerbang rumah, pandangannya langsung tertumpu pada rumah Reza.
Terlihat beberapa orang berlalu lalang disana, tidak seperti biasanya.
Yang lebih membuat Risa tampak kaget, ada bendera kuning menghiasi pagar
rumah Reza. Secepat mungkin ia bergegas masuk ke dalam rumah
memanggil-manggil ibunya.
“Ibu…Ibu…di rumah Reza kok ada bendera kuning, siapa yang meninggal Bu? Papanya Reza ya?” ibu diam tak menggubris pertanyaan Risa bibirnya seakan sulit sekali untuk bicara menceritakan semuanya pada Risa.
“Ih
ibu kok diem sih? Coba biar Risa telepon Reza, jahat banget Reza enggak
kasih tahu Risa.” Risa mencari-cari ponsel dalam tasnya. Setelah lama
tak ada jawaban Risa pun diam sejenak memalingkan pandangannya pada Ibu.
“Ibu, jawab
Risa di rumah Reza siapa yang meninggal?” matanya mulai berkaca-kaca.
Ibu tak mampu berkata apa-apa hanya buliran air mata yang menghiasi
wajahnya. Risa menjatuhkan tasnya ke lantai, kemudian berlari dengan
gontai mencoba menepis pikiran buruk yang ada di benaknya. Harapnya,
Reza baik-baik saja.
Di
bawah naungan tenda puluhan kursi berjejer rapi, terlihat beberapa
orang mengenakan seragam pilot seperti yang pernah ia lihat di sebuah
foto dalam ponsel Reza. Prasangka buruk mengenai Reza pun semakin kuat merajai
pikirannya. Risa mematung di bibir pintu, ditatapnya semua orang yang
berada disamping jenazah satu persatu. Pak Anwar, Ibu Tia, Dira adik
perempuan Reza satu-satunya mereka tampak baik-baik saja. Lalu, dimana
Reza? Kenapa hanya ia yang tidak berada disana? Jenazah yang sedang
ditangisi puluhan orang dalam ruangan itu siapa? Reza? Batin Risa
menerka-nerka.
“Bunda…,”
Risa memanggil ibunda Reza, puluhan pasang mata tertuju padanya. Ibunda
Reza menghampiri Risa. Saking paniknya, beliau lupa memberitahu Risa
tentang kecelakaan pesawat yang menimpa buah hatinya.
“Reza
mana Bun? Kok Risa telepon enggak di angkat? Hari ini Reza janji sama
Risa mau pulang, Reza bilang Reza mau lihat senja bareng Risa di atas
gedung tua?” suaranya gemetar. Ibu Tia memeluk Risa erat, Ibu Tia
memandangi wajah Risa sejenak. Dipegangnya kedua pipi Risa dengan
lembut.
“Reza…” Ibu Tia menggantung pembicaraannya, lidahnya begitu kelu wajahnya sendu menahan haru.
“Reza
mengalami kecelakaan ketika mengikuti latihan penerbangan. Ia meninggal
dunia di tempat peristiwa. Dan jenazah yang kini ada dihadapan kita
adalah Reza, sahabatmu Risa” Ibu Tia kembali mendekap Risa erat,
menangis di bahu Risa. Buliran air bening itu terasa menghangat di wajah
Risa. Ia mendekat ke arah jenazah Reza, matanya membelalak tak percaya
ketika kain penutup wajah berwarna putih itu dibuka. Jenazah yang berada
dihadapannya adalah benar-benar Reza, sosok sahabat setia yang selama
bertahun-tahun menemaninya. Ada sesak yang menyelimuti hatinya karena
Reza kini sudah tidak lagi bernyawa. Senyum teduh miliknya,
nasihat-nasihat bijaksana yang selalu dilontarkannya, sifat jenakanya, Jangan
suka mempertanyakan kehendak Tuhan nanti kamu dipanggil Tuhan diberi
penjelasan mau?, Sesuatu yang mulanya ada itu pasti suatu hari akan
tiada termasuk persahabatan kita, suara-suara itu seakan
terngiang-ngiang di telinganya. Semua kenangan yang pernah dirajut
bersamanya silih berganti berputar dibenaknya.
Semua
mata memandang Risa iba, tak henti-hentinya ia menangis disamping
jenazah Reza. Tepat jam 5 sore ini jenazah Reza akan dikebumikan,
tentunya lebih cepat lebih baik. Sebelum jenazah Reza dimasukan kedalam
keranda, semua keluarga diberi kesempatan untuk menciumnya untuk yang
terakhir kalinya. Kini, tiba saatnya giliran Risa berkali-kali ia
menyeka bulir air mata diwajahnya. Risa mencium kening Reza begitu lama, sebuah
ciuman perpisahan terpautkan doa. Sambil berbisik pelan ditelinganya,
“Senja disana akan jauh lebih indah dari senja yang sering kita lihat
disini Za”
Dengan
dipapah Dira adik perempuan Reza, manik-manik basah itu seakan melaju
lebih deras dari sebelumnya di pipi Risa saat raungan suara sirine
ambulance serta iring-iringan jenazah akan mengantarkan Reza ke tempat
peristirahatannya yang terakhir tepat ketika jingga begitu merona,
keharmonian alam yang sangat disukai Reza.
Usai mengikuti proses pemakaman,
“Risa…ini
milikmu?” tanya Ibu Tia. Risa tertegun memandangi buku bersampul boneka
danbo yang sempat ia berikan pada Reza tepat 3 bulan yang lalu.
“Ia
Bunda, itu punya Risa” jawab Risa dengan suara yang lemah. Diberikannya
buku itu pada Risa. Sampulnya sudah tampak lusuh, mungkin tertindih
puing-puing pesawat namun tulisan-tulisan yang ada didalamnya masih
sangat jelas untuk dibaca. Halaman demi halaman dibacanya, semua cerita
tertata begitu rapih dengan goresan tulisan tangan Reza. Hingga ia
sampai pada halaman terakhir. Sebuah puisi yang ia beri judul Kala Senja Kita Berkabut Duka
Aksara dan coretan dalam bait-bait kata ini, ku bingkiskan sebagai kenangan terakhir dariku untukmu…
Mungkin suatu masa nanti
Senja tak dapat kulihat lagi melukis wajahmu dalam indahnya jingga di suatu sore ku
Mungkin pula tak pernah ku tahu kemana awan berarak membisu
Mungkin suatu masa nanti
Senja tak dapat kulihat lagi melukis wajahmu dalam indahnya jingga di suatu sore ku
Mungkin pula tak pernah ku tahu kemana awan berarak membisu
Kala senjaku berkabut rindu,
Ketika jarum gerimis menghias ruang jemari waktu,
Menjemput malam menuju peraduan
Memeluk bayang dalam erat impian
Tak akan pernah aku lupa, kala erat jemari menemani resah rindu di hati kita
Di kala senda gurau menghiasi jalinan kisah yang terpaut mesra
Tentangku yang berjalan dalam kisah hidupmu
Tentangmu penoreh cerita terindah dalam hidupku…
Jika nanti kau merindukanku
Ingatlah aku dalam kenangan lalu
Karena mungkin saat itu aku telah jauh disana dan telah berlalu
Ketika jarum gerimis menghias ruang jemari waktu,
Menjemput malam menuju peraduan
Memeluk bayang dalam erat impian
Tak akan pernah aku lupa, kala erat jemari menemani resah rindu di hati kita
Di kala senda gurau menghiasi jalinan kisah yang terpaut mesra
Tentangku yang berjalan dalam kisah hidupmu
Tentangmu penoreh cerita terindah dalam hidupku…
Jika nanti kau merindukanku
Ingatlah aku dalam kenangan lalu
Karena mungkin saat itu aku telah jauh disana dan telah berlalu
Dalam kisah yang pernah kita ukir dulu
Ketahuilah, kau kan tetap menjadi sahabat terindah dalam hatiku,
Karena kau adalah mimpi yang selama ini menguatkanku,
Kau sahabat terindah yang takkan kubiarkan waktu menghapusmu
Jika esok aku telah tiada
Mungkin pula aku telah hilang di rimba asa
Atau mungkin senja menenggelamkan raut rupa
Ku harap kau tegar melangkah dalam setiap lembar kisah yang akan tercipta..
Untukmu sahabat terindahku,
Ingatlah…Bahwa aku takkan pernah sedetikpun meninggalkanmu
Karena kau adalah mimpi yang selama ini menguatkanku,
Kau sahabat terindah yang takkan kubiarkan waktu menghapusmu
Jika esok aku telah tiada
Mungkin pula aku telah hilang di rimba asa
Atau mungkin senja menenggelamkan raut rupa
Ku harap kau tegar melangkah dalam setiap lembar kisah yang akan tercipta..
Untukmu sahabat terindahku,
Ingatlah…Bahwa aku takkan pernah sedetikpun meninggalkanmu
Sadarilah…Hanya sebatas ragaku ini yang melambaikan salam perpisahan
Namun hati ini takkan pernah beranjak pergi dari sisimu
Persahabatan…Kerinduan…Kenangan…
Namun hati ini takkan pernah beranjak pergi dari sisimu
Persahabatan…Kerinduan…Kenangan…
Terukir indah dalam sebuah bingkai kehidupan..
Jika aku boleh meminta pada Tuhan,
Aku tak pernah ingin ada perpisahan…
Aku tak pernah ingin ada kehilangan…
Aku tak pernah ingin ada kematian…
Ketahuilah…Bukan karna aku ingin melepasmu,
Namun jemari takdir terlalu erat menahan khilaf jiwa yang tak pernah aku minta…
Namun jemari takdir terlalu erat menahan khilaf jiwa yang tak pernah aku minta…
Reza,
Di penghujung malam, 11 Juli 2011
Risa
tertegun. Puisi tersebut Reza tulis kemarin malam, yang menjadi sebuah
isyarat kepergiannya. Reza memang kembali tepat pada tanggal 12 Juli,
namun dengan jasad yang sudah tidak bernyawa lagi. Janji itu ia
tuntaskan dengan cara yang tak pernah Risa bayangkan. Namun begitu, Reza
akan selalu hidup dalam remah-remah kenangan bersama segudang cerita
yang pernah mereka rangkai bersama.
Sambil mendongak ke langit senja, Risa berucap lirih. Kita…laksana jingga yang setia pada langitnya.
cukup mengharukan,.
BalasHapusya makasih sudah mau berkenan membaca ma asep :)
BalasHapusEmperor Casino Slots - Shootercasino
BalasHapusTry Emperor Casino slots for free 인카지노 and 메리트카지노총판 for real money at Shootercasino! With over 500 games to 제왕 카지노 choose from, including all the highest paying providers.