Pagi-pagi sekali ketika satu persatu embun luruh dari ujung daun dari
pengeras suara masjid terdengar sebuah pengumuman bahwa hari ini
seluruh warga dihimbau untuk bekerja bakti membersihkan masjid, karena
hanya tinggal satu hari lagi seluruh umat muslim di dunia akan menyambut
bulan suci ramadhan. Bulan yang sangat istimewa dibandingkan sebelas
bulan yang lain. Satu persatu warga dari kampung sebelah berdatangan
memenuhi halaman masjid terlebih kaum adam, sedang ibu-ibunya bertugas
untuk menyiapkan makanan dan minuman untuk bapak-bapak yang ikut bekerja
bakti. Sedangkan warga dari komplek perumahan itu sendiri yang datang
hanya beberapa. Meskipun jumlahnya tidak banyak setidaknya ada
perwakilan yang ‘datang’ dari mayoritas yang ‘tidak datang’.
Masjid
Darussalam berdiri begitu megahnya dengan arsitektur mewah yang bahan
baku pembuatannya diimpor dari luar negeri. Sementara dananya didapat
dari sumbangan warga komplek perumahan yang mempunyai kekayaan melimpah.
Namun sayang masjid ini terkesan kurang terurus meskipun terletak di
kawasan perumahan elit dan padat penduduk. Toiletnya terlihat kotor,
karpet dan lantainya dibiarkan berdebu, mungkin mukena-mukena yang
menggantung yang telah disediakan untuk tamu pun sudah berbulan-bulan
tidak tersentuh aroma wangi dari sabun cuci. Setiap harinya para warga
sibuk berkerja di kantor. Bapak-bapak yang kerapkali mengikuti salat
berjamaah pun dapat dihitung dengan jari itupun berasal dari warga
kampung sebelah. Mungkin, jika di masjid-masjid lain masih sering
diadakan pengajian, lain halnya dengan mesjid megah ini yang selalu
sepi. Tak ada ibu-ibu yang menggelar pengajian rutin meskipun hanya
seminggu sekali. Ibu-ibu di komplek ini adalah istri dari para petinggi
perusahaan yang gemarnya belanja, arisan dan mengikuti perkembangan fashion. Sedangkan anak-anak mudanya lebih gemar mencari kesenangan di mall ketimbang mencari pahala di masjid.
***
Melihat kondisi masjid yang tidak terurus inilah yang membuat Mang Adim, seorang lelaki paruh baya berusia 61
tahun merasa terpanggil untuk mengurus masjid. Semenjak istrinya
meninggal dunia beberapa bulan lalu ia hidup sendirian dan kesepian
karena tidak mempunyai keturunan. Sehingga ia memutuskan mengabdikan
hidupnya agar bermanfaat untuk orang banyak dengan menjadi marbot di
masjid.
Sedangkan
rumah sederhana yang pernah ia tempati bersama istrinya dijual untuk
menutupi hutang-hutangnya ketika membiayai pengobatan istrinya yang
sudah menelan biaya cukup banyak. Kemudian sisanya ia gunakan untuk
kebutuhan sehari-hari. Kebetulan di samping tempat wudlu ada ruangan
yang tidak terpakai, sehingga dimanfaatkan Mang Adim untuk kamar tidur.
Ruangannya memang tidak besar. Namun cukup jika untuk hidup seorang
diri.
Hari-harinya
dihabiskan di lingkungan masjid. Mulai dari pagi hari ia sudah terlihat
menyapu dan kemudian menyirami bunga-bunga dan pepohonan di halaman
masjid. Siang harinya ia membersihkan puluhan toilet serta tempat wudhu
sampai benar-benar bersih. Sementara untuk makan, terkadang ada warga
yang berbaik hati membagi makanan untuknya. Namun begitu ia tak pernah
mengharapkan pemberian dari orang lain, jika ada yang memberi ia terima
dengan penuh rasa syukur namun jika tidak ada pun ia selalu membeli
makan di warung dengan uang dari gaji yang diterimanya setiap bulan
sebagai marbot masjid. Gajinya memang tidak besar, namun cukup jika
untuk membiayai kebutuhannya sehari-hari. Sebanyak apapun rezeki yang
Tuhan beri ia selalu menerimanya dengan kelapangan hati dengan wajah
yang selalu berseri.
Jika
sudah masuk waktu salat, seketika Mang Adim menghentikan seluruh
aktivitasnya bergegas mengambil air wudlu. Selain menjadi marbot masjid,
Mang Adim juga kerap kali bertindak sebagai muadzin menyerukan
kumandang adzan. Menjelang sore harinya Mang Adim menyapu dan mengepel
lantai masjid yang begitu luasnya dengan nafas terengah mungkin karena
tubuhnya yang sudah renta. Rambutnya hampir seluruhnya memutih, jalannya
sudah tidak tegap lagi, namun hal itu bukan penghalang baginya,
buktinya ia mampu menyelesaikan tugasnya membersihkan masjid seorang
diri.
Sekalipun
dalam hidupnya ia merasa sangat kesepian, tapi Mang Adim yakin ia punya
Tuhan yang tidak pernah sekalipun menginggalkannya sendirian. Ia tidak
pernah mengeluh, justru ia melakukan semua pekerjaannya dengan perasaan
ikhlas dan senang hati.
***
Sorot
matanya tampak berbinar ketika melihat warga kampung sebelah bahu
membahu membersihkan seluruh bagian mesjid. Setidaknya dapat meringankan
tugasnya untuk membersihkan mesjid, karena usianya yang sudah tidak
muda lagi seringkali membuat ia merasa kelelahan jika harus membersihkan
masjid seluas ini.
Yang
lebih membuat ia tak kalah senang adalah dengan akan datangnya bulan
ramadhan. Karena bila ramadhan tiba, masjid cendrung lebih ramai dari
biasanya. Kerja bakti membersihkan masjid untuk persiapan menyambut
bulan suci ramadhan pun selesai.
***
Malam
itu adalah malam pertama melaksanakan salat tarawih. Warga
berduyun-duyun datang bersama keluarga tercinta. Bahkan para jamaah dari
mulai anak-anak, remaja, orang dewasa hingga orangtua meluber hingga ke
halaman mesjid karena begitu banyaknya warga yang ingin melaksanakan
solat tarawih di Masjid Darussalam.
Mang Adim tampak sumringah, karena masih banyak warga yang mau datang ke masjid walaupun dalam moment
setahun sekali. Mungkin apa karena ketika bulan ramadhan pahala
kebaikan dilipatgandakan yang membuat warga berlomba-lomba datang ke
masjid? Biarlah, hal itu bukan urusan Mang Adim yang penting ia merasa
senang melihat masjid ramai.
Usai
salat tarawih ia duduk di tangga masjid memandang sekelompok anak kecil
yang sedang berlarian di halaman mesjid sambil sesekali tersenyum tipis
melihat tingkah lucu mereka.
“Ingin
sekali rasanya aku menggendong mereka, andai dulu aku punya anak. Ah
sudahlah…” protesnya dalam hati. Tiba-tiba ia teringat almarhum
istrinya. Tetesan air bening pun tak terasa melaju deras di kedua
pipinya.
Dulu,
ketika istrinya masih ada, Mang Adim sangat merindukan kehadiran
seorang anak dalam rumah tangganya. Namun sayang, Tuhan tidak
mengaruniai Mang Adim anak sampai pada akhirnya istrinya meninggal dunia
karena kanker rahim yang bertahun-tahun dideritanya.
***
Sekalipun
sedang menjalani ibadah puasa, Mang Adim tetap melaksanakan tugasnya
sebagai marbot mesjid. Sejak memasuki bulan ramdhan ia tidak pernah lagi
merasa kesepian. Setiap harinya masjid tak pernah sepi dari pengunjung.
Banyak orang berlomba-lomba berburu pahala dengan datang ke masjid
melakukan serangkaian ibadah seperti salat wajib, salat sunnah, tadarus
Al-Qur’an bahkan i’tikaf. Seringkali masjid dipergunakan sebagai tempat
berbuka puasa oleh penghuni perumahan komplek elit dengan anak-anak
yatim piatu. Ibu-ibu sosialita yang biasanya Mang Adim lihat dengan
rambut mengkilap dan aksesoris mewah pun disaat bulan ramadhan terlihat
jauh lebih anggun dengan balutan busana muslimah dan kain penutup
kepala. Saat diadakan buka puasa bersama, tak sengaja Mang Adim
mendengar seorang anak berbicara kepada temannya,
“Coba
ya setiap hari kita bisa makan enak kayagini, kalau di panti makannya
tahu tempe terus setiap hari?” anak itu tampak lahap menyantap ayam
bakar yang digenggamnya. Sedangkan temannya hanya mengangguk-ngangguk
kecil mengiyakan ucapannya. Mang Adim yang saat itu berada disamping dua
anak itu berujar dalam hati,
“Andai
bulan ramadhan itu setiap hari, mungkin semua orang akan terus menerus
melakukan kebaikan. Berbagi kepada sesama sehingga tak ada orang-orang
yang kelaparan. Namun sayangnya bulan ramadhan hanya terjadi setahun
sekali,” ujarnya sambil memandang dua anak yang sedang mengobrol tadi.
***
Pada
awal - awal ramadhan Masjid Darussalam masih tampak penuh. Namun,
hari-hari berikutnya jamaah tampak menurun. Sepertinya ibu-ibu komplek
yang sering mengadakan buka puasa bersama atau sekedar memberi takjil
pun sudah mulai bosan. Jika hari-hari sebelumnya ketika salat tarawih
jamaah sampai membludak ke halaman masjid, kini di bagian dalam masjid
pun banyak celah-celah yang kosong. Jamaah salat subuh pun berkurang drastis dari yang mulanya mencapai 5 shaf kini hanya tinggal 1 shaf setengahnya pun tidak. Tak pelak, pemandangan seperti ini membuat Mang Adim merasa sedih.
Apalagi
ketika sudah menjelang sepuluh hari terakhir bulan ramadhan, banyak
warga yang beralih ke pusat perbelanjaan memburu perlengkapan lebaran.
Sedang masjid perlahan mulai ditinggalkan. Padahal di sepuluh hari
terakhir bulan ramadhan inilah terdapat malam kemuliaan yaitu malam lailatul qadar
yang jika kita melakukan amal kebaikan besar pahalanya seperti
beribadah seribu bulan. Fenomena masjid kalah ramai dari mal memang
sangat memprihatinkan.
***
Tidak
terasa esok ramadhan pun akan segera pergi. Masjid yang akhir-akhir ini
ramai mulai kembali sepi. Banyak warga yang satu persatu mudik ke
kampung halaman untuk berlebaran bersama keluarga tercinta. Namun,
bagaimana dengan Mang Adim? Isteri telah tiada sedang anak tidak punya,
entah ia akan berlebaran dengan siapa. Jika
ingin berlebaran di kampung halaman pun ia harus membawa uang yang
tidak sedikit karena sanak saudara Mang Adim tinggal di Kalimantan.
Sungguh menyedihkan, lebaran kali ini adalah lebaran pertama tanpa
kehadiran istri tercinta dan harus ia lewati sendirian bertemankan
kesedihan dan kesepian.
Malam
harinya, usai salat maghrib. Lantunan kumandang takbir bergema
dimana-mana bahkan hingga ke penjuru dunia karena esok semua umat muslim
akan menyambut hari kemenangan. Disaat orang-orang bersuka cita karena
berkumpul bersama keluarga, Mang Adim hanya bisa meratapi nasibnya
sambil termenung di bawah menara masjid. Lebaran tahun ini ia lalui
tanpa kehadiran sosok istri yang sudah puluhan tahun menemaninya. Kini,
tak ada baju baru, tak ada ketupat, tak ada kue-kue seperti tahun
kemarin ketika masih ada istrinya. “Ah bila masih mungkin…,” ujarnya
lirih sambil menatap langit yang pekat dengan kabut malam.
“Mungkin
kenapa Pak?” seorang anak laki-laki yang dulu pernah ikut acara buka
bersama di Masjid Darussalam tiba-tiba duduk disampingnya sambil ikut
menengadah memandang langit.
“Kamu? Kenapa ada disini, sana pulang sudah malam nanti orang tuamu khawatir,” seru Mang Adim.
“Hehe Bapak lupa acara buka bersama waktu itu digelar bersama siapa?” anak laki-laki itu tertawa.
“Anak-anak yatim piatu?” jawab Mang Adim.
“Ya
aku salah satu diantaranya Pak. Aku udah enggak punya orang tua, Kedua
orangtuaku udah meninggal semua. Sekarang aku tinggal di rumah singgah
yang ada di kolong jembatan bersama anak jalanan dan anak yatim piatu
lainnya.”
“Oh…maafkan Bapak kalo begitu Nak, Bapak lupa Nak…”
“Ga
apa apa Pak, hemm kadang aku juga ngerasa iri banget ngeliat
temen-temen yang bisa lebaran sama keluarganya tapi… apa mau dikata
masih bisa berlebaran bersama anak-anak di rumah singgah lainnya pun
sudah ahamdulillah .” Mang Adim tercengang mendengar penuturan anak
lelaki yang masih berusia 13 tahun itu.
“Sabar
ya Nak, Bapak pun merasakan hal yang sama. Meskipun takdir memang tak
sesuai dengan apa yang kita inginkan. Namun meskipun begitu,
ketentuan-Nya akan jauh lebih mendewasakan kita dalam mengarungi hidup.”
Ujar Mang Adim bijak.
“Tapi…,” ada air mata yang tertahan di sudut matanya. Mang Adim merangkul anak laki-laki itu.
“Sudahlah
Nak tidak boleh merutuk takdir yang sudah Tuhan berikan, lebih baik
kita ke dalam masjid mari mengumandangkan takbir.” Anak lelaki itu pun
tersenyum lalu mengikuti langkah kaki Mang Adim ke dalam masjid.
Keduanya mengumandangkan takbir hingga pagi menjelang.
“Allahu akbar… Allahu akbar… Allahu akbar… Laillahailallahu wallahu akbar… Allahu akbar… Walillah ilham….”
Mang
Adim yakin, meski hidupnya bertemankan kesepian Tuhan tidak pernah
meninggalkannya sendirian. Ia bersyukur masih bisa menikmati indahnya
ramadhan. “Ramadhan, semoga kita dipertemukan lagi tahun depan,” ujarnya
pilu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar