Kamis, 24 Juli 2014

Mang Adim


Pagi-pagi sekali ketika satu persatu embun luruh dari ujung daun dari pengeras suara masjid terdengar sebuah pengumuman bahwa hari ini seluruh warga dihimbau untuk bekerja bakti membersihkan masjid, karena hanya tinggal satu hari lagi seluruh umat muslim di dunia akan menyambut bulan suci ramadhan. Bulan yang sangat istimewa dibandingkan sebelas bulan yang lain. Satu persatu warga dari kampung sebelah berdatangan memenuhi halaman masjid terlebih kaum adam, sedang ibu-ibunya bertugas untuk menyiapkan makanan dan minuman untuk bapak-bapak yang ikut bekerja bakti. Sedangkan warga dari komplek perumahan itu sendiri yang datang hanya beberapa. Meskipun jumlahnya tidak banyak setidaknya ada perwakilan yang ‘datang’ dari mayoritas yang ‘tidak datang’.
Masjid Darussalam berdiri begitu megahnya dengan arsitektur mewah yang bahan baku pembuatannya diimpor dari luar negeri. Sementara dananya didapat dari sumbangan warga komplek perumahan yang mempunyai kekayaan melimpah. Namun sayang masjid ini terkesan kurang terurus meskipun terletak di kawasan perumahan elit dan padat penduduk. Toiletnya terlihat kotor, karpet dan lantainya dibiarkan berdebu, mungkin mukena-mukena yang menggantung yang telah disediakan untuk tamu pun sudah berbulan-bulan tidak tersentuh aroma wangi dari sabun cuci. Setiap harinya para warga sibuk berkerja di kantor. Bapak-bapak yang kerapkali mengikuti salat berjamaah pun dapat dihitung dengan jari itupun berasal dari warga kampung sebelah. Mungkin, jika di masjid-masjid lain masih sering diadakan pengajian, lain halnya dengan mesjid megah ini yang selalu sepi. Tak ada ibu-ibu yang menggelar pengajian rutin meskipun hanya seminggu sekali. Ibu-ibu di komplek ini adalah istri dari para petinggi perusahaan yang gemarnya belanja, arisan dan mengikuti perkembangan fashion. Sedangkan anak-anak mudanya lebih gemar mencari kesenangan di mall ketimbang mencari pahala di masjid.
***
Melihat kondisi masjid yang tidak terurus inilah yang membuat Mang Adim, seorang lelaki paruh baya berusia 61 tahun merasa terpanggil untuk mengurus masjid. Semenjak istrinya meninggal dunia beberapa bulan lalu ia hidup sendirian dan kesepian karena tidak mempunyai keturunan. Sehingga ia memutuskan mengabdikan hidupnya agar bermanfaat untuk orang banyak dengan menjadi marbot di masjid.
Sedangkan rumah sederhana yang pernah ia tempati bersama istrinya dijual untuk menutupi hutang-hutangnya ketika membiayai pengobatan istrinya yang sudah menelan biaya cukup banyak. Kemudian sisanya ia gunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Kebetulan di samping tempat wudlu ada ruangan yang tidak terpakai, sehingga dimanfaatkan Mang Adim untuk kamar tidur. Ruangannya memang tidak besar. Namun cukup jika untuk hidup seorang diri.
Hari-harinya dihabiskan di lingkungan masjid. Mulai dari pagi hari ia sudah terlihat menyapu dan kemudian menyirami bunga-bunga dan pepohonan di halaman masjid. Siang harinya ia membersihkan puluhan toilet serta tempat wudhu sampai benar-benar bersih. Sementara untuk makan, terkadang ada warga yang berbaik hati membagi makanan untuknya. Namun begitu ia tak pernah mengharapkan pemberian dari orang lain, jika ada yang memberi ia terima dengan penuh rasa syukur namun jika tidak ada pun ia selalu membeli makan di warung dengan uang dari gaji yang diterimanya setiap bulan sebagai marbot masjid. Gajinya memang tidak besar, namun cukup jika untuk membiayai kebutuhannya sehari-hari. Sebanyak apapun rezeki yang Tuhan beri ia selalu menerimanya dengan kelapangan hati dengan wajah yang selalu berseri.
Jika sudah masuk waktu salat, seketika Mang Adim menghentikan seluruh aktivitasnya bergegas mengambil air wudlu. Selain menjadi marbot masjid, Mang Adim juga kerap kali bertindak sebagai muadzin menyerukan kumandang adzan. Menjelang sore harinya Mang Adim menyapu dan mengepel lantai masjid yang begitu luasnya dengan nafas terengah mungkin karena tubuhnya yang sudah renta. Rambutnya hampir seluruhnya memutih, jalannya sudah tidak tegap lagi, namun hal itu bukan penghalang baginya, buktinya ia mampu menyelesaikan tugasnya membersihkan masjid seorang diri.
Sekalipun dalam hidupnya ia merasa sangat kesepian, tapi Mang Adim yakin ia punya Tuhan yang tidak pernah sekalipun menginggalkannya sendirian. Ia tidak pernah mengeluh, justru ia melakukan semua pekerjaannya dengan perasaan ikhlas dan senang hati.
***
Sorot matanya tampak berbinar ketika melihat warga kampung sebelah bahu membahu membersihkan seluruh bagian mesjid. Setidaknya dapat meringankan tugasnya untuk membersihkan mesjid, karena usianya yang sudah tidak muda lagi seringkali membuat ia merasa kelelahan jika harus membersihkan masjid seluas ini.
Yang lebih membuat ia tak kalah senang adalah dengan akan datangnya bulan ramadhan. Karena bila ramadhan tiba, masjid cendrung lebih ramai dari biasanya. Kerja bakti membersihkan masjid untuk persiapan menyambut bulan suci ramadhan pun selesai.
***
Malam itu adalah malam pertama melaksanakan salat tarawih. Warga berduyun-duyun datang bersama keluarga tercinta. Bahkan para jamaah dari mulai anak-anak, remaja, orang dewasa hingga orangtua meluber hingga ke halaman mesjid karena begitu banyaknya warga yang ingin melaksanakan solat tarawih di Masjid Darussalam.
Mang Adim tampak sumringah, karena masih banyak warga yang mau datang ke masjid walaupun dalam moment setahun sekali. Mungkin apa karena ketika bulan ramadhan pahala kebaikan dilipatgandakan yang membuat warga berlomba-lomba datang ke masjid? Biarlah, hal itu bukan urusan Mang Adim yang penting ia merasa senang melihat masjid ramai.
Usai salat tarawih ia duduk di tangga masjid memandang sekelompok anak kecil yang sedang berlarian di halaman mesjid sambil sesekali tersenyum tipis melihat tingkah lucu mereka.
“Ingin sekali rasanya aku menggendong mereka, andai dulu aku punya anak. Ah sudahlah…” protesnya dalam hati. Tiba-tiba ia teringat almarhum istrinya. Tetesan air bening pun tak terasa melaju deras di kedua pipinya.
Dulu, ketika istrinya masih ada, Mang Adim sangat merindukan kehadiran seorang anak dalam rumah tangganya. Namun sayang, Tuhan tidak mengaruniai Mang Adim anak sampai pada akhirnya istrinya meninggal dunia karena kanker rahim yang bertahun-tahun dideritanya.
***
Sekalipun sedang menjalani ibadah puasa, Mang Adim tetap melaksanakan tugasnya sebagai marbot mesjid. Sejak memasuki bulan ramdhan ia tidak pernah lagi merasa kesepian. Setiap harinya masjid tak pernah sepi dari pengunjung. Banyak orang berlomba-lomba berburu pahala dengan datang ke masjid melakukan serangkaian ibadah seperti salat wajib, salat sunnah, tadarus Al-Qur’an bahkan i’tikaf. Seringkali masjid dipergunakan sebagai tempat berbuka puasa oleh penghuni perumahan komplek elit dengan anak-anak yatim piatu. Ibu-ibu sosialita yang biasanya Mang Adim lihat dengan rambut mengkilap dan aksesoris mewah pun disaat bulan ramadhan terlihat jauh lebih anggun dengan balutan busana muslimah dan kain penutup kepala. Saat diadakan buka puasa bersama, tak sengaja Mang Adim mendengar seorang anak berbicara kepada temannya,
“Coba ya setiap hari kita bisa makan enak kayagini, kalau di panti makannya tahu tempe terus setiap hari?” anak itu tampak lahap menyantap ayam bakar yang digenggamnya. Sedangkan temannya hanya mengangguk-ngangguk kecil mengiyakan ucapannya. Mang Adim yang saat itu berada disamping dua anak itu berujar dalam hati,
“Andai bulan ramadhan itu setiap hari, mungkin semua orang akan terus menerus melakukan kebaikan. Berbagi kepada sesama sehingga tak ada orang-orang yang kelaparan. Namun sayangnya bulan ramadhan hanya terjadi setahun sekali,” ujarnya sambil memandang dua anak yang sedang mengobrol tadi.
***
Pada awal - awal ramadhan Masjid Darussalam masih tampak penuh. Namun, hari-hari berikutnya jamaah tampak menurun. Sepertinya ibu-ibu komplek yang sering mengadakan buka puasa bersama atau sekedar memberi takjil pun sudah mulai bosan. Jika hari-hari sebelumnya ketika salat tarawih jamaah sampai membludak ke halaman masjid, kini di bagian dalam masjid pun banyak celah-celah yang kosong. Jamaah salat subuh pun berkurang drastis dari yang mulanya mencapai 5 shaf kini hanya tinggal 1 shaf setengahnya pun tidak. Tak pelak, pemandangan seperti ini membuat Mang Adim merasa sedih.
Apalagi ketika sudah menjelang sepuluh hari terakhir bulan ramadhan, banyak warga yang beralih ke pusat perbelanjaan memburu perlengkapan lebaran. Sedang masjid perlahan mulai ditinggalkan. Padahal di sepuluh hari terakhir bulan ramadhan inilah terdapat malam kemuliaan yaitu malam lailatul qadar yang jika kita melakukan amal kebaikan besar pahalanya seperti beribadah seribu bulan. Fenomena masjid kalah ramai dari mal memang sangat memprihatinkan.
***
Tidak terasa esok ramadhan pun akan segera pergi. Masjid yang akhir-akhir ini ramai mulai kembali sepi. Banyak warga yang satu persatu mudik ke kampung halaman untuk berlebaran bersama keluarga tercinta. Namun, bagaimana dengan Mang Adim? Isteri telah tiada sedang anak tidak punya, entah ia akan berlebaran dengan siapa. Jika ingin berlebaran di kampung halaman pun ia harus membawa uang yang tidak sedikit karena sanak saudara Mang Adim tinggal di Kalimantan. Sungguh menyedihkan, lebaran kali ini adalah lebaran pertama tanpa kehadiran istri tercinta dan harus ia lewati sendirian bertemankan kesedihan dan kesepian.
Malam harinya, usai salat maghrib. Lantunan kumandang takbir bergema dimana-mana bahkan hingga ke penjuru dunia karena esok semua umat muslim akan menyambut hari kemenangan. Disaat orang-orang bersuka cita karena berkumpul bersama keluarga, Mang Adim hanya bisa meratapi nasibnya sambil termenung di bawah menara masjid. Lebaran tahun ini ia lalui tanpa kehadiran sosok istri yang sudah puluhan tahun menemaninya. Kini, tak ada baju baru, tak ada ketupat, tak ada kue-kue seperti tahun kemarin ketika masih ada istrinya. “Ah bila masih mungkin…,” ujarnya lirih sambil menatap langit yang pekat dengan kabut malam.
“Mungkin kenapa Pak?” seorang anak laki-laki yang dulu pernah ikut acara buka bersama di Masjid Darussalam tiba-tiba duduk disampingnya sambil ikut menengadah memandang langit.
“Kamu? Kenapa ada disini, sana pulang sudah malam nanti orang tuamu khawatir,” seru Mang Adim.
“Hehe Bapak lupa acara buka bersama waktu itu digelar bersama siapa?” anak laki-laki itu tertawa.
“Anak-anak yatim piatu?” jawab Mang Adim.
“Ya aku salah satu diantaranya Pak. Aku udah enggak punya orang tua, Kedua orangtuaku udah meninggal semua. Sekarang aku tinggal di rumah singgah yang ada di kolong jembatan bersama anak jalanan dan anak yatim piatu lainnya.”
“Oh…maafkan Bapak kalo begitu Nak, Bapak lupa Nak…”
“Ga apa apa Pak, hemm kadang aku juga ngerasa iri banget ngeliat temen-temen yang bisa lebaran sama keluarganya tapi… apa mau dikata masih bisa berlebaran bersama anak-anak di rumah singgah lainnya pun sudah ahamdulillah .” Mang Adim tercengang mendengar penuturan anak lelaki yang masih berusia 13 tahun itu.
“Sabar ya Nak, Bapak pun merasakan hal yang sama. Meskipun takdir memang tak sesuai dengan apa yang kita inginkan. Namun meskipun begitu, ketentuan-Nya akan jauh lebih mendewasakan kita dalam mengarungi hidup.” Ujar Mang Adim bijak.
“Tapi…,” ada air mata yang tertahan di sudut matanya. Mang Adim merangkul anak laki-laki itu.
“Sudahlah Nak tidak boleh merutuk takdir yang sudah Tuhan berikan, lebih baik kita ke dalam masjid mari mengumandangkan takbir.” Anak lelaki itu pun tersenyum lalu mengikuti langkah kaki Mang Adim ke dalam masjid. Keduanya mengumandangkan takbir hingga pagi menjelang.
“Allahu akbar… Allahu akbar… Allahu akbar… Laillahailallahu wallahu akbar… Allahu akbar… Walillah ilham….”
Mang Adim yakin, meski hidupnya bertemankan kesepian Tuhan tidak pernah meninggalkannya sendirian. Ia bersyukur masih bisa menikmati indahnya ramadhan. “Ramadhan, semoga kita dipertemukan lagi tahun depan,” ujarnya pilu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar